Soloraya
Senin, 6 Februari 2023 - 09:59 WIB

Wow! Mantan Ketua KONI Sragen Ini Lahirkan Buku Puisi di Usia 70 Tahun

Tri Rahayu  /  Ponco Suseno  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mantan Ketua KONI Sragen, Sri Busono, menyampaikan pernik-pernik terkait buku puisi berjudul Kata Tak Pernah Senja di Serambi Sukowati Sragen, Minggu (6/2/2023) malam. (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Di usia yang sudah 70 tahun, mantan Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sragen, Sri Busono masih produktif dan menghasilkan buku karya puisi kali pertama bertujudul Kata Tak Pernah Senja.

Busono bersama wartawan senior, Amir Machmud NS, menulis puisi bersama dan dicetak sebanyak 200 eksemplar. Buku tersebut langsung habis dalam sebulan karena sebagian hasil penjualan buku itu disumbangkan untuk Panti Asuhan Muhammadiyah Sragen.

Advertisement

Dalam buku tersebut, Busono menuliskan 30 buah puisi sedangkan Amir menuliskan 14 puisi. Puisi-puisi mereka diapresiasi dan dibacakan oleh para seniman dan budayawan Sragen di Serambi Sukowati Sragen, Minggu (5/2/2023) malam.

Puisi-puisi Busono juga pernah dimuat di sebuah koran tempat Amir Machmud bekerja. Dorongan Busono menulis puisi dan dibukukan itu salah satunya berasal dari Amir Machmud.

Advertisement

Puisi-puisi Busono juga pernah dimuat di sebuah koran tempat Amir Machmud bekerja. Dorongan Busono menulis puisi dan dibukukan itu salah satunya berasal dari Amir Machmud.

“Saya itu tidak bisa baca puisi. Kalau saya baca puisi itu malu sama diriku sendiri,” ujar Busono ketika diminta membacakan karyanya sendiri.

Busono bercerita bagaimana buku 200 eksemplar itu bisa laku di tengah kecanggihan teknologi ponsel. Akhirnya buku itu dijual dengan harga mahal dan sebagian uang penjualannya disumbangkan ke Panti Asuhan Muhammadiyah Sragen. Hingga Minggu malam kemarin sudah terjual kurang lebih senilai Rp6 juta.

Advertisement

Sejak usia sekolah dasar, Busono gemar menonton wayang kulit karena suka. Kecintaannya dengan wayang kulit memotivasinya mendalami filosofi wayang dan menafsirkan lakon wayang sesuai dengan keinginannya sendiri.

“Sebenarnya yang lebih mencintai Shinta itu Rama atau Rahwana? Itu sebuah perenungan. Saya merasakan pahitnya Shinta saat merenung. Saya tafsirkan sendiri dunia wayang itu menurut rasa saya,” kata Busono.

Ketika marah pun, Busono bisa menuangkan dalam sebuah puisi. Protes terhadap situasi lingkungannya pun bagi Busono disajikan dalam bentuk puisi.

Advertisement

Ketidaknyamanan sosok perempuan dalam dunia wayang dikiritiknya. Ketika mengkritik teman dengan keras dikira memusuhi itu, kata dia, diklarifikasi lewat puisi.

“Puisi-puisi saya itu dibuat secara spontanitas. Apa yang saya hadapi saat itu maka saat itu juga saya tergerak menulis,” katanya.

Di usianya yang sudah uzur, Busono tidak pernah merasa tua. Ia menjelaskan tua itu ketika tidak ada lagi yang miscall, tidak ada yang kirim short message service (SMS) atau pesan WhatsApp (WA).

Advertisement

Dalam situasi itu seorang orang yang sudah tidak berguna. Di saat itulah, Busono memaknai tua yang sesungguhnya.

Ketika mencabuti rumput, saat minum teh pagi-pagi, semua bisa jadi inspirasi Busono untuk menulis. Saat Subuh pun, meskipun seorang Katholik, Busono bisa menikmati waktu Subuh untuk bermunajat kepada Tuhan.

“Subuh itu waktu yang indah untuk mengagungkan nama Tuhan. Aku menyembah Tuhan dengan cara ini dan tetanggaku menyembah Tuhan dengan cara itu. Jawabannya pada iman orang masing-masing,” katanya.

Amir Machmud mengatakan Busono menemuinya di Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng dalam keadaan kaget melihatnya sedang menghisap cerutu. Selama ini Busono tak pernah melihat Amir merokok.

Amir berpendapat orang menghisap cerutu itu sama dengan orang sedang menulis puisi, mencoretkan ekspresi dalam bentuk aksara, diksi, dan narasi. Ketika menulis puisi, kata dia, orang tidak akan lepas dengan belenggu diksi dan narasi.

“Saya mengenal Pak Busono baru setahun lalu. Saya memang mengompori beliau menulis puisi karena beliau mengikuti dunia tulis menulis sudah lama. Ada pemikiran-pemikiran kualitatif selalu mencuat dalam kesempatan apa pun, termasuk kalimat saat rapat KONI. Saya suka puisi Busono terkait dengan arogansi Kurawa, Rama, dan Rahwana,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif