SOLOPOS.COM - Peluncuran buku puisi Yang Terpungut dan yang Musnah oleh Adiyad Riyadh di Rumah Banjarsari Solo, Jumat (10/11/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO — Biar payah, susah, sungguh keras kita tak mendapat arti. Pada setiap musim pasti coba kita menerjemahkan kembali, pada apa yang pernah diwasiatkan oleh sunyi: Bahwa Keanggunan Manusia tiada Terberi. Bilamana datang narasi yang tercukupi, menggilas nafas-nafas keluguan, menindas sekalian harap membusuk berserakan, tak becus memberi ukuran atas pilihan hidup bermoral ketuhanan: betapa konstitusi serta birokrasi, tiada melebur diri pada moral keanggunan, tiada tertetapkan logika kejernihan… demikianlah kita berdosa dua kali pada Tuhan, hingga narasi kisah menyebar berita: Yang Terpungut dan yang Musnah.

Bukan hanya karya yang lahir dari para pujangga, melainkan pujangga lainnya. Hal inilah yang selalu terasa setiap kali pemaknaan karya-karya para sastrawan dilakukan, termasuk kala buku puisi terbaru dari Adiyad Riyadh lahir ke dunia.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Buku yang berjudul Yang Terpungut dan yang Musnah tersebut merupakan kumpulan puisi tentang perjuangan manusia melawan birokrasi dan struktur politik.

“Dalam pemilihan judul saya memang terinspirasi dari Yang Terampas dan yang Putus karya Chairil Anwar. Chairil banyak menginspirasi saya untuk penulisan sementara cara pandang saya banyak belajar dari Erich Fromm,” tutur Adiyad dalam diskusi Peluncuran Buku Puisi Yang Terpungut dan yang Musnah di Rumah Banjarsari Solo, Jumat (10/11/2023).

Adiyad mengagumi Chairil dari standing political yang jelas dan tidak memiliki kontradiksi apapun. Sementara itu, filsuf Jerman Erich Fromm mengajarinya jurnalisme sastrawi sehingga memberikannya kemampuan perangkaian kata-kata yang natural.

Karya-karya Adiyad yang hadir di buku puisi tersebut merupakan sekumpulan karyanya yang ditulis sejak 2005 hingga 2016. Puisinya lahir dari gambaran situasi sosial politik dan juga kegelisahannya terhadap situasi masyarakat di sekitarnya.

Lebih dari itu, kumpulan puisi Yang Terpungut dan yang Musnah juga menjadi semacam perjalanan Adiyad menuju pendewasaannya. Adiyad menulis puisi-puisinya di berbagai lokasi, mulai dari Semarang, Magelang, dan Jogja.

Puisi-puisinya lahir dari coret-coretan yang tertuang dari buah pikirannya melihat dunia sekitar. Keresahannya ditulis di sepertiga malam saat pikirannya membuatnya tidak bisa tidur.

Menurutnya, puisi adalah jembatan komunikasi menembus batas dan waktu yang membuat pembaca di masa depan terhubung dengan penulis di masa lalu. Selain itu, meskipun puisinya selesai ditulis di tahun 2005, Adiyad merasa dia masih memiliki ruang untuk mengubah diksi-diksi puisi tersebut di masa depan sebagai pemutakhiran karyanya.

Pengubahan diksi puisi dinilai Adiyad sebagai proses pengendapan rasa agar karyanya lebih indah lagi. Menurutnya, jika puisi lahir dalam bentuk sekumpulan karya dalam suatu buku, tentunya puisi perlu relevan dengan konteks yang sejalan di masyarakat.

Karya Adiyad diterima dengan baik oleh penonton Peluncuran Buku Yang Terpungut dan yang Musnah. Sebagian peserta merasa kehadirannya menjadi suara baru dalam sastra pasca Reformasi yang mengangkat latar belakang sosial dan keresahan masyarakat serta persoalan orang kecil.

Adiyad sendiri merasa, menyuarakan orang kecil di masa pasca Reformasi masih harus terus dilakukan agar mereka tetap memiliki ruang berjuang di dunia.

Relevansi dengan Erich Fromm sendiri terasa dari topik-topik yang diangkat Adiyad. Salah satu karya Erich Fromm, The Art of Loving yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1956, menjelaskan tentang dilema hubungan sosial dari sesama manusia pada masa pasca Perang Dunia II hingga masa revolusi industri ketiga.

Fromm menjelaskan penyebab dilema tersebut, yaitu kesalahan dalam memaknai cinta. Pada masa tersebut, masyarakat menganggap cinta sebagai awal dari kekecewaan dan kegagalan serta tidak menganggapnya sebagai suatu awal dari kebahagiaan dan kedamaian.

Fromm merupakan salah satu anggota dalam mahzab Frankfurt, sejajar dengan Max Horkheimer, Michel Foucault, Jurgen Habermas, dan Theodor Adorno.

Yang Terpungut dan yang Musnah diterbitkan oleh penerbit independen asal Solo, Perisai Pena. Kumpulan puisi tersebut kini bisa dibeli dengan bebas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya