Solopos.com, BOYOLALI — Dinas Kesehatan (Dinkes) Boyolali mencatat tambahan dua kasus kematian akibat demam berdarah dengue atau DBD pada Maret 2024. Dengan demikian total ada lima kasus kematian akibat DBD sejak awal Januari 2024 hingga Sabtu (23/3/2024).
Kepala Dinkes Boyolali, Puji Astuti, menyampaikan tambahan dua kasus kematian pada Maret itu sama-sama berasal dari Kecamatan Wonosegoro. “Wonosegoro menyumbang angka kematian tertinggi. Ada tiga dari lima kematian akibat DBD di sana,” kata Puji kepada Solopos.com, Minggu (24/3/2024).
Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal
Tiga kasus kematian di Kecamatan Wonosegoro tersebar di Desa Bolo, Desa Guwo, dan sebelumnya di Desa Bojong. Sedangkan dua kasus lainnya yakni di Desa Teras, Kecamatan Teras dan Desa Kalinanas, Kecamatan Wonosamodro.
Terkait kasus kematian akibat DBD tersebut, Dinkes Boyolali menyoroti kebiasaan masyarakat yang kerap melakukan shopping dokter. Puji menjelaskan shopping dokter yaitu kebiasaan atau perilaku orang yang sering ganti-ganti dokter.
Ketika periksa ke dokter pertama, pasien mengatakan baru demam, padahal demam sudah mulai terasa dua hari sebelumnya. Lalu ketika sakitnya tidak sembuh di dokter pertama, pasien pindah ke dokter kedua dan mengatakan panas juga baru hari itu.
“Berarti itu kan sudah panas hari kesekian. Kalau dia datang ke dokter yang lain, sudah panas hari ke berapa? Padahal pasien biasanya kalau ditanya dokter biasanya bilang panasnya baru hari itu juga. Padahal semisal dia bilang panas susah beberapa hari, sudah berobat ke dokter sana-sini, dokter biasanya akan memerintahkan untuk cek laboratorium,” kata dia.
Ia mengatakan ada pasien yang tidak berbicara terus terang dan mengakibatkan kasus kematian, tidak hanya pada kasus DBD. Ia menjelaskan kasus DBD fatal biasanya terjadi karena masyarakat tidak berterus terang dan datang ke rumah sakit dalam kondisi dengue shock syndrome (DSS).
Sebaran Kasus DBD
Selanjutnya, Puji menyampaikan terdapat pergeseran pasien DBD. Ia menyebut dulu DBD identik dengan pasien anak, sekarang DBD juga menyerang orang dewasa. “Yang dua baru [kasus kematian baru di Wonosegoro] itu juga dewasa,” kata dia.
Puji menambahkan sepanjang Januari-Maret, ada 243 kasus DBD di Boyolali dengan lima orang meninggal. Perinciannya, pada Januari ada 79 kasus dengan dua orang meninggal. Pada Februari ada 89 kasus dengan satu orang meninggal, dan Maret hingga pekan keempat ada 75 kasus dengan dua oran meninggal.
Berdasarkan wilayah kerja Puskesmas, berikut data sebaran kasus DBD di Boyolali:
- Puskesmas Cepogo: 22 kasus
- Puskesmas Andong: 21 kasus
- Puskesmas Boyolali II: 21 kasus
- Puskesmas Karanggede: 20 kasus
- Puskesmas Sambi: 15 kasus
- Puskesmas Kemusu: 14 kasus
- Puskesmas Teras: 13 kasus
- Puskesmas Simo: 12 kasus
- Puskesmas Musuk: 11 kasus
- Puskesmas Boyolali I: 11 kasus
- Puskesmas Wonosamodro: 11 kasus
- Puskesmas Juwangi: 11 kasus
- Puskesmas Klego II: 9 kasus
- Puskesmas Banyudono I: 8 kasus
- Puskesmas Wonosegoro: 7 kasus
- Puskesmas Ngemplak: 6 kasus
- Puskesmas Mojosongo: 5 kasus
- Puskesmas Klego I: 5 kasus
- Puskesmas Gladagsari: 4 kasus
- Puskesmas Tamansari: 4 kasus
- Puskesmas Ampel: 4 kasus
- Puskesmas Sawit: 4 kasus
- Puskesmas Nogosari: 3 kasus
- Puskesmas Selo: 1 kasus
- Puskesmas Banyudono II: 1 kasus
Puji berpesan kepada masyarakat ketika muncul kasus DBD di lingkungannya, yang harus dilakukan pertama bukanlah permintaan fogging akan tetapi menggerakkan Pemberantasan Sarang Nyamuk atau PSN. “Jadi warga ketika ada kasus harus bersih-bersih, PSN. Kalau saat ini, ketika ada kasus DBD pasti warga geger minta fogging,” kata dia.
Dinkes Boyolali juga tidak henti-hentinya mengingatkan warga untuk bersih-bersih dan berkeliling langsung lewat tenaga promotor kesehatan (promkes) Puskesmas. Para petugas promkes juga berkeliling mengumumkan bahaya DBD agar masyarakat semakin sadar dan melakukan PSN.
“Kami juga akan bertemu dengan Pokjanal [Kelompok Kerja Operasional] DBD. Kalau yang mengajak bersih-bersih hanya Puskesmas, biasanya masyarakat kurang memperhatikan. Namun, kalau yang mengajak dari camat, kepala desa, atau tokoh di situ, kan beda,” kata dia.