SOLOPOS.COM - Koordinator Kelompok Pengolah dan Pemasar (Poklasar) Lohjinawi, Nanik Muryani, 55, menunjukkan abon lele di RT 001 RW 003, Kelurahan Timuran, Kecamatan Banjarsari, Solo, Jumat (26/4/2024). (Solopos.com/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SOLO-Abon lele Lohjinawi dalam kemasan yang apik berjejer di etalase toko oleh-oleh Era Jaya di Jl. Gatot Subroto No.132, Kecamatan Serengan, Solo, Jumat (17/5/2024). Penempatannya strategis, dekat dengan etalase di depan kasir.

Penampilannya memang berbeda dari produk ikan olahan lainnya yang hanya dikemas dalam plastik bening atau toples. Abon lele Lohjinawi tampil dengan kemasan 100 gram berdesain grafis yang elok sehingga memberi kesan premium. Ada dua varian rasa, orisinal dan pedas.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Toko Era Jaya sudah menjual produk Lohjinawi dengan harga Rp30.000 sejak 2023. Toko yang berdiri pada 2001 ini menjual aneka produk camilan, utamanya asal Soloraya.

Solopos.com mencoba abon lele Lohjinawi rasa orisinal. Rasanya sangat mirip dengan abon sapi. Bedanya, abon Lohjinawi berwarna coklat muda, sedangkan abon sapi umumnya berwarna coklat tua.

Pemilik Era Jaya, Andrijarto, menjelaskan kepada Solopos.com, kemasan premium produk Lohjinawi membawa keuntungan, Jumat (17/5/2024).
“Produk ini menjadi pilihan oleh-oleh bagi kalangan tertentu,” ujarnya.

Era Jaya umumnya menjual berbagai produk yang berasal dari unit usaha binaan pemerintah kota/pemerintah kabupaten. Produk binaan biasanya lebih berkualitas dan berizin, misalkan punya nomor induk usaha (NIB), sertifikasi pangan industri rumah tangga (PIRT), dan sertifikasi produk halal.

Selain di Era Jaya, abon ikan Lohjinawi juga dipajang di etalase berbagai toko oleh-oleh di Kota Solo. Misalnya, Pasar Oleh-oleh Jongke, Toko Oleh-oleh Bu Jayus, Toko Koperasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Solo, dan kantin-kantin sekolah.

Abon lele Lohjinawi diproduksi oleh Kelompok Pengolah dan Pemasar (Poklasar) Lohjinawi yang beranggotakan sembilan perempuan di RT 001 RW 003, Kelurahan Timuran, Kecamatan Banjarsari, Solo.

Semua berawal ketika mereka tidak memiliki kegiatan saat pandemi Covid-19. Usaha mereka seperti menjahit, laundri, membuat galantin, dan toko sembako berhenti karena ada kebijakan pembatasan sosial.

Kemudian Ketua RT 001 RW 003, Kelurahan Timuran, Nanik Muryani, 55, mengajak sembilan perempuan warganya untuk membudidayakan lele. Mereka membangun dua kolam dari semen di sisa lahan yang berada di kanan dan kiri gang di kampung mereka.

Dua kolam di kampung yang berada di tengah kota itu mampu menampung 1.500 ekor lele. Awalnya, benih lele diberi makan pelet dan setelah besar makanannya adalah sampah organik yang berasal dari sisa makanan.

Para perempuan juga menanam sayuran secara organik di sekitar kolam. Mereka memakai kompos cair dari sampah pangan dari rumah tangga. Hasil panen sayuran yang sehat itu dijual.

Butuh waktu tiga sampai empat bulan untuk memanen lele. Sayang, panen pertama justru tidak laku dijual. Ukuran lele melebihi standar untuk hidangan di restoran.

Tak mau rugi, mereka punya ide mengolah daging lele menjadi abon. Beruntung, pasar bisa menerima abon lele Lohjinawi.

Jumlah produksinya terus bertambah hingga seberat 80 kilogram setiap ada pesanan. Selain dari panen sendiri, lele diperoleh dari peternak lele di Kabupaten Boyolali. Ada lima perempuan yang aktif memproduksi olahan lele.

Namun persoalannya, sampah sisa bahan bakunya banyak, hampir 50 persen. Waktu itu, semua bagian lele selain daging, masuk tong untuk diproses menjadi pupuk organik atau dibuang begitu saja.

Setelah tiga tahun berjalan, Nanik yang juga Koordinator Poklasar Lohjinawi mencoba melakukan diversifikasi produk olahan lele dengan memanfaatkan semua bagian tubuhnya. Tujuannya, memberikan tambahan keuntungan dan mengurangi sampah organik. Inspirasinya ia peroleh dari pengalaman memasak kulit udang.

Ibu dua anak tersebut merebus dan memblender kulit udang yang tidak digunakan dalam masakan udangnya. Karena rasanya gurih, ia menerapkan pengalaman ini untuk mempresto duri lele sebagai campuran basreng.

“Ternyata rasanya gurih. Kandungan kalsium ada di tulangnya,” jelas Nanik ditemui Solopos.com di rumahnya, Jumat (18/5/2024) siang.

Selanjutnya, Nanik bersama para anggotanya memproduksi keripik dari kulit lele dan sirip lele, basreng dari duri lele, dan kerupuk dari sari kepala lele. Sedangkan ampas kepala lele digunakan untuk pupuk tanaman di sekitar kolam lele.

Aneka olahan lele menjadi abon, kerupuk, keripik, dan basreng itu membuat Lohjinawi bisa meraup laba bersih dari 30% menjadi 40%.

Dalam memproduksi 80 kg lele, Nanik bersama perempuan lainnya mengeluarkan modal lebih kurang Rp4 juta. Mereka mendapatkan laba bersih lebih kurang Rp1,6 juta. Laba itu dibagikan kepada tiga sampai lima orang yang ikut memproduksi olahan lele.

Ada sejumlah perempuan anggota Lohjinawi merupakan kepala rumah tangga. Mereka menjalankan usaha jahit, memproduksi galantin, dan toko kelontong.
Salah satu anggota perempuan, Sri Windarti, 55 menjalankan usaha menjahit serta usaha toko kelontong. Dia memperoleh penghasilan sekitar Rp1,5 juta/ bulan dari usaha jahit.

Sedangkan toko kelontongnya tidak pasti karena masih sepi. Penghasilan usaha jahit lebih diandalkan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dia tinggal bersama ibu dan kedua adiknya.

Sri juga mendapat suplai dari ternak lele dan sayuran yang ditanam bersama Lohjinawi. Setiap tiga bulan ia mendapat sawi dan singkong setiap tahun. Dengan begitu, dia berhemat.

Sedangkan penghasilannya dari produk olahan ikan dan menjual sayuran organik lebih banyak digunakan untuk iuran guna mengembangkan usaha.

Poklasar Lohjinawi melalui produk olahan ikan juga mengkampanyekan gemar makan ikan di Kota Solo. Pasalnya, angka konsumsi ikan (AKI) Kota Solo tergolong rendah, hanya 32,61 kg per kapita pada 2022. Jauh dari rata-rata nasional sebanyak 56,48 kg per kapita.

lohjinawi solo
Abon ikan Kelompok Pengolah dan Pemasar (Poklasar) Lohjinawi dipajang di etalase toko oleh-oleh Era Jaya Jl. Gatot Subroto No.132, Kecamatan Serengan, Solo, Jumat (17/5/2024). (Solopos.com/Wahyu Prakoso)

Mengonsumsi ikan bagi ibu yang sedang hamil dapat mencegah anak mengalami tengkes atau stunting. Penyebab terbesar kasus tengkes pada anak karena kurang gizi.

Ikan dikenal memiliki gizi yang baik bagi tubuh manusia sebagai sumber mineral, protein, vitamin, dan lemak baik. Ikan penting dikonsumsi oleh ibu sebelum dan ketika hamil serta saat melahirkan atau hingga anak mencapai seribu hari pertama kehidupan (HPK).

Upaya mengurangi sampah pangan (organik) yang dilakukan Lohjinawi merupakan contoh usaha berkelanjutan di Kota Bengawan. Perempuan Lohjinawi bisa menunjukkan bisnis makanan biasa dilakukan dengan cara menekan sampah organiknya sehingga tidak mencemari lingkungan.

Di Solo, volume sampah terus meroket. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Solo mencatat produksi sampah harian di Solo yang mencapai 313 ton/hari pada 2021, meningkat menjadi 376 ton/hari (2022), dan 419 ton/hari (2023). Mayoritas merupakan sampah organik.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Gita Pertiwi yang fokuskan pada isu pelestarian lingkungan mencatat setiap hari satu keluarga di Kota Solo menghasilkan sampah rata-rata 0,49 kg pada 2018. Volume ini meningkat menjadi 0,73 kg pada 2021 saat pandemi Covid-19 belum berakhir. Permintaan pemerintah agar masyarakat banyak beraktivitas di rumah membuat tingkat konsumsi makanan naik dan memicu meningkatnya volume sampah.

Riset Gita Pertiwi mengenai pola konsumsi pada 2017 dan 2019, menyatakan warga Solo memiliki hobi kuliner. Warga Solo bisa makan empat kali dalam sehari dan hobi makan camilan. Mereka juga memiliki kebiasaan menyediakan makanan berlebih saat menggelar hajatan.



Akibatnya, makanan yang tidak dikonsumsi menambah jumlah sampah organik. Padahal, kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo sudah overload atau melebihi kapasitas.

Kini, gunungan sampah di TPA seluas 17 hektare itu sudah mencapai lebih dari 25 meter. Jangan tanya baunya, pasti menyengat karena penuh sampah organik. Sampah TPA Putri Cempo berasal dari 54 kelurahan di Kota Solo. Sampah diangkut petugas sampah setiap pagi dari rumah tangga, pasar tradisional, jalan/area publik, mal, dan tempat usaha lainnya.

Khusus sampah rumah tangga di Kecamatan Banjarsari, warga telah memilah sampah di rumah menjadi sampah organik dan anorganik (sampah yang sulit terurai seperti plastik dan lainnya). Petugas tidak mengambil sampah apabila warga tidak memilahnya.

Namun, kebijakan pilah sampah dari rumah di Kecamatan Banjarsari belum ditiru oleh empat kecamatan lain di Solo. Padahal, sampah organik yang tidak diolah dan berakhir di TPA Putri Cempo akan menghasilkan gas metana (CH4).

Gas CH4 adalah salah satu gas yang ikut berkontribusi besar pada pemanasan global, penyebab krisis iklim. Gas yang memerangkap radiasi sinar matahari di atmosfer ini menyebabkan naiknya suhu bumi. Dampaknya cuaca berubah dan memicu bencana lingkungan dari skala paling kecil yang sampai besar, seperti banjir, badai, tanah longosr, dan kekeringan.

Muhammad Romy, Intan Kurnia Safitri, Zayyan Syafiqah Aggistri, Mella Ismelina F. Rahayu, dalam jurnal Analisis Potensi Pembangkit Limbah Menjadi Energi pada TPA Pembuangan Limbah di Indonesia Menuju SDGs 2030, menjelaskan gas metana memiliki 23 kali lebih bahaya CO2.
TPA memasok 10% gas CH4 ke atmosfer pada tahun 2019. Indonesia adalah penghasil emisi CH4 terbesar ke-10 dari 34 negara pada tahun 2018 dengan 370 metrik ton setara karbon dioksida (MtCO2 eq).

Direktur Program Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti, menjelaskan sampah pangan di Kota Solo didominasi dari industri, antara lain dari sektor restoran, katering, hotel, dan pasar tradisional. Sektor tersebut jadi penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Solo.

Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Solo mencatat pada 2023, pajak restoran menduduki ranking 3 dan hotel ranking 5, masing-masing sekira Rp85,3 milyar dan Rp53,7 milyar. Pajak restoran hanya kalah dari pajak bumi dan bangunan (PBB) yang mencapai sekira Rp91,1 dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sekira Rp89,7.

Sementara itu, data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Solo menunjukkan investasi pada sektor hotel dan restoran semakin bertambah di Solo setiap tahun. Pada 2022 investasi sektor hotel dan restoran mencapai Rp37,5 milyar, setelah sektor listrik, gas, dan air; sektor transportasi, gudang, dan komunikasi; dan sektor perdagangan dan reparasi.



Pada 2023, realisasi investasi di Kota Solo meningkat signifikan jadi Rp917.7 milyar. Investasi pada sektor hotel dan restoran menjadi yang terbesar, yaitu Rp163.3 milyar.

Untuk mengurangi sampah organik, Gita Pertiwi mendorong hotel dan restoran agar memiliki perencanaan pangan secara mandiri atau bekerja sama dengan komunitas. Sebagai contoh Hotel Alila Solo berkolaborasi dengan Taman Winasis Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Solo.

Mereka membudidayakan maggot dengan makanan dari sampah pangan. Kasgot atau sisa pencernaan yang dihasilkan oleh larva maggot dijadikan kompos Hotel Alila Solo.

“Perlu ada reward untuk hotel dan restoran. Pemkot Solo mengintegrasikan sampah organik dengan insentif pengurangan pajak. Kemudian reward sertifikat dari Wali Kota Solo juga bisa meningkatkan prestise mereka sebagai green hotel,” papar Titik.

Titik mengritik Bank Sampah Unit (BSU) di Solo tidak berkontribusi maksimal dalam upaya mengurangi sampah. BSU mengelola sampah anorganik yang bernilai ekonomi saja. Padahal Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Solo memiliki satu Bank Sampah Induk (BSI) dan 150 BSU yang tersebar di 54 kelurahan.

Seharusnya, bank sampah juga mengelola sampah organik dan masyarakat harus memilah sampah sejak dari rumah. Memilah sampah dari rumah adalah upaya paling penting agar sampah organik bisa diolah jadi produk lainnya dan tidak menimbulkan gas metana di TPA.

Gita Pertiwi mendampingi sekitar 50 orang di Soloraya yang tergabung dalam Forum Champion. Mereka menerapkan prinsip ramah lingkungan dalam menjalankan budidaya, pertanian, pengolahan pangan, dan memproduksi pupuk organik dari sampah pangan. Kompos organik dijual kepada anggota dan nonanggota.

Titik minta sejak dini Pemkot Solo juga harus mengedukasi warga melalui sekolah agar makan secukupnya agar tidak menimbulkan sampah organik. Kantin sekolah atau program makan siang gratis sebaiknya dilakukan dengan cara prasmanan supaya tidak menyisakan sampah pangan.

Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, menjelaskan Pemkot Solo berkomitmen menyelesaikan masalah sampah dimulai dengan pengoperasian pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) Putri Cempo pada 2023.



“Permasalahan sampah di Kota Solo itu harus selesai dari hulu sampai hilir. Nanti pelaku-pelaku usaha juga harus berpartisipasi” papar Gibran di Balai Kota Solo, Selasa (8/5/2024).

Namun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Jawa Tengah, Selasa (2/8/2022), menjelaskan dampak yang paling terasa adalah penurunan kualitas udara atau baku mutu udara ambien.

Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Solo, Sumilir Wijayanti, mengatakan pemerintah pusat menyiapkan Solo menjadi kota global dan ekonomi hijau pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Regulasi untuk mengurangi sampah pangan yang melibatkan pelaku usaha seperti Poklasar Lohjinawi juga sedang dibuat.

Berhadapan dengan krisis ikilm yang kian parah, Kota Solo membutuhkan lebih banyak pelaku usaha seperti Lohjinawi. Kehadiran mereka akan mendukung Kota Solo yang ditopang dengan proses ekonomi hijau.

Berikut alamat toko oleh-oleh yang menyediakan produk olahan ikan dari Lohjinawi dan lokasi produksinya, klik di sini.

 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya