SOLOPOS.COM - Pementasan Teater Lungid dengan Sandiwara berbahasa Jawa Unyeng-Unyeng, Senin (16/10/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO — Musik perkusi yang meriah mengiringi masuknya penonton ke dalam area Teater Arena di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, tempat pementasan Sandiwara Unyeng-Unyeng oleh Teater Lungid digelar Senin (16/10/2023) malam itu.

Para lakon dan tim produksi Teater Lungid ramai-ramai mengajak penonton untuk ikut menyanyi dan menari sebagai pentas pembuka Unyeng-Unyeng. Lewat cara itu, interaksi antara penonton dengan tim Teater Lungid mulai tumbuh dengan organik diiringi canda tawa.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Para penonton mulai asyik mengeluarkan gawai mereka untuk mendokumentasikan pementasan teater asal Kota Solo tersebut. Seiring dimulainya pementasan, dokumentasi tidak berhenti dan justru menampilkan tata lampu dan artistik yang menarik.

Sutradara sekaligus Penulis Naskah Sandiwara Unyeng-Unyeng, Djarot BD mengatakan bahwa Teater Lungid bertekad membawa pesan setiap kali mementaskan karya mereka.

Djarot mengakui Teater Lungid adalah penerus Teater Gapit yang legendaris. Pementasan Sandiwara Unyeng-Unyeng adalah yang ke-22.

“Dulu memang kami dari [Teater] Gapit, tetapi memang ada perubahan-perubahan di struktur dan organisasi, sutradara dan penulis naskahnya sudah almarhum lantas kami mengkomunikasikannya ke keluarga besarnya dan akhirnya diputuskan untuk mengganti nama tetapi melanjutkan konsepnya dengan sistem mekanisme latihan yang sama,” papar Djarot.

Roh cerita rakyat kecil dan konflik struktural juga masih ikut dibawa dari Teater Gapit, terutama bagaimana kesulitan masyarakat untuk tetap bertahan di tengah kesulitan.

Salah satu hal yang menarik dari pementasan Teater Lungid adalah properti daur ulang. Djarot menjelaskan tim Teater Lungid tengah mencoba recycling properti yang sudah dipakai di suatu daerah pementasan mereka.

Hal itu menjadi upaya Teater Lungid tetap tampil tanpa merusak lingkungan dan berkontribusi untuk upaya menyelamatkan lingkungan. Dia mengaku jika siasat membuat properti daur ulang menjadi lahan kreativitas baru dari tim Teater Lungid.

Pantauan Solopos.com selama pementasan, properti pementasan memang berasal dari bahan-bahan daur ulang. Salah satunya adalah stereofoam bekas yang diberi tulisan Tu Mburi Mbebayani.

Djarot mengakui, tulisan tersebut memberi makna jika suatu hal dilakukan lewat jalan belakang justru membahayakan dan tidak memberikan banyak manfaat.

“Lewat Sandiwara Unyeng-Unyeng kami juga mencoba membidik mekanisme pendidikan di sini dengan berbagai aspek. Seperti kita tahu pendidikan malah menjadi industri, sistemnya selalu terombang-ambing dan akhirnya rakyat bertanya-tanya dengan persoalan apakah pendidikan itu penting,” ujar Djarot saat diwawancara Solopos.com selepas pementasan, Senin malam.

Djarot meneruskan karena pendidikan sudah berorientasi pada industri dan kapitalisme, terjadi aliran ilmu dan kajian akar rumput yang terputus kepada generasi baru. Dia menyayangkan saat ini pendidikan tinggi malah menyumbang banyak sekali pengangguran.

Menurutnya, ijazah menjadi orientasi agar bisa melamar pekerjaan, bukan sebagai bukti kemampuan dan keahlian lulusan sekolah.

Terciptanya industri pendidikan juga dia nilai sebagai fenomena yang menggerus pengajaran budaya lokal di instansi sekolah. Djarot berharap Teater Lungid dapat menyadarkan masyarakat akan kondisi-kondisi tersebut.

Cerita Sandiwara Unyeng-Unyeng sendiri begitu menarik dan menceritakan konflik keluarga yang cukup kompleks. Secara singkat, Sandiwara Unyeng-Unyeng yang disampaikan dalam Bahasa Jawa menceritakan anak lelaki seorang pengusaha yang justru tidak mampu meneruskan usaha orang tuanya.

Selain tidak mampu meneruskan usaha milik ayahnya, si anak justru terpengaruh oleh ucapan perempuan karena sudah sering sekali berganti pacar. Dia tidak dapat memenuhi tuntutan ayahnya untuk menjadi sosok yang bertanggung jawab di keluarga dan masyarakat, padahal dia sudah menempuh pendidikan yang mahal.

Iringan perkusi menjadi nilai plus pementasan Teater Lungid. Penata iringan Teater Lungid, Gendut Dalang Berijazah, mengaku secara konsep Teater Lungid memberikan iringan lewat musik pembuka yang membangun interaksi dengan penonton.

“Selanjutnya untuk musik dalam cerita hanya untuk mendukung suasana saja saat diperlukan. Kami juga mendukung konsep daur ulang dan ramah lingkungan yaitu dengan alat musik berbahan bambu agar tidak menambah limbah,” paparnya saat diwawancara Solopos.com.

Seorang penonton Sandiwara Unyeng-Unyeng, Ferry Arifianto, mengaku menikmati pementasan tersebut karena menampilkan banyak kejutan. Iringan musik juga memberi nilai lebih. Dia menilai hiburan teater masih tetap diminati di masyarakat secara stabil.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya