SOLOPOS.COM - Petugas Puskesmas Ngrampal, Sragen, melakukan fogging di lingkungan Dukuh Pilangsari RT 018, Desa Pilangsari, Ngrampal, Sragen, Kamis (1/2/2024), karena terdapat kasus demam berdarah dengue (DBD). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN – Sepanjang 2024 ini, kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Sragen mencapai 152 kasus. Jumlah kasus ini naik dua kali lipat dibanding dua tahun sebelumnya.

Berdasarkan data dari Sragen dalam Angka 2024 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Sragen, pada 2022 telah terjadi penurunan kasus dari 94 kasus menjadi 63 kasus, namun kembali naik menjadi 67 kasus sepanjang 2023 yang tersebar pada 20 kecamatan di Kabupaten Sragen.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Selama 2023, kasus DBD paling banyak terdapat di Masaran dengan 10 kasus; kemudian ada Sidoharjo dan Jenar 6 kasus; Kalijambe dan Sumberlawang 6 kasus. Lalu di Plupuh, Kedawung, dan Sragen 4 kasus; Sambirejo, Gondang, Sambungmacan, Ngrampal, Karangmalang, Tanon, Gemolong, Mondokan, Sukodono, Gesi, dab Tangen 2 kasus. Sedangkan yang paling sedikit yaitu di Miri dengan 1 kasus.

Hal yang mengejutkan terjadi di tahun ini karena selama Januari-Maret, Dinas Kesehatan (Dinkes) Sragen telah mencatat ada 152 kasus DBD (per Kamis, 28 Maret 2024). Artinya kasus ini telah naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya dengan 67 kasus yang terjadi. Jika dirata-rata maka setidaknya ada 5 orang/hari yang terkena penyakit ini.

Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Sragen, Sri Subekti, Kamis lalu kepada Solopos.com mencatat jumlah kasus yang mengarah ke DBD tetapi setelah diverifikasi lewat DBD elektronik ternyata tidak positif DBD melainkan masuk kategori demam dengue (DD).

“Kasus DBD tertinggi terjadi di Sumberlawang disusul Sragen Kota, Mondokan, Ngrampal, dan Sukodono. Di lima kecamatan itu kasus DBD di atas 10 kasus. Kasus DD tertinggi juga masih di Sumberlawang dengan 118 kasus, kemudian Mondokan 88 kasus, dan Sragen 85 kasus,” jelasnya.

Peningkatan kasus DBD itu juga dibarengi dengan peningkatan kasus kematian hingga Maret 2024 terdapat tiga kasus kematian yang semua masih anak-anak.

Beda DBD dan DD

Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia yankes.kemkes.go.id, DBD dan DD adalah dua kasus yang berbeda meskipun sama-sama disebabkan virus dengue.

Perbedaan utama antara keduanya adalah seseorang yang terserang DBD akan mengalami kebocoran plasma atau adanya penurunan trombosit hingga di bawah 100.000 sedangkan pada DD tidak.

DD paling sering terjadi pada anak dengan usia yang lebih tua, remaja, dan orang dewasa sedangkan DBD lebih sering terjadi pada anak di bawah 15 tahun. Bisa dikatakan bahwa DD adalah demam berdarah versi ringan.

Kepala Dinkes Sragen, Udayanti Proborini, saat berbincang dengan Solopos.comKamis sore menerangkan hasil penyelidikan epidemiologi ternyata ditemukan house index (HI) atau kepadatan jentik nyamuk sangat tinggi, yakni mencapai 15%. HI yang tinggi menunjukkan risiko DBD tinggi.

“Kami tidak berhenti terus mengedukasi masyarakat untuk terus menggiatkan PSN. Musim penghujan mengakibatkan banyak genangan air sehingga perlu adanya kesadaran bersama untuk menjaga lingkungan, dengan Gerakan 3M plus. Rata-rata DBD menyerang pada anak usia 5-14 tahun tetapi tidak menutup kemungkinan juga menyerang pada orang dewasa,” kata Udayanti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya