SOLOPOS.COM - Petugas menyingkirkan puing-puing kendaraan yang terlibat kecelakaan maut di jalan tol Boyolali, Jumat (14/4/2023). (Solopos/Ni'matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) turut menginvestigasi dua peristiwa kecelakaan atau laka maut karambol di Tol Boyolali KM 487+600 A arah Semarang-Solo selama dua hari yaitu Senin-Selasa (17-18/4/2023).

Beberapa temuan telah didapatkan KNKT selama dua hari menginvestigasi kendaraan-kendaraan yang terlibat lakalantas dan juga geometrik jalan tol. Seperti diketahui, dua kecelakaan maut terjadi dalam dua hari berturut-turut yakni Jumat (14/4/2023) dan Sabtu (15/4/2023) di tol wilayah Boyolali.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Dua peristiwa itu mengakibatkan masing-masing delapan dan tiga orang meninggal dunia. Ketua Sub Komite investigasi Kecelakaan Lalu Lintas Angkutan Jalan KNKT, Ahmad Wildan, saat dihubungi Solopos.com, Rabu (19/4/2023), mengatakan KNKT telah mengkaji tiga elemen geometrik jalan tol Boyolali yang menjadi lokasi laka maut tersebut.

Tiga elemen itu yaitu penampang melintang jalan, lengkung horizontal, dan vertical alignment. Ia menjelaskan untuk penampang melintang jalan seperti jumlah lajur, lebar jalur, dan lebar bahu jalan masuk kategori standar.

Kemudian, untuk lengkung horizontal juga standar dengan jari-jari tikungan berkisar 2.100 meter. Lalu untuk slope pada vertical alignment juga masih standar. Namun, hal yang perlu diwaspadai adalah beda ketinggian.

“Jadi di interchange Tol Salatiga sampai ke daerah dekat Colomadu itu ada perbedaan ketinggian sekitar 487 meter dengan jarak panjang 27 kilometer. Ini panjang landai kritis, kemudian akan menciptakan semacam energi potensial atau gaya dorong terhadap kendaraan,” ujarnya.

Sehingga untuk mencegah laka, ia meminta Polres Boyolali mengusulkan ke Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) untuk membuat jalur penyelamatan atau forgiving road. KNKT menilai karena dengan beda ketinggian 487 meter dan jarak 27 kilometer dari interchange Tol Salatiga sampai Colomadu memiliki risiko rem blong yang tinggi.

“Jadi ada kendaraan besar, muatannya penuh, pakai gigi tinggi, dia akan berisiko didorong oleh gaya gravitasi. Hal ini akan memaksa pengemudi melakukan pengereman panjang dan berulang. Itulah yang menjadi cikal bakal terjadinya rem blong,” jelasnya.

Wildan mengungkapkan identifikasi rem blong berawal dari investigasi KNKT yang menemukan jalan menurun, lalu landai kritis yang panjang, dan penggunaan gigi tinggi.

Penyebab Rem Blong pada Truk Pemicu Laka

Selanjutnya, KNKT juga menginvestigasi kendaraan yang menjadi penyebab kecelakaan. Wildan mengungkapkan dari takometer terlihat jarum bergerak dari zona hijau sedikit ke zona putih. Takometer terdiri dari tiga zona yaitu hijau yang berarti power maksimal, putih artinya torsi maksimal, dan merah menandakan bahaya.

Jarum takometer kendaraan berhenti di dekat zona hijau maka diperkirakan pengemudi berkendara dengan gigi lima sampai delapan atau disebut gigi kelinci. Sementara dari transmisi dilihat rasionya 1:1 di gigi tinggi, antara tujuh sampai delapan.

“Namun, kepastian ini belum kami dapatkan, lalu kami minta dari Hino, transmisinya nanti dibongkar pas posisi pengemudi berkendara [saat kecelakaan] di gigi berapa,” jelasnya.

Wildan mengatakan pengungkapan posisi gigi yang dipakai saat kecelakaan penting diketahui untuk mengetahui risiko pengemudi. “Karena muatannya cukup berat, 50 ton, kemudian dengan kendaraannya total 70 ton. Dengan berat 70 ton meluncur dari ketinggian Salatiga dengan gigi tujuh atau delapan, gaya dorongnya akan besar,” jelasnya.

Ketika gaya dorong besar, lanjut dia, pengemudi akan mengerem berkali-kali. Kendaraan truk penyebab laka maut Tol Boyolali tersebut memiliki sistem rem full air brake, sehingga pengereman berkali-kali akan menyebabkan dua risiko yaitu kampas panas dan anginnya tekor.

Kampas rem kendaraan itu dalam kondisi 70-80 persen. Dengan kondisi tersebut, penggunaan di jalan datar masih bagus asalkan tidak digunakan untuk pengereman terus menerus karena berisiko tinggi. “Tapi secara keseluruhan, kondisi kendaraan baik di back chamber yang di trailer juga masih bagus, utuh semuanya,” jelasnya.

Kemudian, untuk angin tekor bisa dilihat dari ciri-ciri seperti brake indikator yang menyala atau ada bunyi-bunyian itu menandakan udara bertekanan sudah kurang dan tidak bisa digunakan untuk mengerem.

“Jadi bunyinya ngeeeek. Nanti kami gali, pak polisi akan menggali, apakah brake indikatornya menyala atau ada bunyi. Kalau iya berarti angin tekor. Tandanya lagi, pengemudi enggak bisa menginjak pedal kopling, jadi terasa keras,” kata dia.

Wildan menegaskan investigasi KNKT masih berlanjut karena ia belum bisa menanyai pengemudi truk trailer pengakut besi terkait adakah tanda-tanda angin tekor. Ia menjelaskan saat ini pengemudi dalam kondisi koma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya