SOLOPOS.COM - Gunungan berisi ketupat yang akan diperebutkan warga saat digelar tradisi kenduri ketupat di Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes, Jumat (28/4/2023). (Istimewa/Pemdes Jimbung)

Solopos.com, KLATEN – Tiga gunungan ketupat ludes jadi rebutan warga saat Tradisi Syawalan Kenduri Ketupat yang digelar warga Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes, Kabupaten Klaten, Jumat (28/4/2023). 

Sekretaris Desa (Sekdes) Jimbung, Slamet, menjelaskan Tradisi Kenduri Ketupat digelar secara sederhana di Alun-alun Jimbung.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Tiga gunungan berisi ketupat yang disiapkan di lokasi diperkirakan berisi sekitar 1.000 ketupat. Warga berebut ketupat selepas serangkaian acara seremonial serta doa bersama.

Rangkaian kegiatan itu dibuka oleh Pelaksana Tugas (Plt) Camat Kalikotes, Veronika Retno Setyaningsih. 

“Ada tiga gunungan yang disiapkan dengan jumlah ketupat lebih dari 1.000. Langsung ludes dan habis dalam waktu lima menit,” kata Slamet saat dihubungi Solopos.com, Jumat.

Tradisi itu sudah digelar secara turun temurun oleh warga Jimbung saban H+8 Lebaran. Makna dari tradisi itu yakni dari ketupat atau dalam bahasa Jawa disebut dengan kata kupat yang diartikan ngaku lepat atau mengakui kesalahan.

Slamet menjelaskan tradisi Syawalan sudah berkembang secara turun temurun. Salah satu pusat kegiatan tersebut dulunya di kawasan Sendang Bulus Jimbung. Sesuai namanya, bulus menjadi ikon di sendang tersebut.

Pada masa lalu, ada dua bulus yang sangat dikenal di sendang tersebut bernama Kiai Poleng dan Nyai Remeng. Dulu anak-anak kecil datang ke sana kalungan ketupat. 

Satu ketupat biasa dibawa untuk memberi makan dua bulus tersebut dan satu ketupat dimakan sendiri. “Lauknya sambil beli bakso krikil. Makannya di bukit dekat sendang,” jelas Slamet.

Kedua bulus itu berukuran besar dan salah satunya memiliki lekuk seperti punggung manusia. Saking besarnya ukuran, bulus-bulus itu kerap dinaiki anak-anak. 

Meski kedua bulus tersebut sudah mati, sendang yang ada di Jimbung tersebut masih dihuni bulus-bulus keturunan bulus Kiai Poleng dan Nyai Remeng. Kisah kedua bulus itu lekat dengan legenda setempat.

Slamet menjelaskan pada masa lalu ada seorang tokoh bernama Raden Patohan yang dihukum oleh orang tuanya yakni Ratu Wiroto, seorang ratu di kerajaan yang berada di Jepara.

Raden Patohan dihukum lantaran melakukan kesalahan hingga salah satu kakinya dipotong dan harus meninggalkan kerajaan.

Bersama seorang abdi setianya, Raden Patohan meninggalkan kerajaan dan mencari obat hingga ke wilayah Gunung Botak yang berada di sisi selatan Jawa. Setelah kakinya sembuh, Raden Patohan mendirikan kerajaan di Jimbung.

Kewibawaan dan ketampanan Raden Patohan membuat seorang putri bernama Ratu Keling jatuh cinta. Namun, sang raja tak bisa menerima cinta Ratu Keling.

Tak patah semangat, sang ratu kemudian mengutus dua abdinya yakni Kiai Poleng dan Nyai Remeng untuk membujuk Raden Patohan.

Lantaran terus mendesak, Kiai Poleng dan Nyai remeng disumpah dan seara tiba-tiba berubah wujud menjadi bulus. Kedua bulus itu yang kemudian menjadi penghuni Sendang Bulus Jimbung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya