SOLOPOS.COM - Sejumlah penyintas bencana dari berbagai selter hunian membentangkan spanduk saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (8/3/2022). Mereka mendesak agar Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan dan meminta persoalan hunian penyintas bencana di Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala) yang tidak ramah perempuan serta bantuan sosial yang bias gender segera dituntaskan. (Antara/Basri Marzuki)

Solopos.com, BOYOLALI — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Selasa (12/4/2022). Dengan disahkan UU TPKS tersebut, pendamping korban kekerasan seksual di Boyolali berharap akan lebih banyak korban yang berani berbicara.

Hal tersebut disampaikan Ketua Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Boyolali sekaligus pendamping korban kekerasan seksual di Boyolali, Nuri Rinawati. UU TPKS tidak hanya mengatur pelaku tapi juga mengatur perlindungan terhadap korban dan saksi.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

“Secara langsung memang belum ada dampak untuk kasus-kasus yang belum terselesaikan. Tapi ke depan, kami sebagai pendamping korban kekerasan seksual merasa ada titik terang dan gambaran jelas langkah tindakan perlindungan dan payung hukum terhadap korban,” kata Nuri Rinawati yang juga menjadi ketua Forum Masyarakat Madani (Formmad) Boyolali tersebut.

Baca Juga: Dugaan Rudapaksa Wanita Boyolali, Terlapor Ngaku Kenal R Tapi Tak Akrab

Saat disinggung mengenai kasus-kasus kekerasan seksual yang biasa ia tangani tapi tidak terselesaikan dengan baik, Nuri mengungkapkan penyebab utama dari kasus kekerasan seksual adalah relasi kuasa. Orang yang memiliki relasi kuasa dinilai lebih dominan dan memiliki kecenderungan menjadi pelaku kekerasan seksual karena dapat memanfaatkan posisi kuasanya.

“Misalnya, ada kepala sekolah yang menjadi pelaku kekerasan seksual kepada muridnya, pacar dari ibu menjadi pelaku kekerasan seksual kepada anak-anak, pacar kepada pasangan perempuan, dan lain-lain. Rata-rata mereka di bawah ancaman,” kata dia.

Damai

Ia mengungkapkan penyebab kasus kekerasan seksual tidak dapat tertangani dengan baik karena kasus seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual rata-rata diupayakan berakhir damai. Hal tersebut dikarenakan tidak cukup bukti.

Baca Juga: Disebut Bukan Korban Pemerkosaan, Wanita Boyolali Ungkap Kronologi Ini

Selain itu, ia juga menyoroti aparat penegak hukum yang tidak dapat melanjutkan kasus karena keterbatasan payung hukum. Nuri juga menyoroti tekanan kepada korban kekerasan seksual yang justru datang dari masyarakat.

“Kasus kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es karena mungkin di luar sana banyak korban yang tidak berani mengungkap kasusnya. Bisa jadi takut ancaman atau aib yang akan dicap masyarakat kepada dia,” jelasnya.

Nuri melanjutkan ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual yang tercantum dalam UU TPKS yang baru disahkan DPR RI. Masing-masing, seperti pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis online.

Baca Juga: Polda Jateng Segera Periksa Terlapor Pemerkosa Wanita Boyolali

“Dengan poin-poin itu, perempuan lebih terlindungi dengan payung hukum yang kuat. Hal-hal tersebut sebelumnya belum ter-cover dalam UU manapun. Sehingga dengan pengesahan UU TPKS, kasus-kasus tersebut bisa ditindaklanjuti oleh pendamping hukum,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya