SOLOPOS.COM - Warga duduk berjejer dalam proses pemberian fitrah Jawa di rumah kadus di Desa Tanggulangin, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, belum lama ini. (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia).

Solopos.com, WONOGIRI–Bagi-bagi fitrah atau uang kepada anak-anak saat momen Lebaran sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia.

Fitrah adalah istilah Jawa seperti angpao dalam tradisi Tionghoa. Ada juga yang menyebut THR karena menyamakannya dengan tunjangan hari raya.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Namun, ada yang berbeda pada tradisi bagi-bagi fitrah di Kabupaten Wonogiri. Selain memberi uang kepada anak-anak, warga di sejumlah wilayah di Kabupaten Sukses juga memberi fitrah kepada kepala dusun (kadus).

Tradisi itu sebagai bentuk penghormatan kepada kadus yang menjadi tokoh masyarakat itu. Proses pemberian fitrah kepada kadus pun ada mekanismenya tersendiri. Tradisi unik ini bukan sekadar proses menyerahkan uang, tetapi memiliki makna.

Penasaran bagaimana tradisi ini dijalankan di Wonogiri? Berikut ulasannya.

Salah satu desa yang masih melestarikan tradisi memberi fitrah kepada kadus adalah Desa Tanggulangin, Kecamatan Jatisrono.

Warga Desa Tanggulangin, Nandar Suyadi, mengatakan warga desanya masih melakukan tradisi fitrah Jawa atau memberikan fitrah kepada kadus setempat saat Lebaran.

Tradisi itu sudah berlangsung lama sejak zaman dulu. Pemberian fitrah itu dilakukan sebagai ungkapan terima kasih kepada kadus yang telah memimpin warganya dengan baik.

“Kalau di sini, setiap keluarga memberikan fitrah senilai Rp20.000 kepada kadus. Saya tanya di beberapa wilayah lain juga nilainya segitu per keluarga,” kata Yadi saat dihubungi Solopos.com, Minggu (23/4/2023).

Tidak diketahui pasti bagaimana awal mula tradisi itu ada. Sepengetahuan dia, kadus zaman dulu seperti lurah. Kadus memiliki pengaruh cukup besar di wilayah yang dipimpinnya sehingga dihormati warga.

Pemberian fitrah dilakukan oleh para kepala keluarga di rumah kades secara bersamaan melalui proses tertentu. Selepas proses pemberian fitrah itu biasanya dilanjutkan acara halalabihalal atau maaf-maafan.

Tradisi itu juga untuk memupuk kebersamaan warga dusun. Meski nilai uang yang diberikan kepada kadus tak seberapa, tetapi bagi warga yang lebih utama adalah kerukunanannya.

Pada zaman dahulu, tradisi ini didahului proses mencuci alat pertanian yang dilakukan warga. Proses itu sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rezeki melalui hasil pertanian.

Selain itu sebagai bentuk terima kasih kepada alat pertanian yang membantu para petani mengolah sawah hingga akhirnya bisa memanen hasil pertanian.

Namun, sekarang proses itu sudah jarang dilakukan. Warga yang melakukan tradisi itu tinggal orang-orang tertentu.

“Biasanya, fitrah Jawa itu didahului dengan proses mencuci peralatan pertanian dulu di rumah masing-masing. Dulu tradisi itu masih banyak yang melakukan, sekarang sudah berkurang, tinggal beberapa orang tua yang bertani saja,” ujar dia.

Warga Desa Tanggulangin yang masih melakukan pencucian alat pertanian saat Lebaran yaitu Siman Nurhadi. “Biasanya dilakukan di depan rumah. Ada yang mencuci pakai kembang juga,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya