Soloraya
Selasa, 14 Maret 2023 - 11:42 WIB

Uniknya Tradisi Sadranan di Cepogo Boyolali, Banjir Makanan Layaknya Lebaran

Nugroho Meidinata  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah warga berebut makanan saat tradisi Sadranan di Makam Puroloyo, Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Kamis (9/3/2023). (Solopos/Ni'matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Berbeda dengan daerah lain, tradisi sadranan di Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, terbilang unik lantaran banjir makanan di setiap rumah warga.

Hal tersebut terekam dalam sebuah unggahan akun Instagram @soloinfo pada Senin, 13 Maret 2023. Dalam unggahan tersebut memperlihatkan tradisi sadranan yang memperlihatkan aneka makanan di setiap rumah dalam rangka melestarikan tradisi sadranan.

Advertisement

“Pernah nyadran nang Cepogo Mas Mbak? Saben omah warga do ngadake Open House, cocok kih sing do seneng mangan2,” tulis pengelola akun Instagram @soloinfo.

Melansir laman resmi Pemprov Jawa Tengah, tradisi sadranan di Cepogo Boyolali memiliki kedudukan yang penting layaknya Hari Raya Idulfitri. Bahkan, warga perantauan menyempatkan pulang kampung ketika tradisi ini digelar.

Tradisi sadranan di daerah ini diawali di pagi hari dengan berziarah serta membawa tenong, yakni tempat penyimpan makanan dari anyaman bambu. Seusai ziarah dan berdoa, dilanjutkan makan bersama dan setiap orang dipersilakan untuk mengambil makanan yang tersedia di tenong. Setelahnya, warga menggelar open house, membuka pintu untuk umum bersilaturahmi dan menikmati jamuan makan dengan hidangan lokal.

Advertisement

Selama ini tradisi sadranan berlangsung di 15 desa di Kecamatan Cepogo sesuai dengan waktu yang disepakati masyarakat di masing-masing dusun atau desa. Sadranan tidak hanya dihadiri oleh warga setempat, tetapi juga warga desa sekitar bahkan warga dari luar kabupaten hadir untuk Nyadran di Cepogo.

Sebagai informasi, sadranan merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa di Syakban menjelang Ramadan untuk mengucapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dengan mengunjungi makam leluhur di suatu tempat. Tradisi ini dimaksudkan sebagai sarana mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan meninggal dunia.

Tradisi ini juga digunakan sebagai sarana guna melestarikan budaya gotong royong dalam masyarakat dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan bertetangga dengan makan bersama.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif