SOLOPOS.COM - Sendang Sinangka di Pokak, Ceper, Klaten. (Instagram @klatendirektori)

Solopos.com, KLATEN — Kabupaten Klaten memiliki banyak sumber mata air yang dimanfaatkan penduduk untuk mencukupi kebutuhan air mereka, salah satunya Sendang Sinangka di Desa Pokak, Kecamatan Ceper.

Seperti sejumlah sendang atau mata air lain di Klaten, Sendang Sinangka juga sekaligus dikembangkan menjadi objek wisata. Selain memanfaatkan potensi alam berupa pemandangan dan kesejukan udara dengan banyaknya pohon besar di sekitarnya, kompleks Sendang Sinangka dilengkapi sejumlah fasilitas pendukung wisata.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Di antaranya seperti tampak dalam video yang diunggah di laman ceper.klaten.go.id, ada bangunan putih mirip miniatur Istana Negara lengkap dengan tiang bendera Merah Putih di depannya. Kemudian ada pula gazebo, ornamen taman berbentuk tanda cinta, taman kitiran, dan lain-lain.

Setiap tahun, seusai panen pada musim kemarau, pada Jumat Wage, warga setempat menggelar tradisi Bersih Desa atau upacara bersih sendang di Sendang Sinangka, Ceper, Klaten, yang juga menjadi salah satu atraksi wisata.

Dalam tradisi ini, masyarakat akan menyembelih kambing dan ayam sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Terkait tradisi ini, ada cerita sejarah yang diliputi mitos dan kisah mistis.

Dilansir kemdikbud.go.id, konon pada zaman dahulu ada kadipaten yang merupakan daerah perdikan di lokasi yang sekarang menjadi Sendang Sinangka. Lokasi kadipaten tersebut, di sebelah barat berbatasan dengan Kadipaten Gunung Merapi, sebelah timur dengan Kadipaten Gunung Lawu.

Kadipaten ini dipimpin Adipati Singodrono dengan patihnya bernama Ki Iropoko. Mereka berdua memimpin kedipaten tersebut dengan sangat bijaksana, dan keduanya juga tekun menggeluti ilmu kebatinan dan ilmu kasampurnan.

Kadipaten tersebut berada di bawah perlindungan Ratu Laut Selatan (Kanjeng Ratu Kidul). Sedangkan pimpinan prajuritnya di bawah perlindungan Nyi Rara Kidul.

Persembahan Manusia dan Hewan

Setiap tahun kadipaten tersebut mempunyai kewajiban untuk menyerahkan persembahan ke Kadipaten Gunung Merapi dan Kadipaten Gunung Lawu. Untuk persembahan ke Kadipaten Gunung Merapi berupa manusia sejumlah 25 orang.

Sedangkan untuk persembahan ke Kadipaten Gunung Lawu berupa hewan sapi sebanyak dua ekor (sepasang). Ki Singodrono dan Ki Iropoko tidak setuju dengan kewajiban menyerahkan persembahan berupa manusia, karena harus mengorbankan rakyatnya.

Mereka hanya menyetujui untuk menyerahkan persembahan berupa hewan. Untuk mengatasi hal itu, keduanya lalu melakukan semedi, memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa, untuk membebaskan rakyatnya dari beban tersebut.

Akhirnya mereka berdua moksa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moksa artinya tingkatan hidup lepas dari keduniawian dan bebas dari penjelmaan kembali.

Ki Singodrono moksa di Sendang Lanang, sedangkan Ki Iropoko moksa di Sendang Wadon. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Ki Singodrono dan Ki Iropoko menjadi danyang (makhluk halus yang menjaga) sendang tersebut.

Ki Singodrono menjadi danyang dan mbaureksa di Sendang Lanang, sedangkan Ki Iropoko menjadi danyang yang mbaureksa di Sendang Wadon. Daerah di sekitar Sendang Sinangka merupakan tanah pertanian yang subur karena mendapat pengairan yang cukup dari sendang tersebut.

Para petani di daerah tersebut sangat giat bekerja, hingga hampir tidak pernah beristirahat. Pada suatu hari, ada seorang petani yang merasa lelah, lalu beristirahat di bawah pohon di tepi sendang.

Suara Tanpa Wujud

Karena lelah dan dengan embusan angin semilir, petani tersebut setengah tertidur. Pada saat itu, dalam keadaan setengah tidur, sayup-sayup dia mendengar suara orang berkata, bahkan dia juga merasa seperti melihat bayang-bayang orang yang berkata tersebut.

Suara tersebut meminta si petani agar tidak bekerja terlalu keras, bekerja cukup dari pagi hingga siang hari, lalu beristirahat. Kemudian pada sore harinya bekerja lagi sampai menjelang waktu magrib.

Suara itu juga mengatakan agar hasil sawahnya banyak dan melimpah, cukup untuk hidup sekeluarga dengan sejahtera, setelah panen petani diminta membuat sesaji di sendang. Sesaji itu berupa nasi tumpeng dengan memotong kambing di sekitar sendang lalu dimasak dengan bumbu becek dan minumannya dawet.

Sesaji itu untuk dipersembahkan kepada Nyi Roro Kidul, seperti halnya yang dilakukan Kadipaten Gunung Lawu. Selanjutnya, suara tanpa wujud itu mengatakan kepada petani bahwa sesaji tersebut harus dibuat setiap satu tahun sekali sehabis panen gadhu atau panen pada musim kemarau pada hari Jumat Wage.

Hari Jumat Wage dipilih karena merupakan hari kelahiran suara tanpa rupa tersebut. Ternyata, setelah masyarakat melaksanakan upacara persembahan sesaji tersebut, hasil panen para petani menjadi semakin melimpah.

Mulai saat itu upacara persembahan sesaji selalu dilaksanakan para petani di sekitar Sendang Sinangka setiap tahun dengan nama Upacara Bersih Sendang. Tradisi itu terus berjalan secara turun temurun hingga saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya