SOLOPOS.COM - Pintu depan Kooken Cafe & Resto yang berbentuk bangunan Loji dipengaruhi oleh gaya arsitektur eropa (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati).

Solopos.com, SOLO—Ternyata sejak dulu ada kaitan sejarah antara Kampung Kauman dan Kampung Laweyan lewat transaksi para saudagar batik. Hingga keduanya saat ini terkenal sebagai ikon batik di Solo. 

Mulanya Kauman merupakan tempat tinggal para golongan ulama dan santri dari abdi dalem Keraton. Kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial, dan masyarakat di kampung Kauman pada dasarnya didominasi oleh kaum laki-laki.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

“Ini kan didominasi kebanyakan oleh laki-laki, untuk kaum perempuan di Kauman, sembari mereka mengisi waktu luang, kemudian mereka membatik,” kata Ketua Solo Societeit, Dani Saptoni, ketika dihubungi Solopos.com, Minggu (2/4/2023).

Meskipun awalnya hanya sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang, namun akhirnya batik-batik hasil kerajinan para perempuan di Kauman itu dijual ke sudagar batik di Laweyan, Solo.

“Dari dulu kan memang di Laweyan itu murni pedagang ya. Maka muncul relasi laweyan, nah dari relasi perdagangan itu kemudian lebih diperarat lagi dengan relasi keberatan,” tutur dia.

Dani menyebut setelah banyak pengaruh batik di Kauman dan Laweyan menjalin hubungan bisnis, mereka lalu berlanjut ke hubungan keluarga. “Banyak dari mereka yang menikahkan anaknya,” lanjut dia.

Dua darah itu, jika diperhatikan memang sedikit banyak memiliki karakteristik yang hampir sama. Ini lantaran sejak masa Kasunanan masih memerintah, kedua kampung itu sudah saling berhubungan.

“Makanya kenapa kalau kita lihat Laweyan dan Kauman itu polanya hampir sama, didominasi oleh batik dan golongan ulama dan santri. Ini menjadikan kauman itu satu tempat yang kompleks dan unik,” lanjut Dani.

Catatan Solopos.com, pada perkembangannya Kauman tidak hanya dihuni oleh abdi dalem saja. Tapi juga oleh para saudagar batik. Terpisah, menurut Dani para saudagar kaya itu membuat memiliki rumah dengan gaya arsitektur yang berbeda.

“Maka ini juga mempengaruhi gaya arsitek. Sebagai pembeda, mereka para saudagar batik dan golongan di luar abdi dalem, membangun rumahnya bukan dengan model Jawa, tetapi dengan lojen [loji],” ujar Dani.

Makanya, Dani menyebut di Kauman hampir tidak ada pendapa, melainkan lojen atau loji. Bahkan kerabat kasunanan, yang tinggal di sasono dalem itu juga memakai pola yang sama. “Mereka membanguan rumahnya model-model lojen seperti itu. Bangunan semi Eropa,” kata dia.

Kata lojen atau loji sendiri memiliki arti rumah besar, bagus, dan berdinding tembok. Kata itu berasal dari Bahasa Belanda, loge. Di Solo banyak ditemui model arsitektur semacam itu, salah satunya bekas rumah Kiai Mohtar Bukhari.

“Itu untuk membedakan, sebagai ciri pembeda. Dan juga mungkin karena mereka secara finansial itu kuat. Jadi kalau membangun rumah lojen itu terkesan lebih modern, lebih maju, lebih mewah,” lanjut Dani.

Namun pada praktiknya, kata Dani, di dalamnya masih terdapat ornamen Jawa. Meski mengadopsi sebagian gaya Eropa, nyatanya tidak bisa sepenuhnya meninggalkan identitas mereka sebagai orang Jawa dan seorang Muslim. 

“Tidak [bisa] meninggalkan akarnya sebagai komunitas Islam. Itu ukir-ukirannya memakai aksara Arab. Contoh paling realnya di Kooken Cafe itu ada ukiran sulur Mataraman, terus ada [ukiran] mahkota model Eropa. Di tengah mahkota itu ada ukiran berbahasa dan beraksara Arab,” lanjut dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya