SOLOPOS.COM - Warga Desa Paranggupito, Wonogiri, membawa kepala sapi dan ubo rampe lainnya ke Pantai Sembukan pada tradisi Labuhan Ageng, Selasa (18/7/2023). (Istimewa)

Solopos.com, WONOGIRI — Kegigihan dan konsistensi warga Desa/Kecamatan Paranggupito, Wonogiri, dalam melestarikan tradisi Labuhan Ageng di Pantai Sembukan mendapatkan pengakuan dan apresiasi dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Tradisi Labuhan Ageng di Pantai Sembukan sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dengan SK nomor 1044/P/2020 dan Nomor Registrasi 202001129. Seperti diketahui, Labuhan Ageng Pantai Sembukan digelar dengan melarung kepala sapi ke laut selatan pada sore hari menjelang pergantian tahun baru Islam 1 Muharam atau 1 Sura pada penanggalan Jawa.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Seperti yang digelar pada Selasa (18/7/2023), warga Paranggupito melarung kepala dan ekor sapi setelah mengaraknya diiringi zikir dari desa menuju pantai berpasir putih. Berdasarkan informasi di laman kemdikbud.go.id, tujuan Labuhan Ageng yaitu untuk menghaturkan sesaji kepada penguasa gaib laut selatan supaya Tuhan memberikan keselamatan serta kesejahteraan kepada warga Wonogiri.

Selamat yang dimaksud ialah selamat dari gangguan roh-roh halus, terhindar dari marabahaya serta penyakit menular. Selain itu, Labuhan Ageng juga digunakan untuk mengajukan permintaan, seperti meminta hujan karena kerap terjadi musim kemarau yang berkepanjangan di wilayah Wonogiri bagian selatan.

Pada laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id dijelaskan ritual Labuhan Ageng di Pantai Sembukan Wonogiri erat kaitannya dengan sejarah perjuangan Raden Mas (RM) Said atau Pangeran Sambernyawa saat melakukan perang gerilya di wilayah Paranggupito, Wonogiri.

larung kepala sapi laut selatan wonogiri labuhan ageng pantai sembukan
Warga Desa Paranggupito, Wonogiri, melarung kepala sapi pada tradisi Labuhan Ageng di Pantai Sembukan, Selasa (18/7/2023). (Istimewa)

Perang gerilya di wilayah itu terjadi sekitar dua bulan yaitu dari bulan Besar hingga Sura 1748. Saat itu ada perjanjian antara pemerintah kerajaan yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan pemerintah Hindia Belanda yang lebih menguntungkan Belanda.

RM Said merasa di pihak yang dirugikan dan berusaha menentang keadaan tersebut dengan cara melakukan perang gerilya di wilayah sekitar Surakarta termasuk wilayah Wonogiri. Perang gerilya RM Said sampai di daerah Sawit, desa di pinggir laut selatan.

RM Said bermukim di daerah pinggir pantai tersebut dan beristirahat beberapa hari. Pada suatu malam, RM Said pergi ke pinggir pantai dengan tujuan meminta petunjuk kepada Sang Penunggu Gaib Ratu Pantai Selatan yang tekenal dengan julukan Kanjeng Gusti Ratu Kencana Sari atau lebih populer dengan Kanjeng Ratu Kidul.

Perjuangan RM Said Melawan Belanda

Dalam cerita awal mula tradisi Labuhan Ageng Pantai Sembukan, Wonogiri, di laman Kemendikbud tersebut, RM Said saat itu bersemedi di pesanggrahan atas bukit yang kini diberi nama Gunung Bendera. Akhirnya setelah tiga hari tiga malam bersemedi, pada pukul 01.30 hari Jumat Pon Bulan Sura 1748, keinginan RM Said terkabulkan.

Kemudian RM Said kembali lagi ke Surakarta hingga akhirnya mendirikan Kadipaten Mangkunegaran melalui Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. RM Said menjadi adipati pertama Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagoro I.

labuhan ageng pantai sembukan wonogiri
Warga membawa kepala sapi yang akan dilarung di laut selatan pada acara tradisi Labuhan Ageng Pantai Sembukan, Paranggupito, Wonogiri, Selasa (18/7/2023). (Istimewa)

Sebagai rasa syukur atas keberhasilannya melawan penjajah Belanda, RM Said memberikan persembahan kepada Ratu Pantai Selatan dengan melarungkan sesaji ke laut selatan. Upacara ritual itu masih terus dilestarikan oleh warga setempat sampai sekarang.

Tradisi Labuhan Ageng di Pantai Sembukan sekaligus sebagai kesempatan untuk masyarakat selatan Wonogiri yang masih menganut Islam kejawen dalam melaksanakan aktivitas religi yang mereka percayai. Peserta tradisi Labuhan Ageng kebanyakan adalah peganut Islam kejawen yang sudah lanjut usia dan mereka masih menjaga situasi sakral dari tradisi ini.

Di sisi lain, Tradisi Labuhan Ageng juga menjadi potensi wisata kawasan selatan Wonogiri. Wisatawan dapat mengenal Tradisi Larung Ageng serta dapat mengenal pula mengenai Pantai Sembukan dan pantai-pantai lain di selatan Wonogiri yang tak kalah indah dengan pantai-pantai di Gunungkidul, DIY.

Mengutip wonogiri.kab.go.id, Labuhan Ageng menjadi aktualisasi adat serta kebudayaan daerah. Tradisi Larung Ageng memiliki dua bentuk, yaitu larung ke laut serta larung ke gunung.

Tradisi ini dilakukan pada waktu menjelang terbenamnya matahari. Beberapa piranti yang dilarung di antaranya adalah kepala sapi, berbagai hasil bumi (kacang-kacangan, ketela, kelapa, dan lainnya).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya