Soloraya
Selasa, 4 Juli 2023 - 15:38 WIB

Biar Tidak Ketinggalan Zaman, Ini Upaya Pura Mangkunegaran agar Tetap Relevan

Dhima Wahyu Sejati  /  Mariyana Ricky P.D  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Taman Pracima Pura Mangkunegaran Solo telah di-soft opening oleh Menteri BUMN, Erick Thohir; Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, dan KGPAA Mangkunagoro X, Sabtu (21/1/2023) siang. (Solopos.com/Kurniawan)

Solopos.com, SOLO — Mangkunegaran dihadapkan pada satu masa yang semakin berkembang. Kepatihan yang merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Islam itu terimpit modernisasi dan perkembangan pembangunan Kota Solo yang pesat. 

Agar Pura Mangkunegaran tidak menjadi seperti benda mati di museum, mereka harus membuat kepatihan yang mulai dibangun pada 1757  itu tetap relevan terutama dengan kaum digital native. Digital native adalah generasi yang sejak lahir sudah mengenal teknologi digital. 

Advertisement

Merespons perubahan zaman itu, K.G.P.A.A. Mangkunegara X mengatakan sebenarnya kepatihan yang dia pimpin itu memiliki modal yang besar, yakni sejarah 266 tahun dengan peninggalan sejarah, tradisi, budaya, dan kesenian yang kaya.

Menurutnya fokus utamanya bukan melakukan inovasi, namun lebih pada menghidupkan kembali tradisi dan budaya yang sudah diwariskan. Pria yang terlanjur akrab disapa Gusti Bhre itu terus mengupayakan Mangkunegaran tetap relevan terutama untuk generasi baru. 

Generasi hari ini lebih mengakrabi teknologi digital dan sosial media, bahkan diprediksi akan segera bergeser ke tren Artificial Intelligence (AI). Lewat perkembangan itu, kecenderungan masyarakat mengakses informasi ternyata turut bergeser.

Advertisement

Media sosial membuat generasi hari ini mengakses informasi dengan durasi yang lebih pendek. Terutama melalui video pendek di platform media sosial. Mangkunegara X ternyata menangkap perubahan itu. 

“Cara kami untuk memproses data dan informasi itu setiap hari ternyata semakin pendek. Dan itu menjadi tantangan buat kita, karena bagaimana mungkin kita bisa mengemas sejarah 256 tahun Mangkunegaran dalam waktu 10-15 detik,” kata dia ketika menjadi pemateri pada acara Patjar Merah di Dalem Joyokusuman, Sabtu (1/7/2023).

Namun langkah untuk memperkenalkan Mangkunegaran melalui platform digital tetap harus dilakukan. Menurutnya ini merupakan respons terhadap perkembangan zaman yang semakin modern.  Dia menginginkan kepatihan itu tetap relevan namun tidak meninggalkan identitasnya sebagai bagian dari peninggalan Mataram.

Advertisement

“Kata yang sering saya gunakan di Mangkunegaran itu bukan modernisasi, tapi lebih ke kontekstualisasi, itu yang coba kami lakukan. Jadi tidak mengubah, tapi melakukan penyesuaian,” kata dia.

Misalnya, dia mencontohkan bagian tengah Pendapa Mangkunegaran ada yang terbuat dari kayu, lalu di bagian samping terdapat material bangunan yang terbuat dari besi. Keduanya merupakan cerminan perkembangan zaman jika dilihat dari sisi konstruksi bangunan.

“Kenapa bisa seperti itu, ya tentu karena kayu itu dibuat oleh Mangkunegara IV [memimpin 1853-1881]. Tapi ada pengembangan lebih lanjut dari Mangkunagara VI [memimpin 1896-1916] dimana saat era itu materialnya sudah tersedia dari besi,” lanjut dia.

Dia mengibaratkan Mangkunegaran seperti pohon besar, sedangkan akarnya adalah tradisi dan sejarah panjang kepatihan. Menurutnya tumbuh dan berkembang sudah menjadi keharusan.

“Bagaimana akar ini bisa berkembang menjadi pohon yang lebih besar, tentu harus tumbuh. Tapi bagaimana terus bertumbuh tapi tetap sesuai akarnya, makanya ini bukan masalah modernisasi tapi kontekstualisasi,” lanjut dia.

Konsultan Komunikasi Kreatif, Motulz Anto yang juga menjadi pemateri pada kesempatan itu menyebut teknologi digital seharusnya tidak membuat tradisi itu bergeser. Dia menyebut melalui platform digital malah bisa membuat Mangkunegaran lebih menarik.

“Kita memanfaatkan digitalisasi untuk mengangkat kebudayaan menjadi lebih keren. Ini tentu bakal menjadi PR baru,” kata dia.

Menurutnya teknologi seperti AI juga bisa dimanfaatkan untuk membuat budaya, secara khusus Mangkunegaran semakin relevan dengan generasi hari ini. Sayangnya, saat ini pemanfaatan teknologi baru itu belum maksimal.

“Ketika kita mencari AI tentang budaya Indonesia kok engga ketemu. Kita main video game VR  arca candi [asli Indonesia] itu tidak ada, karena kita belum ke arah sana, tapi harusnya akan ke sana,” kata dia.

Menurutnya ada peluang besar memanfaatkan teknologi digital secara kreatif untuk mempromosikan dan menghidupkan tradisi peninggalan Mangkunegaran. “Menurut saya peluang itu ada,” tambah dia.

Head of Public Policy Meta Indonesia, Noudhy Valdryno menyebut pemanfaat platform digital tentu bakal memiliki dampak yang positif. Terutama upaya untuk mengembangkan dan mempertahankan tradisi lewat sosial media jauh lebih efektif.

“Kanapa ini efektif, ternyata ketika kita berbicara budaya dan tradisi, orang itu ingin mempelajari kalau dia melihat teasernya [cuplikan video pendek] di medsos yang bagus,” kata dia. 

Menurutnya digital justru bisa menjadi jembatan antara tradisi yang kini masih berjarak dengan generasi Z. Dia mengatakan langkah itu sudah dilakukan Mangkunegaran dengan memanfaat sosial media untuk menyebarkan konten yang menarik.

“Nah Meta perannya di situ [menyediakan platform]. Saya usahakan Meta akan terus berperan di situ, memberikan edukasi ke institusi-institusi sejarah dan institusi tradisi Indonesia, supaya bisa menggunakan platform yang kami miliki,” kata dia.

Sehingga, menurutnya langkah itu harus diambil agar tradisi yang dimiliki Mangkunegaran selama dua abad itu tidak hilang. “Tradisi seperti ini (dari Mangkunegaran) itu tidak ternilai, kalau hilang menjadi bendera merah buat kita,” lanjut dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif