SOLOPOS.COM - Enam orang mantan napiter berfoto bersama para pimpinan daerah yang tergabung dalam Forkompimda Sragen di Stadion Taruna Sragen, Kamis (17/8/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN—Upacara detik-detik proklamasi yang digelar di Stadion Taruna Sragen, Kamis (17/8/2023), menjadi sarana untuk deradikalisasi bagi para mantan narapidana terorisme (napiter).

Di Sragen ada sembilan napiter yang tercatat, tetapi yang mau menghadiri upacara untuk hormat terhadap lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ada enam orang.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Enam orang itu datang dengan mengenakan pakaian lurik karena semua peserta upacara wajib memakai pakaian baju adat Nusantara. Ribuan orang yang memadati stadion dalam upacara yang dihadiri Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati sebagai inspektur.

Mereka duduk di barisan tamu undangan paling belakang selama upacara. Ketika pengibaran bendera merah putih yang dilakukan puluhan personel pasukan pengibar bendera (paskibra), mereka pun ikut bersikap hormat bendera.

Di akhir upacara, mereka berfoto bersama dengan pimpinan daerah yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Sragen.

Pendekatan persuasif kepada para mantan napiter agar mau membaur dengan masyarakat dan mengakui NKRI itu dilakukan tiga lembaga, yakni TNI, Polri, dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sragen.

“Para napi yang sudah keluar itu jangan ada stigma. Tadi, kami sempat berfoto bersama para mantan napiter di stadion. Saya mengapresiasi kepada mereka setelah insaf. Mereka membantu kami menjadi bagian dari NKRI. Dalam waktu dekat akan bersilaturahmi dengan Kapolres,” ujar Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati saat ditemui wartawan, Kamis siang.

Kepala Badan Kesbangpol Sragen Sutrisna mengatakan kedatangan enam orang mantan napiter itu dalam upacara detik-detik proklamasi sebagai sarana deradikalisasi.

Dia mengatakan sebelumnya mereka memang dipahamkan dan diberi pengertian tentang NKRI. Dia mengatakan dengan terlibat dalam upacara-upacara maka mereka diharapkan memiliki jiwa nasionalisme dan berwawasan kebangsaan.

Salah satu mantan napiter, Hasan, saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis, mengaku sering ikut upacara bendera saat masih sekolah dulu, bahkan pernah menjadi komandan upacara. Hasan mengaku tidak gagal dalam memahami negara karena pemahamannya tidak seperti JAD.

Dia menyampaikan teman-temannya di JAD menganggap negara ini kafir. Hasan menilai urusan akidah itu selesai di zaman rasul tetapi muamalah itu berkembang sesuai perkembangan zaman dan ketika terjadi perbedaan itu biasa.

“Kami saat di Polda diskusi hal itu biasa. Ketika diminta mengakui NKRI, saya itu harus membuktikan apa lagi. Saya punya SIM. KTP juga ada, Akta punya. Arisan RT ikut. Ronda juga ikut. Kerja bakti ikut. Kalau teman-teman lainnya saya tidak tahu karena tidak kenal mereka,” kata dia.

Dia mengaku dulu pernah masuk di Jaringan Islamiyah (JI). Dia juga pernah divonis tiga tahun akibat terlibat di jaringan itu. Dia mengatakan masuk JI sekitar 1999 dan baru keluar pada 2021 lalu.

“Selama di JI itu, saya lebih banyak membersamai umat untuk berdakwah. Saya tidak kenal tokoh-tokoh JI. Saya kandang tiga bulan ke Kalimantan untuk safari dakwah. Jadi jalan kami sebenarnya tidak salah tetapi caranya yang keliru,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya