SOLOPOS.COM - KERAMBA--Sejumlah karamba mewarnai pemandangan di Waduk Cengklik, Ngemplak, Boyolali. Foto diambil, Jumat (20/4/2012). (Oriza Vilosa/JIBI/SOLOPOS)

KERAMBA--Sejumlah karamba mewarnai pemandangan di Waduk Cengklik, Ngemplak, Boyolali. Foto diambil, Jumat (20/4/2012). (Oriza Vilosa/JIBI/SOLOPOS)

BOYOLALI–Penggunaan lahan oleh petani karamba di perairan Waduk Cengklik, Ngemplak, Boyolali, kian meluas. Akibatnya, batas penggunaan karamba di prasarana perairan itu dikatakan telah melebihi batas.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Salah satu anggota paguyuban petani karamba setempat (Mina Sejahtera), Rohmad, mengatakan kasus itu bukan disebabkan bertambahnya petani. Melainkan, petani cenderung menambah lokasi karamba di waduk yang terletak di tiga desa itu yakni Sobokerto dan Ngargorejo di Kecamatan Ngemplak dan Desa Senting, Kecamatan Sambi.

“Ada 70-an petani, tapi rata-rata menambah petak karamba (6 meter x 6 meter per karamba,” katanya saat ditemui Solopos.com, Jumat (20/4/2012) siang.

Padahal, lanjut dia, petani yang tergabung dalam paguyuban itu telah menerima sosialisasi pembatasan penggunaan lahan waduk cengklik untuk karamba.  “Tak boleh lebih satu persen dari luas waduk. Perhitungan saya batas itu sekitar 700 petak karamba. Jadi per petani maksimal memiliki empat hingga enam petak,” tandasnya.

Meski demikian, ia sendiri mengaku masih memiliki 10 petak. Dia masih bertahan sembari menunggu kekompakan petani lain untuk bersedia menuruti batasan tersebut. “Ada yang masih punya 12 petak. Jadi saya nunggu teman-teman dulu,” ujarnya.

Menurut Rohmad, petani sering menggunakan alasan rehab untuk menambah unit petak karambanya. Sementara alasan pembatasan penggunaan lahan untuk karamba itu adalah untuk menjaga kadar oksigen air waduk. Sebenarnya, terus Rohmad, petani juga merasakan imbas dari belum tertibnya penerapan batasan itu. Telah menjadi siklus tahunan, ikan petani setempat mati mendadak.

“Kotoran ikan dan pakan mengendap di dasar waduk dan jika hujan, ikan bisa mendadak mati,” terangnya. Dia mencatat kasus semacam itu mematikan 15 ton ikan pada 2008, delapan ton ikan pada 2009, sembilan ton ikan pada 2011 dan tiga ton ikan, baru-baru ini.

Sementara salah satu tokoh warga sekitar waduk, Narno, 55, warga Kalijeruk RT 005/RW 002, Ngargorejo, mengaku telah mengikuti sosialisasi batasan itu dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA).

“PSDA lebih tahu teknis pendangkalan dan pencemaran. Kami warga memaklumi alasan pembatasan karena air juga digunakan banyak orang, tak hanya petani karamba. Sudah ada paguyuban petani karamba jadi mestinya mereka lebih mudah ditata,” katanya saat ditemui, Jumat sore.

Di sisi lain berdasarkan penulusuran Solopos.com, waduk itu dibangun pada zaman Belanda dan mampu mengairi sawah seluas 1.578 ha.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya