Soloraya
Minggu, 2 April 2023 - 13:49 WIB

Ternyata Kauman dan Laweyan Sejak Dulu Sudah Saling Interaksi

Dhima Wahyu Sejati  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pintu depan Kooken Cafe & Resto yang berbentuk bangunan Loji dipengaruhi oleh gaya arsitektur eropa (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati).

Solopos.com, SOLO—Ternyata sejak dulu ada kaitan sejarah antara Kampung Kauman dan Kampung Laweyan lewat transaksi para saudagar batik. Hingga keduanya saat ini terkenal sebagai ikon batik di Solo. 

Mulanya Kauman merupakan tempat tinggal para golongan ulama dan santri dari abdi dalem Keraton. Kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial, dan masyarakat di kampung Kauman pada dasarnya didominasi oleh kaum laki-laki.

Advertisement

“Ini kan didominasi kebanyakan oleh laki-laki, untuk kaum perempuan di Kauman, sembari mereka mengisi waktu luang, kemudian mereka membatik,” kata Ketua Solo Societeit, Dani Saptoni, ketika dihubungi Solopos.com, Minggu (2/4/2023).

Meskipun awalnya hanya sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang, namun akhirnya batik-batik hasil kerajinan para perempuan di Kauman itu dijual ke sudagar batik di Laweyan, Solo.

Advertisement

Meskipun awalnya hanya sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang, namun akhirnya batik-batik hasil kerajinan para perempuan di Kauman itu dijual ke sudagar batik di Laweyan, Solo.

“Dari dulu kan memang di Laweyan itu murni pedagang ya. Maka muncul relasi laweyan, nah dari relasi perdagangan itu kemudian lebih diperarat lagi dengan relasi keberatan,” tutur dia.

Dani menyebut setelah banyak pengaruh batik di Kauman dan Laweyan menjalin hubungan bisnis, mereka lalu berlanjut ke hubungan keluarga. “Banyak dari mereka yang menikahkan anaknya,” lanjut dia.

Advertisement

“Makanya kenapa kalau kita lihat Laweyan dan Kauman itu polanya hampir sama, didominasi oleh batik dan golongan ulama dan santri. Ini menjadikan kauman itu satu tempat yang kompleks dan unik,” lanjut Dani.

Catatan Solopos.com, pada perkembangannya Kauman tidak hanya dihuni oleh abdi dalem saja. Tapi juga oleh para saudagar batik. Terpisah, menurut Dani para saudagar kaya itu membuat memiliki rumah dengan gaya arsitektur yang berbeda.

“Maka ini juga mempengaruhi gaya arsitek. Sebagai pembeda, mereka para saudagar batik dan golongan di luar abdi dalem, membangun rumahnya bukan dengan model Jawa, tetapi dengan lojen [loji],” ujar Dani.

Advertisement

Makanya, Dani menyebut di Kauman hampir tidak ada pendapa, melainkan lojen atau loji. Bahkan kerabat kasunanan, yang tinggal di sasono dalem itu juga memakai pola yang sama. “Mereka membanguan rumahnya model-model lojen seperti itu. Bangunan semi Eropa,” kata dia.

Kata lojen atau loji sendiri memiliki arti rumah besar, bagus, dan berdinding tembok. Kata itu berasal dari Bahasa Belanda, loge. Di Solo banyak ditemui model arsitektur semacam itu, salah satunya bekas rumah Kiai Mohtar Bukhari.

“Itu untuk membedakan, sebagai ciri pembeda. Dan juga mungkin karena mereka secara finansial itu kuat. Jadi kalau membangun rumah lojen itu terkesan lebih modern, lebih maju, lebih mewah,” lanjut Dani.

Advertisement

Namun pada praktiknya, kata Dani, di dalamnya masih terdapat ornamen Jawa. Meski mengadopsi sebagian gaya Eropa, nyatanya tidak bisa sepenuhnya meninggalkan identitas mereka sebagai orang Jawa dan seorang Muslim. 

“Tidak [bisa] meninggalkan akarnya sebagai komunitas Islam. Itu ukir-ukirannya memakai aksara Arab. Contoh paling realnya di Kooken Cafe itu ada ukiran sulur Mataraman, terus ada [ukiran] mahkota model Eropa. Di tengah mahkota itu ada ukiran berbahasa dan beraksara Arab,” lanjut dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif