SOLOPOS.COM - Ilustrasi mahalnya biaya politik. (JIBI/Solopos/Antara/Wahyu Putro)

Solopos.com, SOLO Politik uang atau money politic menjadi catatan hitam pada pelaksanaan Pemilu 2024. Politik uang yang terjadi pada pesta demokrasi lalu juga menghantui pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024 di seluruh Indonesia.

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Akhmad Ramdhon menyebut politik uang sudah menjadi catatan hitam bagi pelaksanaan pesta demokrasi Indonesia sejak 20 tahun terakhir.Terutama ketika Indonesia memasuki era baru reformasi pada 1998. Sebab secara bertahap, sistem politik berubah menjadi proporsional terbuka.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Money politic sudah terjadi hampir terjadi di semua pemilu pada 2004, 2009, 2014, dan 2019. Pondasi yang paling krusial yang kemudian menjadi persoalan adalah transisi dari proporsional tertutup menjadi terbuka. Itu kemudian merubah mekanisme negosiasi politisi dengan konstituen [pemilih],” kata dia dalam acara High Tea & Talk Show bertajuk Refleksi Demokrasi: Review Catatan Pemilu dan Pilkada 2024 di The Sunan Hotel Solo, Jumat (24/5/2024).

Dalam acara yang sama, pakar hukum tata negara, Denny Indrayana juga memberikan catatan kritis terkait pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) termasuk pemilihan calon anggota legislatif (Pileg) 2024. Menurutnya yang menjadi noda hitam adalah politik uang, atau dalam istilahnya, duitocracy.

Presidium Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Kongres Advokat Indonesia (KAI) itu mengatakan praktik politik uang pada Pemilu 2024 sudah masif terjadi. Hal itu membuat biaya kampanye yang sangat mahal. Menurutnya biaya untuk mendapatkan posisi kepala daerah bisa saja mencapai miliaran rupiah.

Sebagian uangnya dialirkan kepada masyarakat dalam bentuk serangan fajar atau politik uang. Acap kali, menurut Denny, masyarakat menganggap praktik politik uang itu menjadi hal yang wajar.

“Masyarakat punya motif memilih calon tertentu bukan karena visi atau program yang dibawa, tapi karena besaran uang yang diberikan,” kata dia dalam acara yang sama.

Denny mengatakan korban dari politik uang kebanyakan adalah masyarakat miskin. Ketimpangan dan jurang kemiskinan menjadi faktor utama. Menurutnya dengan kondisi ekonomi yang terbatas, masyarakat kemudian mau menerima serangan fajar.

Salah satu faktor lain terjadinya praktik politik uang adalah lemahnya institusi partai itu sendiri. Menurutnya saat ini 95% partai politik (Parpol) dimiliki oleh swasta, atau dalam hal ini adalah para pengusaha. Hampir mayoritas dana yang dimiliki Parpol berasal dari sektor privat atau swasta, bukan dari negara.

“Harusnya dibalik negara lalu baru bisnis, di kita ‘kan tidak. Artinya kepentingan negara diserahkan kepada bisnis yang punya kepentingan privat [kepentingan pribadi]. Akhirnya mereka [pengusaha] memanfaatkan negara untuk [kepentingan bisnis] perusahaan. Presiden hanya sebagian dari direksi,” kata dia.

Denny menjelaskan secara teoritis skema politik uang atau duitocracy seperti itu tidak bisa lepas dari oligarki. Konsep oligarki ini menggambarkan bagaimana hubungan modal dan politik.

Pengamat politik dari Universitas Northwestern Amerika Serikat yang juga menulis tentang politik Indonesia, Jeffrey Winters dalam bukunya berjudul Oligarki (2011), membedakan antara oligark dan oligarki.

Oligark, menurut Jeffrey, merujuk pada pelaku yang menguasai serta mengendalikan sumber daya material, bisa berupa modal, yang sangat besar. Sumber daya itu kemudian digunakan demi mendapatkan atau mempertahankan posisi politik tertentu  serta mendapatkan kekayaan pribadinya. 

Sedangkan oligarki adalah struktur kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok orang demi kepentingan pribadi. 

Berimbas pada Pilkada 2024

Denny melanjutkan politik uang yang terjadi pada Pemilu 2024 juga akan berimbas pada pelaksanaan Pilkada 2024. Dia menunjukan sifat pesimistis terhadap pelaksanaan Pilkada yang akan dilakukan serentak di seluruh Indonesia itu.

“Jadi tidak banyak harapan bahwa pemilu kita kan menghadirkan fungsinya, artinya melahirkan demokrasi. Yang terjadi adalah menguatnya antara pemodal dan pengusaha. Jadi penyelenggaraan Pilkada bukan lagi pesta rakyat, tapi pesta oligarki yang membangun bisnisnya lewat lembaga negara dan kepala daerah sampai pusat,” kata dia ketika ditemui wartawan selepas acara.

Menurutnya perlu ada perubahan yang mendasar terkait sistem politik. Perubahan itu bisa dimulai dari diri sendiri sebagai pemilih. Namun di samping perubahan sistem, yang lebih efektif adalah perubahan dari diri sendiri sebagai voters atau pemilih.

Perubahan radikal [mendasar] itu harus datang dari pemilih. Jangan sampai pemilih itu mau dibeli. Kalau mau dibeli suaranya ya kita akan dapat orang yang [berpotensi curang]. Karena mereka akan berusaha mengembalikan uang dengan cara korupsi,” kata dia.

Dalam kesempatan yang sama Ketua Komisi Kejaksaan RI yang juga akademisi Fakultas Hukum UNS Solo, Pujiyono Suwadi mengatakan salah satu tantangan untuk menghalau politik uang adalah persepsi pemilih itu sendiri.

Dia mengatakan masyarakat sebagai pemilih sudah terlanjur menganggap biasa praktik politik uang. Masyarakat acap kali, meskipun paham bahwa hal itu ilegal, namun lebih memilih untuk tidak dipersoalkan.

“Nah dari sisi ini apa yang harus dilakukan, ya penegakan hukum. Nah dalam penegakan hukum harus seperti apa yang akan dilakukan. Bayangan saya sebetulnya sederhana, sekarang kalau politik uang dianggap sebagai sebuah budaya, harus ada terobosan memperkuat institusi Bawaslu,” kata dia ketika ditemui wartawan selepas acara.

Dia mengatakan harus memperketat pengawasan dengan cara memperkuat institusi seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurutnya sejauh ini Bawaslu masih terlalu lemah sehingga praktik-praktik kecurangan, termasuk politik uang, sangat mungkin terjadi.

“Kalau kita serius ingin melakukan perubahan, ya itu dilakukan,” kata dia.



Acara High Tea & Talk Show bertajuk Refleksi Demokrasi: Review Catatan Pemilu dan Pilkada 2024 bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024.

Diskusi itu juga menjadi rangkaian awal dari Kongres IV KAI 2024 yang akan dipusatkan di Kota Solo pada tanggal 7-8 Juni 2024 dan akan dihadiri seribuan advokat dari seluruh Indonesia.

Ketua Panitia Penyelenggara Kongres IV KAI 2024, Heru S. Notonegoro berharap adanya diskusi yang konstruktif, diharapkan dapat diperoleh rekomendasi perbaikan untuk penyelenggaraan pemilu yang lebih baik di masa depan.

“Kongres Advokat Indonesia selalu berkomitmen untuk mendukung proses demokrasi yang transparan dan adil di Indonesia. Melalui acara ini, kami berharap dapat memberikan kontribusi nyata dalam memperkuat demokrasi dan penegakan hukum serta meningkatkan kualitas pemilu di Indonesia,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Jumat.

Acara ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam proses demokrasi serta memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai berbagai aspek hukum, sosial, dan politik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya