SOLOPOS.COM - Rusunawa Semanggi di Kelurahan Mojo, Pasar Kliwon, Solo. Foto diambil Selasa (7/6/2022). (Solopos/Nicolos Irawan)

Solopos.com, SOLO Membeli rumah sendiri adalah cita-cita. Namun, bagi 4 dari setiap 10 keluarga di Kota Solo, membeli rumah hanya menjadi utopia di wilayah yang kerap disebut salah satu kota berbiaya hidup termurah.

Jumat 23 September 2022, bangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Semanggi di Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, mulai lengang. Sejumlah penghuni mengangkut perabotan rumah tangga dari kamar ke mobil pikap. Yang lainnya sibuk memindahkan perangkat elektronik seperti televisi, mesin cuci, kipas angin, dan sebagainya. Ada pula yang mengemasi barang pecah belah seperti piring dan gelas.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Itu adalah hari terakhir Septi berada di rusunawa itu. Dia tinggal mengangkut barang-barang elektronik yang masih tersisa. Sebagian perabotan rumah tangga berukuran besar sudah dia pindahkan ke tempat tinggal barunya beberapa hari sebelumnya.

Septi dan para tetangganya meninggalkan rusunawa bukan karena sudah memiliki rumah sendiri. Mereka harus angkat kaki karena bangunan rusunawa harus dikosongkan sebelum dibongkar untuk dibangun lagi. Pemerintah Kota (Pemkot) Solo telah memberikan bantuan subsidi sewa rumah senilai Rp5 juta untuk setiap keluarga agar mereka mau pindah.

Bersama suaminya, Septi akhirnya menyewa kamar indekos di wilayah Kelurahan Kedunglumbu, Kecamatan Pasar Kliwon. Harga sewa kamar indekos untuk pasangan suami istri (pasutri) Rp700.000 per bulan. Uang bantuan subsidi sewa rumah yang diterima digunakan untuk membayar sewa kamar indekos selama pengerjaan proyek pengerjaan bangunan rusunawa yang baru.

“Harus tetap disyukuri meski kurang. Masih ada tabungan yang bisa digunakan untuk membayar sewa kamar indekos jika uang bantuan subsidi sewa rumah habis,” ujar dia.

Sebagian penghuni rusunawa telah pindah setelah menerima bantuan itu. “Ini gelombang terakhir penghuni rusunawa yang pindah ke lokasi lain. Hari ini mungkin hanya dua keluarga-lima keluarga tersisa yang pindah dari rusunawa. Mereka sudah menerima bantuan uang dari pemerintah, sudah semestinya pindah mencari lokasi lain,” kata Ketua RT 006/RW 002 Rusunawa Semanggi, Kelurahan Mojo, Narto, saat itu.

Seperti Septi, Narto menyewa rumah kontrakan yang letaknya tak jauh dari lokasi rusunawa di wilayah Pasar Kliwon. Begitu pula dengan penghuni rusunawa lainnya yang mengincar kamar indekos di wilayah Kelurahan Semanggi atau Kelurahan Sangkrah. Sebagian penghuni rusunawa lainnya pindah ke rumah kerabat mereka di luar Kota Solo.

“Mereka nebeng di rumah kerabat keluarga di luar Solo. Ya selama pengerjaan proyek pembangunan rusunawa yang baru rampung. Mungkin akhir tahun depan, saya juga tidak tahu,” ujar dia.

Narto dan Septi adalah gambaran sulitnya masyarakat berpenghasilan rendah di Solo mencari tempat tinggal untuk menetap. Keinginan memiliki rumah sendiri jauh dari jangkauan–jika bukan disebut utopia. Tetapi mereka tidak sendiri karena banyak warga kelas menengah di Solo juga hampir mustahil memiliki rumah mengandalkan gaji mereka.

Setidaknya itu tergambar dari pengakuan Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Solo, Dwi Ariyatno, beberapa waktu lalu. Dia menyebut harga sebuah rumah sudah di luar kemampuan gaji aparatur sipil negara (ASN).

“Kemampuan pembiayaan membeli hunian dalam kota sudah enggak masuk bagi ASN. Harga bangunan sederhana standarnya Rp300 juta sampai Rp400 juta. Belum lagi harga tanah, misalkan 100 meter persegi dengan harga per meter Rp10 juta sudah Rp1 miliar. Tak sebanding dengan penghasilan mereka,” katanya, 10 Oktober 2022 lalu.

Itu baru ASN, kelompok masyarakat yang lekat dengan kesan mapan dan terjamin dalam banyak hal, termasuk akses terhadap kredit perumahan rakyat (KPR). Apa yang dikatakan Dwi sejalan dengan data yang dipaparkan Badan Pusat Statistik (BPS). Di Kota Solo hampir 40% atau empat dari setiap 10 keluarga di Solo tidak memiliki rumah.

Tak Punya Rumah

Artinya, hanya enam dari setiap 10 keluarga keluarga di Solo yang memiliki rumah. Perinciannya, pada 2021 hanya 61,89% keluarga di Solo yang memiliki rumah. Sebanyak 14,59% lainnya mengontrak atau menyewa rumah dan 22,78% tinggal di rumah orang lain tanpa sewa. Sisanya sebanyak 0,74% keluarga menempati rumah dinas atau fasilitas lainnya.

Rasio keluarga yang memiliki rumah di Kota Solo merupakan yang terendah di Soloraya. Di atas Solo adalah Sukoharjo di mana 81,52% keluarga memiliki rumah. Angka itu jauh di atas Solo dengan selisih hampir 20%. Di Soloraya, daerah dengan rasio kepemilikan rumah tertinggi adalah Wonogiri di mana 95,89% memiliki rumah pada 2021.

Tak hanya di Soloraya, rasio keluarga yang memiliki rumah di Solo juga termasuk yang terendah di Jawa Tengah. Di antara daerah dengan status kota di Jawa Tengah yaitu Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, dan Kota Tegal, Solo menjadi nomor kedua terendah.
Rasio keluarga yang memiliki rumah di Solo hanya lebih tinggi daripada Kota Magelang yang hanya 60,65%. Solo juga kalah dari Kota Semarang dengan rasio keluarga yang memiliki rumah mencapai 69,34%. Sedangkan kota dengan rasio keluarga memiliki rumah tertinggi di Jawa Tengah adalah Kota Salatiga, yakni 72,91%.

Situasi ini sulit berubah lantaran perkembangan pendapatan penduduk Kota Solo yang tak seimbang dengan harga lahan yang tinggi. Selain itu, tidak banyak lahan yang tersedia untuk pengembangan permukiman baru.

Peta Zona Nilai Tanah Surakarta 2020 yang dirilis Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui laman bhumi.atrbpn.go.id menunjukkan sulitnya membangun permukiman baru di Kota Solo. Ada beberapa hal yang membuat hal itu sulit (jika bukan mustahil) dilakukan. Pertama, sebagian besar lahan di Kota Solo memiliki nilai Rp2 juta/m2 ke atas. Bahkan sebagian memiliki nilai di atas Rp20 juta/m2, yakni kawasan-kawasan yang sangat strategis di tengah kota.

Peta zona nilai tanah di Kota Solo pada 2020 berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN). Warna semakin gelap menunjukkan harga yang semakin tinggi. Hanya sedikit kawasan yang berwarna terang atau zona bernilai Rp500.000-Rp1 juta per m2. 
 

Kedua, tidak banyak lahan tersisa di Kota Solo yang bisa dan layak dijadikan sebagai kawasan permukiman baru. Dalam Peta Zona Nilai Tanah Surakarta memang terdapat sejumlah zona yang memiliki nilai lahan sangat rendah, yakni di rentang Rp500.000/m2 hingga Rp1 juta/m2. Namun zona tersebut tak mungkin menjadi permukiman karena satu-satunya yang termasuk di dalamnya adalah lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta.

Zona dengan rentang harga sedikit lebih tinggi memiliki nilai harga di rentang Rp1 juta/m2 hingga Rp2 juta/m2. Namun, sama dengan zona dengan nilai di bawahnya, lahan yang masuk dalam zona ini juga sulit dikembangkan menjadi kawasan permukiman baru.

Lahan dengan nilai yang masuk dalam rentang harga tersebut tersebar di tepi Sungai Bengawan Solo seperti bagian timur wilayah Kelurahan Pucangsawit, bagian timur Kelurahan Sewu, timur Kelurahan Semanggi, serta Kelurahan Mojo. Selain rentan dilanda banjir luapan Bengawan Solo, kawasan-kawasan tersebut juga bukan diperuntukkan sebagai permukiman.

Kondisi serupa juga muncul pada lahan di sekitar alur Kali Pepe di Banyuanyar. Ada pula lahan dengan nilai serupa di wilayah Kelurahan Mojosongo, khususnya di sekitar jalan lingkar utara yang masih jarang penghuni.

Di Luar Jangkauan

Nilai lahan terendah di Kota Solo yang masih mungkin didapatkan saat ini sudah mencapai di atas Rp1 juta/m2. Selain sulit ditemukan, lahan dengan nilai tersebut juga sudah tidak terjangkau bagi 40% masyarakat berpendapatan terendah di Kota Solo.

Sebagai catatan, nilai lahan belum tentu sama persis dengan harga jual tanah. Pemilik bisa saja menjual lahan dengan harga lebih tinggi daripada nilai yang tercantum dalam nilai jual objek pajak (NJOP).



Solopos.com membuat simulasi harga sebuah lahan seluas 60 m2 dengan bangunan minimalis berukuran 36 m2 berdasarkan nilai lahan Rp1 juta/m2. Dengan asumsi tersebut, maka biaya pembelian lahan sedikitnya mencapai Rp60 juta.

Dengan harga borongan pembangunan rumah Rp2,75 juta/m2, maka dibutuhkan biaya pembangunan senilai Rp99 juta. Masih ada biaya lain seperti pajak pertambahan nilai (PPN) 10% dan sebagainya yang biasanya mencapai 15% dari harga tanah dan bangunan. Total harga rumah dan tanah tersebut mencapai Rp174,9 juta.

Dalam simulasi ini, Solopos.com menggunakan skema kredit perumahan rakyat bersubsidi Bank Tabungan Negara (BTN) dengan bunga 5% per tahun, uang muka minimal 1% dari harga, dan tenor 20 tahun. Hasilnya, pembeli harus membayar angsuran senilai Rp1,3 juta atau tepatnya Rp1.311.750 setiap bulan.

Nilai angsuran bulanan KPR bersubsidi ini masih jauh di atas kemampuan banyak warga Kota Solo. Upah minimum Kota Solo memang sudah di atas Rp2 juta, yaitu Rp2.013.?810 per bulan pada 2020 dan Rp2.035.720 per bulan pada 2021. Namun, idealnya nilai angsuran tidak lebih dari 30% dari pendapatan bulanan atau kurang dari Rp700.000 per bulan.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021, pengeluaran per kapita untuk konsumsi bagi 40% warga Solo berpendapatan terendah hanya sebesar Rp709.355 per bulan. Sedangkan pengeluaran 40% warga Solo berpendapatan menengah senilai Rp1.418.165 per bulan.

Bagi 40% masyarakat dengan pendapatan terendah, nilai angsuran bulanan untuk KPR sangat jauh dari jangkauan. Bahkan total pengeluaran bulanan mereka juga jauh di bawah nilai angsuran.

Di kelompok masyarakat berpendapatan menengah, situasinya juga tak berbeda. Meskipun nilai angsuran masih di bawah nilai pengeluaran bulanan mereka, tidak mungkin mengalihkan sebagian besar pengeluaran itu untuk KPR.

Sementara itu, Pemerintah Kota Solo sejauh ini baru menyediakan rusunawa sebagai solusi pemenuhan kebutuhan tempat tinggal masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, tinggal di rusunawa dengan biaya sewa maksimal Rp100.000 per bulan ini hanya menjadi solusi sementara.

Surat izin penempatan (SIP) sebagai bagi warga yang menghuni rusunawa berlaku satu tahun dan hanya dapat diperpanjang paling banyak lima kali. Artinya, setelah enam tahun atau lima kali perpanjangan, penghuni harus sudah memiliki tempat tinggal lain alias angkat kaki dari rusunawa.
Di sisi lain, upaya pemerintah menyediakan hunian vertikal berupa rusunawa juga kerap dipandang sebelah mata. Hal itu tidak lepas dari stigma kumuh yang muncul pada bangunan rusunawa.

Belum lagi ada bangunan rusunawa yang rusak dan rawan ambruk seperti Rusunawa Semanggi. Di samping itu, menjadi penghuni rusunawa juga harus memenuhi sejumlah persyaratan, di antaranya warga asli Solo (ditunjukkan dengan KTP) serta berpenghasilan rendah.

Dengan kondisi itu, Real Estat Indonesia (REI) Komisariat Soloraya menilai Pemkot Solo lebih baik membangun apartemen ketimbang rusunawa.
“Solo itu merencanakan untuk rusun. Tapi [saran] dari REI, mbokyao [kalau bisa] jangan rusun. Kalau rusun kan terlalu kumuh sehingga REI mengajukan semacam apartemen. Pemkot Solo bisa kerja sama dengan REI, atau kami sendiri [diberi kemudahan izin] untuk apartemen,” kata Ketua REI Komisariat Soloraya, S.S. Maharani, 23 Agustus 2022 lalu.

Bagi wilayah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi dan pembangunan masif seperti Solo, hunian vertikal seperti apartemen memang bisa menjadi solusi permasalahan hunian. Bagi kalangan profesional, hidup di apartemen jauh lebih praktis dan efisien.

Namun, apartemen ternyata juga kurang diminati di Kota Solo. Salah satu apartemen di Kota Solo, yakni Solo Paragon yang dibangun pada 2010 dan terletak di lokasi yang cukup strategis, tingkat penghuniannya hingga Agustus 2022 baru mencapai 70%. Itu pun didominasi kondotel.
Penghuninya? Jelas mereka yang berpendapatan menengah ke atas alias orang kaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya