SOLOPOS.COM - Mural tokoh sastra asal Solo dari Ronggowarsito, WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Wiji Thukul di kawasan koridor Gatsu, Solo, Minggu (8/1/2023). (Solopos/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO–Lewat tren seni bergaya pop art seperti mural, warga Solo disuguhkan keindahan dan kenikmatan terutama ketika berkunjung di koridor Jalan Gatot Subroto (Gatsu) dan Kemlayan, Solo.

Selain memiliki fungsi estetik, ternyata mural yang diinisiasi oleh Solo is Solo itu mampu menangkap sejarah kota yang dinamis.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Di sepanjang kawasan Gatsu dan Kemlayan pengunjung yang lewat disuguhkan berbagai peristiwa sejarah, beberapa di antaranya mural bertema penangkapan Diponegoro. Mural itu dibuat hitam putih, namun dibuat dengan cukup detail seperti adanya kehadiran Raden Saleh, pelukis kenamaan masa Hindia Belanda.

Tokoh-tokoh politik juga digambarkan menurut periodisasi masa hidup mereka saat berkontribusi terhadap pembangunan di wilayah Hindia Belanda maupun ketika sudah menjadi Indonesia.

Misalnya, mural yang menggambarkan Daendels lengkap dengan pakaian ala kompeni Inggris. Meski dengan sistem kolonial, Daendels ‘berjasa’ membuat beberapa infrastruktur di masa lalu. Rentang waktu setelahnya, ditampilkan mural Ir Sutami yang merupakan Menteri Pekerjaan Umum Indonesia andalan Presiden Soekarno. 

Direktur Solo is Solo, Irul Hidayat, menyebut Soetami patut dijadikan contoh menteri yang sederhana, namun sangat berkontribusi bagi pembangunan Indonesia di masa sulit atau awal kemerdekaan.

“Dia [Sutami] yang membangun proyek-proyek mercusuar, seperti Monas, Stadion Utama Senayan yang kini bernama Stadion Gelora Bung Karno, dan banyak lagi,” kata Irul kepada Solopos.com, Rabu (15/2/2023).

Di sebelahnya, ada tokoh pembangunan masa kini, Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono. Pak Bas, sapaan akrabnya, ditampilkan membawa gerobak angkong lengkap dengan helm layaknya pekerja proyek dan mengenakan baju putih berlogo PUPR.

Solo is Solo tidak berhenti sampai situ, seakan ruang publik itu diubah layaknya buku sejarah. Seniman dan sastrawan tidak lupa dilukiskan melalui mural.

Misalnya penulis asli Solo, Kho Ping Hoo dengan serial silat yang hampir semua generasi 80-an mengenal sosok di balik cerita-cerita silat di Indonesia itu.

“Kami ingin menghidupkan memori kolektif. Salah satunya lewat mural bergambar Kho Ping Hoo itu. Wah itu luar biasa, tidak ada di generasi dulu yang tidak membaca Kho Ping Hoo, bahkan cakupan pembacanya dari tukang becak sampai presiden semua baca. Makanya kita beri space/ruang,” ujar Urul.

Di deretan lain, masih di wilayah Gatsu terdapat mural Godfather of Broken Heart, Didi Kempot. Musisi campursari asal Solo ini belakangan sebelum ia mangkat berhasil mengumpulkan anak-anak milenial dan Gen Z di satu tempat untuk merasakan nuansa patah hati sambil bergoyang.

“Kita sejajarkan Didi Kempot dengan para penyair asli Solo, seperti Ranggawarsita, WS Rendra, Sapardi, sama Wiji Thukul. Dia kan sebenarnya juga penyair, namun memang di dunia musik,” kata Irul.

Masuk wilayah Kemlayan, kondisi jauh lebih hidup. Jalan di gang yang dipenuhi tembok-tembok bangunan terasa hidup karena mural yang kebanyakan bertema rakyat biasa. Tidak heran, banyak momen-momen sederhana dilukiskan seperti suasana angkringan/wedangan.

Angkringan atau wedangan menjadi ikonik di Kota Solo, setiap gang bahkan setiap kelurahan jelas ada angkringan/wedangan. Tempat kumpul orang-orang kecil nan biasa yang membicarakan perihal kehidupan sehari-hari. Tidak jarang obrolan politik tidak sengaja keluar begitu saja di angkringan/wedangan.

Lain lagi, mural bakul nasi liwet yang dilukiskan dengan suasana khas. Mural itu merepresentasikan jajanan khas Solo terutama di kala malam. Di setiap sudut kota bahkan sangat mudah menemui masakan yang disajikan dengan wadah daun pisang itu.

Irul sengaja menghidupkan kawan Kemlayan menjadi tempat publik. Dia dan komunitas seniman Solo is Solo ingin menghidupkan tempat yang dulunya memang ditinggali para seniman keraton. Bahkan para seniman sudah berada di Kemlayan sejak Paku Buwono (PB) X bertakhta.

“Makanya kita ingin wilayah Gatsu dan Kemlayan menjadi tempat buat publik. Kami ingin libatkan semua warga. Makanya setiap pekan kita ada workshop. Dan kita juga kita ketika mau mengganti mural sudah tidak lagi dipatok hanya pas ada event saja. Nanti bertahan kita maunya ya setiap saat itu bisa aja ganti. Semaunya artisnya,” kata Irul.

Dia mengatakan memang memiliki visi untuk mengedukasi masyarakat lewat media mural. Dengan begitu tidak hanya orang-orang sekitar yang menjadi belajar sejarah, namun juga para seniman mural.

“Yang menggambar kan akhirnya jadi tahu sejarah ini itu, karena memang sebelum mulai membuat mural harus riset dulu,” jelas dia.

Saat ini, Irul mengaku sedang menyiapkan beberapa konsep lain yang berkaitan dengan sejarah Kota Solo. Dia mengatakan masih banyak tokoh-tokoh yang belum terealisasi karena keterbatasan ruang dan artis.

“Kami juga ingin menampilkan tokoh seperti Padmosusastro sastrawan asli Solo. Juga menampilkan puisi-puisi Wiji Thukul, tapi nunggu momen yang pas. Mungkin nanti Mei,” kata dia.

Sejarawan, Heri Priyatmoko ketika dihubungi Solopos.com, Rabu (15/2/2023) mengatakan upaya menghidupkan sejarah kota lewat mural memang cukup efektif. Media baru melalui gaya populer cenderung lebih bisa diterima masyarakat.

“Di sini para pujangga [seniman] kekinian bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa sekarang. Fungsinya justru menjadi legitimasi atas kontennya bahwa ini lo dalam Serat Centhini dan Serat Tatacara, itu sudah menyebutkan nasi liwet. Nah itu justru berpihak pada UMKM,” katanya.

Heri menjelaskan mural menjadi alih wahana baru. Dulu orang menggambar hanya lewat kertas, sekarang lewat mural di tembok-tembok. “Nah ini pertokoan dicat artistik dengan menampilkan tokoh-tokoh ini menurut saya bagian dari upaya menjaga memori. Mempresentasikan tokoh-tokoh yang pernah melegenda di Solo,” terangnya.



Hal itu, kata dia, mempunyai fungsi sosial dengan menghadirkan kebangkaan. Selain itu, melalui tampilan para tokoh besar itu, bisa jadi sumber keteladanan. “Selanjutnya bisa sumber ekonomi dan bisnis. Tokoh-tokoh ini ‘dijual’ dengan cara kontennya, seperti taruhlah acara Solo is Solo pada saat malam minggu itu,” ujarnya.

Irul bersama Solo is Solo menegaskan akan tetap menghidupkan kawasan Gatsu dan Kemlayan. Dia menyiapkan skema agar komunitas ini semakin mandiri secara keuangan dan terus berkembang terutama menyasar anak muda. 

“Makanya kita namakan Solo is Solo, Solo ya Solo. Biar ada kebanggaan kalau kita itu berasal dari Solo. Namanya sengaja dipilih agak kebarat-baratan biar anak-anak muda itu mau gabung,” kata dia.

Jalan Gatot Subroto dan Kemlayan pada akhirnya berhasil merekam sejarah Kota Solo yang hari ini sudah berusia 278 tahun. Ini menjadi refleksi bersama bagaimana kota tergambar di masa lalu, terealisasikan di masa kini, dan direncanakan di masa depan. Solo harus mengenal sejarah kotanya sendiri, yang umurnya sudah sangat tua itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya