SOLOPOS.COM - Warga mengarak gunungan dawet terbungkus plastik saat upacara tradisi udan dawet di Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Boyolali, Jumat (29/9/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI – Ribuan warga Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Boyolali, menggelar tradisi udan dawet sebagai ungkapan doa meminta hujan, Jumat (29/9/2023). Kearifan lokal yang berlangsung sejak ratusan tahun lalu itu masih tetap dilestarikan warga sekitar.

Tradisi udan dawet digelar dengan kirab gunungan dawet, gunungan hasil bumi, tumpeng nasi, dan lain sebagainya. Kirab dimulai dari Masjid An Nur di Dukuh Bunder sekitar pukul 08.30 WIB.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Peserta kirab berasal dari tiga dukuh di Desa Banyuanyar, yaitu Dukuh Bunder, Dukuh Ngemplak, dan Dukuh Dukuh. Terpantau di barisan depan para sesepuh, kemudian perangkat desa. Lalu di belakangnya ada gunungan dawet.

Terlihat peserta laki-laki pada kirab tradisi Udan Dawet di Banyuanyar, Boyolali, itu memakai beskap dengan memikul gunungan dawet dan hasil bumi serta tenongan berisi makanan dan ingkung ayam.

Sedangkan peserta perempuan mengenakan kebaya sambil menggendong tomblok dan atau pikulan berisi dawet dan ingkung. Arak-arakan kirab berjalan sekitar 500 meter untuk sampai di Sendang Mandirejo, Dukuh Dukuh, Desa Banyuanyar.

Walaupun peserta kirab hanya diikuti tiga dukuh, seluruh warga Banyuanyar berkumpul di sana. Setelah itu, sesepuh desa berdoa agar diberikan hujan dan keselamatan. Setelah didoakan, warga menyiramkan dawet ke Sendang Mandirejo.

Sedangkan gunungan dawet dibawa ke perempatan jalan. Setelah gunungan dawet pada tradisi Udan Dawet ditaruh di aspal jalan Dukuh Dukuh, Desa Banyuanyar, Boyolali, warga dari anak-anak hingga tua berebut mengambil dawet.

Salah satu warga Dukuh Banyuanyar, Kasmi, juga turut berebut dawet pada gunungan tersebut. Ia membawa empat bungkus dawet dari gunungan. Kasmi mengaku sengaja menghadiri tradisi udan dawet di Dukuh Dukuh sambil berdoa agar hujan cepat turun dan ngalap berkah.

“Ini dawetnya untuk diminum dan juga nanti bakal dituang di sumur agar sumurnya tidak kering. Di sini ada kepercayaan seperti itu,” kata dia.

Sementara itu, Kadus II Desa Banyuanyar, Boyolali, Suyamto, menyampaikan tradisi udan dawet telah ada sejak lama namun baru digelar meriah sebanyak tiga kali untuk meramaikan desa wisata Banyuanyar.

“Tradisi udan dawet ini diselenggarakan setiap musim kemarau mangka keempat, pada Jumat Pon,” kata dia kepada wartawan di lokasi acara.

Dawet Disiramkan ke Sumber Air

Ia berharap tradisi tersebut dapat dilestarikan sebagai doa agar diberikan hujan yang membawa berkah bagi masyarakat termasuk di bidang pertanian, peternakan, dan kegiatan masyarakat lainnya. Ia menyampaikan filosofi dari tradisi udan dawet adalah untuk meminta hujan kepada Allah SWT.

Warga menyiramkan dawet ke Sendang Mandirejo yang dianggap sebagai tempat bernaung para pepunden seperti Dewi Nawang Wulan, Yosodipuro, Ki Dadung Awuk, dan Ki Dadung Melati.

Lebih lanjut, Suyamto mengatakan sudah sekitar tujuh bulan ini hujan harian sudah tidak turun di Banyuanyar. Akan tetapi, warga Banyuanyar sebenarnya telah membuat sumur-sumur pribadi dengan kedalaman 12 meter.

Walaupun begitu, air untuk peternakan dan pertanian dirasa masih kurang, sehingga musim hujan diharapkan segera datang.

Terpisah, sesepuh Desa Banyuanyar, Boyolali, Susilo, 76, mengungkapkan tradisi udan dawet menjadi sarana meminta hujan saat kemarau panjang. Dawet menjadi sarana meminta hujan karena merupakan permintaan pepunden di Sendang Mandirejo.

Dawet yang telah didoakan kemudian disiramkan di sendang dan sumber mata air warga dengan kepercayaan air menjadi langgeng dan tidak kering.

“Tradisi ini digelar setiap Jumat Pon mangka keempat, akan tetapi, jika di mangka keempat tidak ada Jumat Pon, maka bisa digelar setelahnya,” kata dia.

Ia berharap kegiatan tersebut dapat terus dilestarikan anak-anak muda. Tradisi udan dawet itu untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan harapan air tetap lestari dan agar diturunkan hujan di Banyuanyar.

Susilo menjelaskan sesuai tradisi, udan dawet digelar sebelum Salat Jumat. Ia menceritakan pernah suatu masa tradisi udan dawet digelar pada malam hari sehingga harus diulang 35 hari kemudian.

“Waktu itu masuk Bulan Puasa, sehingga digelar pada malam hari. Akhirnya 35 hari setelahnya diulang lagi, itu enggak boleh malam. Sebelum Salat Jumat harus sudah selesai,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya