SOLOPOS.COM - Ilustrasi transgender. (Image by rawpixel.com on Freepik)

Solopos.com, WONOGIRI — Nurma Lawra, 34, tak menyangka kilasan peristiwa di masa lalu tentang persekusi yang menyasar sejumlah rekannya sesama transpuan akhirnya benar dialami sendiri. Seniman asal Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah itu mengaku menjadi sasaran persekusi sejumlah orang beberapa waktu lalu.

Nurma mengisahkan pada 2016 lalu, saat gerakan anti-LBGT mengemuka di Solo. Ia menjadi saksi beberapa temannya dipukuli, digunduli, hingga diperlakukan tak adil hanya karena menjadi transpuan.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Kala itu, ia bekerja di salah satu kafe di Kota Bengawan. Saat gerakan anti-LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) itu masif, sekelompok orang merazia para transpuan yang bekerja malam hari.

“Entah pekerja seks, atau nyanyi di kafe, semuanya disasar (razia). Waktu itu saya ketakutan, menutup telinga sambil berhati-hati agar enggak menjadi korban. Sampai kemudian gerakan itu mengendur dan perlahan hilang, tapi malah pada Mei 2023, saya mengalami rasanya dipersekusi,” terang Nurma ditemui di rumahnya, Selasa (19/12/2023).

Nurma mengaku menjadi sasaran razia dan persekusi saat menginap di rumah saudaranya, yang hanya berbeda desa dengan tempat tinggalnya.

“Saya digerebek dibilang mengajarkan anak-anak menjadi LGBT. Ban mobil saya digembosi, saya dikata-katai. Bagaimana saya mengajarkan LGBT. Padahal saya tidak melakukan apapun. Saya bekerja sebagai penyanyi, sesekali endorse produk di media sosial, dan punya pekerjaan kirim-kirim barang pesanan orang,” tutur dia.

Tak terima dengan perlakuan sejumlah orang itu, Nurma pun lantas mengunggah kesaksiannya menjadi korban persekusi di laman Instagram miliknya yang sudah bercentang biru. Unggahan tersebut turut melampirkan tangkapan layar pemberitaan yang menyebut LGBT di Wonogiri berkembang pada anak dan remaja.

“Ya, saya unggah saja karena peristiwa itu terjadi tak lama setelah berita soal LGBT di Wonogiri viral di media sosial. Karena ada pula pernyataan sejumlah pihak yang membuat saya merasa semakin mendapatkan stigma dan diskriminasi,” ucap Nurma.

Dia menduga persekusi yang dialaminya adalah dampak dari isu perkembangan komunitas LGBT di Wonogiri yang merebak pada Mei hingga Agustus 2023 lalu. Dalam laman Instagramnya, ia juga sempat berujar pemberitaan itu bisa saja sengaja digoreng menjelang Pemilu 2024. Pendapat itu rupanya diamini oleh salah seorang pengikutnya di media sosial itu.

“Ya, bisa saja karena Pemilu, digoreng, yang entah apa tujuannya. Tapi yang jelas, saya enggak terima mendapatkan perlakuan demikian,” tukas Nurma.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Hery Hartoyo (@nurmalawra)

Pemberitaan yang viral itu juga membuat penjangkau HIV yang bertugas di Soloraya, Boy, mengaku kesulitan menghubungi komunitas hotspot atau kawasan yang berdasarkan pemetaan rentan terjadi penularan HIV. Kesulitan kontak itu kemungkinan karena mereka takut dipersekusi mengingat berita itu juga diviralkan oleh media sosial pemengaruh yang cukup popular di Soloraya.

“Mereka langsung tiarap seketika pada saat berita itu menyebar. Enggak bisa dihubungi. Jangankan diajak untuk konseling, meminta mereka untuk terkoneksi dengan kami saja sulit. Ini menyulitkan kami mencegah persebaran virus itu,” kata Boy, Rabu (31/1/2024). Ia menyayangkan pemberitaan itu diolah sebombastis mungkin yang akhirnya membuat komunitas LGBT semakin terstigma.

“Sebenarnya selagi tidak ada hal yag dilebih-lebihkan dan pemberitaannya tidak menyudutkan teman komunitas, saya tidak apa-apa. Tapi bagi teman-teman apabila pemberitaan seperti ini selalu dimunculkan, menjadikan ketakutan dan rasa enggan untuk melakukan tes VCT secara berkala,” imbuh dia.

Rencana Edaran Pencegahan

Pemberitaan soal merebaknya LGBT di Wonogiri bermula saat Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Wonogiri, Kurnia Listyarini menyebut ada temuan anak muda yang bergabung dengan grup online komunitas LGBT.

Informasi temuan itu diperolehnya saat bertemu dengan sejumlah sukarelawan yang concern pada isu HIV (Human immunodeficiency virus) dan Aids (Acquired immunodeficiency syndrome) pada Mei 2023 lalu, terutama pada komunitas lelaki seks lelaki (LSL).

“Anak-anak muda ya, rentang usia 20-an hingga 30-an, bukan pelajar, enggak ada pelajar,” kata dia saat dikonfirmasi pada Senin (15/1/2024). Kurnia mengaku tak menelusuri langsung laporan tersebut. Namun laporan itu menjadi masukan untuk mengambil langkah ke depan. Dia khawatir apabila tak segera mengambil langkah, dampak penularan HIV dan Aids tak bisa ditekan.

“Ya, kalau ada temuan, kami bisa mengambil langkah apa, begitu, misalnya pencegahan. Kami memberi sosialisasi dan edukasi. Kemudian, bagi yang mau membuka diri, kami bisa membantu rehabilitasi sosial, memotivasi hidup sehat, bisa lepas dari komunitasnya dan berkegiatan positif, sampai penanganan medis apabila penyebabnya (menjadi LGBT) itu karena hormon,” jelas Kurnia.

Sejauh ini, Pemerintah Kabupaten Wonogiri belum berencana menerbitkan regulasi khusus karena hal itu terkait dengan perilaku sebuah komunitas yang sulit untuk dibuktikan

“Kami hanya sebatas pencegahan, edaran di tempat hiburan dan hotel (bagaimana mencegah HIV dan Aids). Jadi enggak bisa langsung ada pelarangan, hanya pencegahan. Kemudian bantuan, bagi mereka yang mau terbuka, termasuk mereka yang sudah positif HIV dan Aids akan kami beri bantuan asupan makanan, kerja sama dengan pihak terkait,” papar Kurnia.

Pihaknya juga memiliki program bantuan usaha bagi mereka yang bersedia membuka statusnya. “Tapi saat berita itu viral, komunitas tersebut langsung menutup diri dan enggak mau berkomunikasi. Kami juga sempat enggak bisa menjangkau,” kata dia.

Ihwal pemberitaan soal LGBT yang akhirnya berdampak pada transpuan di Jatisrono, Kurnia mengaku tak mendapatkan informasi.

Ia menyayangkan hal itu terjadi mengingat semua warga negara memiliki hak yang sama. Kurnia juga menyebut jika pemerintah menerbitkan regulasi, maka bisa jadi hanya sebatas edukasi dan sosialisasi. “Pencegahan atau pengaturan lebih kompleks, tentu lintas sektor. Kalau Dinsos ya sebatas apa yang bisa kami lakukan,” tukas dia. 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by KOTA SOLO || SURAKARTA (@soloinfo)

Pro Kontra Regulasi LGBT

Soal wacana aturan atau regulasi yang menyasar LGBT, Boy mengaku tak setuju. Menurut dia, aturan hanya akan membuat komunitas LGBT semakin termarjinalkan. Padahal mereka juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara.



“Yang membedakan hanya orientasi seksualnya. Selagi teman-teman tidak mengganggu dan merugikan orang lain, kenapa perlu dibatasi hak-hak mereka?” pungkas Boy.

Transpuan asal Wonogiri, Nyunyun, membenarkan pendapat Boy. Menurut dia, pemerintah seharusnya memahami bahwa LGBT bukanlah penyakit yang harus disembuhkan. Keragaman gender dan seksualitas harus diterima, bukan dipilah-pilah, yang akhirnya membuat salah satu pihak dirugikan.

“Manusia itu berbeda-beda. Aturan itu mau dibikin yang semacam apa, dibikin yang kaya bagaimana? Kenormalan seperti apa yang mau diatur pemerintah. Aturan di berapa daerah pun juga enggak berhasil karena LGBT bukan penyakit atau wabah, tapi keragaman manusia,” ucap dia menegaskan.

Terpisah, anggota DPRD Wonogiri dari Fraksi PDI Perjuangan, Yukanan Supriyanto, menilai masih butuh jalan panjang untuk menerbitkan regulasi terkait LGBT. Apalagi regulasi di tingkat lokal yang belum ada aturan di atasnya.

“Kalau soal LGBT ya kami ikut aturan di atasnya, misalnya UU Perlindungan Perempuan dan Anak, di bawahnya kami sudah punya Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak, salah satunya Perda Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak. Tapi, aturan itu enggak spesifik menyebut LGBT,” terang dia saat dihubungi, Minggu (21/1/2024).

Supriyanto menyebut komunitas LGBT di Wonogiri tak semasif yang diberitakan di media online maupun ramai dibahas di media sosial. Namun, jika pemerintah harus menerbitkan aturan terkait itu, maka harus menggelar public hearing yang melibatkan komunitas LGBT untuk mendapatkan masukan.

“Kalau menuruti medsos, enggak akan ada habisnya apalagi yang dampaknya sampai terjadi kekerasan. Kami sendiri memang pernah mengobrol dengan Dinsos terkait hal ini, tapi informasi di medsos itu hanya sekadar laporan, belum ada rencana menerbitkan regulasi khusus,” ucap dia.

Sementara soal persekusi yang dialami transpuan akibat pemberitaan media yang berlebihan tentang komunitas LGBT, ia juga mengaku belum mendapatkan informasi.  Namun pihaknya turut menyayangkannya, kerena tindakan itu main hakim sendiri.

“Korban persekusi bisa melapor ke kepolisian dan kami mendukung kalau korban melapor. Enggak boleh itu main hakim sendiri. Kami akan lindungi mereka sebagai warga negara. Tapi sebenarnya kalau transpuan, mereka ‘kan lebih percaya diri menunjukkan diri, yang ingin kami pelajari justru yang tertutup, kemudian simbol komunitas, agar kami lebih paham soal komunitas LGBT,” papar Yukanan.



Anggota DPRD Kabupaten Wonogiri dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Krisyanto, juga mengaku belum mendapatkan kabar soal persekusi terhadap transpuan tersebut. Alasannya, lantaran tengah berfokus pada Pemilu 2024.

“Ya memang itu penyimpangan, kalau bisa disadarkan. Penyimpangan di masyarakat kan banyak, korupsi itu juga penyimpangan. Lebih baik disadarkan, jangan dipersekusi, enggak boleh, mereka sama makhluk Allah,” ucap Krisyanto, dihubungi terpisah.

Kendati tak setuju dengan komunitas LGBT, namun ia menyayangkan kabar persekusi itu. Menurut dia, semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hukum yang setara. “Kalau soal regulasi, kami belum ada rencana. Cuma, harapannya komunitas LGBT ini enggak makin berkembang di Wonogiri,” imbuh dia.

Temuan stigma LGBT yang dilaporkan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat pada 2020. (Istimewa/Tangkapan Layar)

Utamakan Sikap Inklusif

Tren pemerintah daerah yang membahas, mendiskusikan atau mewacanakan regulasi yang narasinya anti atau menolak LGBT, menurut Peneliti dan Pegiat Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Albert Wirya Suryanata, muncul beberapa tahun terakhir. Narasi tersebut bisa jadi berupa pengawasan, deteksi, hingga kriminalisasi.

“Narasi utamanya mungkin menyasar anak-anak muda. Dan ini menjadi sangat ironis karena seharusnya Dinas Sosial maupun stakeholder sejenis itu mengetahui apa-apa saja yang tengah dihadapi oleh komunitas LGBT karena stigma, diskriminasi, hingga penolakan di masyarakat,” kata Albert saat dihubungi, Jumat (2/2/2024).

Dia menyatakan, tanpa sebuah regulasi, komunitas LGBT sudah mendapatkan stigma dan diskriminasi. Regulasi akan semakin menyulitkan mereka mengakses pelayanan masyarakat, di antaranya kesehatan, khususnya anggota komunitas LGBT yang sudah menjadi penderita HIV dan Aids. Stigma dan diskriminasi itu juga membuat komunitas LGBT tak mendapatkan haknya atas pendidikan yang setara.

“Seharusnya itu dulu yang dibenahi, bukan malah menerbitkan regulasi yang kian membuat mereka semakin termarjinalkan. Narasi berbahaya ditambah regulasi justru kontraproduktif untuk menekan penularan HIV dan Aids karena mereka kan semakin sulit terjangkau,” ungkap Albert.

Ia menambahkan, regulasi-regulasi anti-LGBT di sejumlah daerah lain di Indonesia pun kerap disusun secara serampangan dan tak partisipatif. Dampaknya, kelompok rentan kian sulit mengakses layanan dasar.



“Belum lagi ada kelompok masyarakat yang memanfaatkan regulasi tersebut untuk melakukan persekusi,” tandasnya. Ia berharap pemerintah tak asal membuat regulasi, melainkan lebih bersikap inklusif. Selain itu, penyusunan regulasi juga memerhatikan aspek prioritas dan partisipatif.

 

Liputan ini bagian dari program workshop dan fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya