Redaksi Solopos.com / R. Bambang Aris Sasangka | SOLOPOS.com
Salah seorang peserta dari Srilanka, Ebenezer Dharshan mengungkapkan bahwa dia merasa gembira dengan kondisi di Solo yang sangat tenteram dan damai. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi yang dialami di negerinya yang selama puluhan tahun terjerumus dalam konflik berdarah antara pemerintah dengan kelompok separatis LTTE. “Bahkan ketika perang akhirnya berakhir dengan menyerahnya LTTE, itu sebenarnya hanya sekadar menghilangnya suara peperangan saja. Tapi dalam kenyataannya konflik dan segala bentuk penekanan oleh pemerintah belum berakhir,” paparnya.
Dirinya mengungkapkan, pascaberakhirnya perang, pemerintah justru semakin menguatkan represi terhadap kelompok oposisi dan semua pihak yang dinilai bertentangan dengan pemerintah. “Tekanan ini sangat berat. Bahkan orang seperti saya yang menjadi aktivis untuk kerja sama dan perdamaian tidak bisa secara terang-terang mengaku apa aktivitas saya,’ ujarnya.
Sementara seorang peserta lain asal Kamboja, Hor Hen, menyebut bahwa di negerinya memang tidak terjadi konflik antaragama. Namun menurut dia yang terjadi sejak dulu adalah konflik politik dan setelah itu konflik ekonomi. Pergantian kepemimpinan yang berkali-kali terjadi seperti saat rezim Lon Nol, rezim komunis Pol Pot dan kemudian pemerintahan sekarang menurut dia lebih banyak memberikan penderitaan kepada rakyat.
“Kalau sekarang ini yang terjadi adalah konflik ekopnomi. Dulu rezim berkuasa menindas rakyat, kini rakyat masih ditindas tapi oleh kekuatan ekonomi seperti perusahaan-perusahaan yang mencaplok tanah rakyat untuk pertambangan atau usaha lainnya,” katanya.