SOLOPOS.COM - Penampakan batu giling atau suikermolen (kiri) menjadi hiasan poskamling di Dukuh Gebang Kota, Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Selasa (6/10/2020). (Solopos.com/Moh. Khodiq Duhri)

Solopos.com, SRAGEN — Sebuah batu yang berbentuk bulat torak seperti tong menjadi hiasan di sebelah pos kamling di Dukuh Gebang Kota, Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Selasa (6/10/2020). Tinggi batu itu setinggi sekitar 50 cm dengan diameter lingkaran atas dan bawah sekitar 40 cm.

Bagian tengah batu itu berlubang dengan diameter sekitar 15 cm. Sementara bagian luar batu itu bergerigi. Oleh warga sekitar, batu itu dicat dengan warna hijau yang dipadu dengan warna emas dan hitam. Pilihan warna itu menyesuaikan dengan warna pos kamling di sampingnya.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Warga sekitar biasa menyebut batu itu dengan sebutan watu giling. Ini karena batu itu merupakan salah satu alat yang dipakai untuk menggiling tebu secara manual dengan menggunakan bantuan ternak sapi atau kerbau pada zaman dahulu.

Fakta Baru Bentrokan di Pedan Klaten: Berawal dari Tagih Utang Rp100.000

"Watu giling itu kali pertama ditemukan di ladang milik saya lebih dari 30 tahun lalu. Pada awalnya, ada dua watu giling. Namun, satu di antaranya sudah pecah. Sebagian dari pecahan batu giling itu saya kubur di ladang," papar Giman, 60, warga setempat saat berbincang dengan Solopos.com di lokasi.

Sejarah

Dalam bahasa Belanda, batu giling itu disebut dengan istilah suikermolen. Keberadaan batu giling yang hanya menjadi hiasan pos kamling di Sragen itu ternyata cukup langka di Tanah Air.

Di Indonesia, suikermolen masih bisa ditemukan di sejumlah lokasi selain di Sragen, yakni di Delanggu Klaten, Tangerang, Tulungagung, serta di kawasan Sumatra.

Dalam literasi sejarah yang dikaji oleh Sukardi, warga Dukuh Gebang Tengah, suikermolen yang ada di Tanah Air didatangkan dari China. Suikermolen pernah dimiliki seorang saudagar tebu bernama Souw Siouw Keng di Parungkuda, Tangerang, pada 1905.

Suikermolen juga pernah dipakai di sebuah pabrik gula di Tulungagung pada 1936.

"Dulu di Dukuh Gebangloji [Desa Gebang] sempat berdiri sebuah pabrik penggilingan tebu secara manual dengan tenaga ternak. Setelah ada modernisasi alat, batu giling mulai tidak terpakai sehingga dibuang oleh pemiliknya. Pabrik lalu diubah fungsinya menjadi penggilingan padi dan pewarnaan kain [dari] serat nila. Bangunan pabrik milik warga Belanda itu masih sempat terlihat saat Agresi Militer Belanda I [pada 1947]," papar Sukardi kepada Solopos.com.

Setelah terjadi Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948, pabrik di Desa Gebang itu mulai ditinggal pemiliknya. Sejak saat itu, warga setempat mulai berani mengapling lahan bekas pabrik tersebut.

Karena lahan sudah dikapling warga, bangunan pabrik itu kini sudah tidak terlihat. Namun, fondasi pabrik hingga saat ini masih terlihat.

"Fondasi itu masih bisa terlihat di Dukuh Gebangloji. Tingginya sekitar tiga meter. Kalau mau dibuat ruangan di bawah fondasi itu saya kira masih bisa," terang Sukardi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya