SOLOPOS.COM - Sosialisasi kewaspadaan perilaku LGBT di kalangan remaja diikuti para guru BK SMA dan sederajat di Pendapa Pemkab Klaten, Selasa (3/10/2023). (klatenkab.go.id)

Solopos.com, SOLO — Wajah kecewa tak bisa disembunyikan Uwik, seorang transpuan asal Boyolali saat membaca narasi tolak lesbian, gay, biseksual, transpuan (LGBT). Narasi itu muncul dalam pertemuan yang diinisiasi beberapa lembaga pemerintahan di sejumlah kabupaten/kota di Soloraya (eks-karesidenan Surakarta).

Paralegal dari Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) itu telah sejak lama bermitra dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) untuk menjangkau lima populasi kunci HIV dan Aids. Mereka adalah transpuan, LSL (lelaki seks lelaki), perempuan pekerja seks (PPS), orang dengan HIV dan Aids (ODHA), serta penasun (pengguna narkoba suntik) di wilayah Soloraya.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Sayangnya, kemitraan itu seolah menghilang saat narasi tolak LGBT menjadi tema utama dalam upaya pencegahan HIV dan Aids di daerah.

Solo Say No To LGBT

Berdasarkan penelusuran Solopos.com, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten dan Sragen, serta Pemerintah Kota (Pemkot) Solo menggelar workshop atau sarasehan dengan mengusung narasi serupa, yakni menolak atau menentang LGBT. Narasi yang diangkat pada medio Agustus hingga Desember 2023 itu seolah menafikkan usaha komunitas yang selama ini membantu program pemerintah.

“LGBT, kan T-nya Transpuan. Lha selama ini kami sudah membantu program pemerintah kok, malah ditolak. Belum lagi teman kami yang mungkin dari kalangan G atau Gay yang juga menjadi penjangkau, kok ini malah dinarasikan begini,” ucap Uwik, Jumat (15/12/2023).

Uwik lantas menunjukkan foto backdrop dalam sosialisasi pencegahan HIV dan Aids yang menampilkan tema bertuliskan “Say No To Drugs, LGBT, Free Sex” pada Agustus 2023 di salah satu kelurahan di Kota Solo. Ia khawatir narasi itu dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab untuk melakukan persekusi atau diskriminasi. Terlebih, narasinya berasal dari lembaga pemerintah yang seharusnya menaungi komunitas rentan.

Terlebih, isu LGBT selalu laris menjadi gorengan menjelang Pemilu tiba. Seruan anti-LGBT berpotensi digunakan untuk meraup suara. Para peserta kontestasi Pemilu yang mempolitisasi LGBT tak peduli dampak yang akan didapat oleh kelompok tersebut.

“Sejak Januari sampai Desember 2023, kami telah menerima seratusan kasus yang menyasar lima populasi kunci. Ada transpuan yang dihajar oleh sekelompok orang, perampasan, pencurian, dan kami khawatir narasi seperti ini membuat komunitas kami semakin rentan dipersekusi,” ucap Uwik.

Sosialisasi Pencegahan HI/AIDS Say No to Drugs, LGBT, Free Sex yang digelar salah satu WPA di Solo, Agustus 2023 lalu. (Istimewa/KPA Solo)

Sekretaris KPA Kota Solo, Widi Srihanto menampik isu “tolak LGBT” dipilih oleh KPA. Menurut dia, KPA hanya sebagai pihak yang diundang, sementara pengundang atau penyelenggaranya adalah Warga Peduli Aids (WPA) kelurahan, yaitu wahana partisipasi masyarakat dalam menanggulangi HIV dan Aids.

“Kami diundang sebagai pemateri. Dalam memberikan materi, kami enggak menyebut anti-LGBT atau tolak LGB meski dalam backdrop ada tema tertulis “Say No To Drugs, LGBT, Free Sex”,” terang Widi dihubungi Kamis (21/12/2023).

Widi juga membantah isu tersebut sengaja dipilih untuk digoreng menjelang Pemilu. Menurut dia, isi materi kegiatan tersebut bukan menyinggung LGBT, tapi materi bersifat makro atau umum tentang HIV dan Aids. Juga soal bagaimana penanganannya apabila ditemukan kasus positif serta pola hidup sehat mencegah penularan HIV dan Aids.

“KPA tetap bersama komunitas yang bersedia bekerja bersama menanggulangi HIV dan Aids tanpa ada sedikitpun menyinggung satu golongan atau satu komunitas tertentu. Kami juga rutin menggelar sosialisasi waspada HIV dan Aids dengan tema berbeda,” kata dia.

Widi lantas menegaskan tidak ada gerakan khusus apapun di KPA maupun WPA di Soloraya yang secara spesifik membahas tema khusus tentang anti-LGBT.

“Selama kegiatan berlangsung pada Agustus sampai Desember 2023, tidak ada dampak, gejolak, masalah atau respons masyarakat apapun yang negatif dari kegiatan tersebut terhadap komunitas tertentu, terutama LGBT,” tukas Widi.

Sragen Waspada LGBT

Sementara di Sragen, narasi waspada terhadap LGBT juga dijadikan tema dalam seminar bertajuk “Ketahanan Keluarga dan Kewaspadaan LGBT” dalam rangka Hari Aids Sedunia pada awal Desember 2023 lalu. Tema khusus dalam seminar yang digelar oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sragen itu adalah menyoal LSL.

Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati yang menjadi narasumber sempat memberikan perhatian khusus adanya temuan baru penularan HIV lantaran hubungan seks sesama jenis. Yuni menyebut terdapat Sembilan kasus yang terindikasi tertular karena hubungan LSL.

“Yang mengejutkan, di antaranya sembilan kasus tersebut adalah pelajar kita. Bahwa anak-anak kita dalam 10 tahun lalu, tidak pernah menduga, dengan kemajuan, teknologi dengan pergaulan, ada [penularan HIV dan Aids] lelaki seks lelaki,” kata Yuni, panggilan akrabnya.

Seminar Ketahanan Keluarga dan Kewaspadaan LGBT yang digelar KPA Sragen dan Dinkes Sragen. (Istimewa/Pemkab Sragen)

Sementara terkait tema yang diusung, Sekretaris KPA Sragen, Haryoto mengklaim narasi waspada LGBT sama sekali tak menyinggung soal anti terhadap komunitas LGBT. “Kami di Sragen tidak membuat seminar tentang diskriminasi terhadap LGBT tetapi kami soroti dari perspektif psikologis. Jadi narasumbernya juga psikolog agar memberi edukasi bagi keluarga untuk tidak salah asuh anak-anak di dalam keluarga. Topiknya adalah kewaspadaan keluarga,” kata dia, Minggu (21/1/2024).

Haryoto juga mengatakan dalam seminar itu pihaknya justru mengajak peserta untuk tidak mendiskriminasi komunitas LGBT. Namun mencari akar masalah dalam keluarga dari perspektif psikologis dan perspektif pencegahan penularan HIV dan Aids.

“Tapi memang narasinya mirip se-Soloraya. Bukan saja Soloraya, tetapi boleh jadi se-Jateng (Jawa Tengah), karena masalahnya memang menjadi masalah regional, kalau tidak secara nasional,” aku dia, sembari menyebut tak ada dampak negatif yang menyasar komunitas LGBT pasca-seminar tersebut digelar.

Klaten Was-was Pengaruh LGBT

Sedangkan di Klaten, Bagian Kesra Pemkab dan KPA setempat menggelar sarasehan bertema “Lindungi Anak Bangsa dari Pengaruh Perilaku LGBT” pada 3 Oktober 2023.

Wakil Bupati Klaten Yoga Hardaya dalam sambutan sarasehan menyebut saat ini pemuda sebagai penerus bangsa harus diberikan pengetahuan dan informasi sebanyak mungkin mengenai hal-hal yang menjurus pada penyebaran dan penularan HIV dan Aids, termasuk perilaku LGBT. Yoga juga berharap sekolah dan keluarga dapat menjadi benteng moral agar generasi penerus bangsa tetap terjaga dari perilaku tersebut.

Talkshow Lindungi Anak Bangsa dari Pengaruh Perilaku LGBT yang digelar Bagian Kesra Pemkab Klaten dan KPA Klaten, Desember 2023 lalu. (Istimewa/Pemkab Klaten)

Beruntung, narasi anti-LGBT tak berdampak pada komunitas transpuan di Klaten, yakni IWAK (Ikatan Waria Klaten). Ketua IWAK, Nonik mengaku kendati aktif dalam kampanye pencegahan HIV dan Aids, narasi itu tak berdampak pada dirinya maupun anggota komunitas.

“Kebetulan enggak ada dampak sama sekali, kami hidup rukun, dengan tetangga, masyarakat. Selama ini di Klaten, mau mengadakan kegiatan apapun yang mengajak kami, transpuan, tidak pernah ada tekanan,” kata dia, Selasa (2/1/2024).

Kendati begitu, Nonik tak memungkiri apabila di daerah lain terdapat diskriminasi maupun persekusi yang menyasar komunitas LGBT. Menurut dia, hal itu tergantung pada kondisi daerah, kebijakan pemerintah, maupun kehidupan sosial mereka.

“Kalau di media sosial memang saya pernah baca, tapi di Klaten enggak ada. Kami cukup beruntung karena semua warganya rukun. Kalau gorengan-gorengan soal LGBT dan Pemilu ini, rasanya hanya selintas lalu di media sosial, tapi saya sendiri enggak ngikuti, karena tidak tertarik,” kata dia.

Sejumlah isu yang pernah dibaca di antaranya adalah isu pasangan calon (paslon) Pilpres 2024 yang mendukung LGBT, pembubaran acara pertemuan komunitas LGBT, dan sebagainya.

Nonik mengamini sejumlah daerah dengan tingkat konservatisme yang tinggi biasanya berani melakukan persekusi kepada transpuan. Klaten pun pernah menjadi lokasi alternatif saat ada pembatalan acara komunitas transpuan di daerah lain sekitar 1-2 tahun lalu.

“Ya, jadi memang enggak bisa dipungkiri tindakan itu ada. Apalagi kalau membaca komentar di media sosial. Tapi, saya sendiri memilih hapus komentar atau blokir demi kesehatan jiwa,” ucap Nonik.

Narasi Anti-LGBT Jelang Pemilu



Kendati narasi anti-LGBT sengaja dipilih menjelang Pemilu tak terbukti, namun riset Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menemukan hal sebaliknya.

Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi menyebut narasi-narasi yang mirip, bahkan kembar atau sama di beberapa daerah yang berdekatan, seperti di Soloraya itu, kemungkinan besar berkaitan dengan Pemilu.

“Jelang Pemilu atau Pilkada, narasi diskriminatif terhadap LGBT tidak hanya beredar di media sosial, tetapi juga disampaikan di pertemuan-pertemuan offline yang kerap melibatkan kepala daerah. Tujuannya mendulang suara dari sentimen negatif terhadap kelompok LGBT,” ucap Amel, sapaan akrabnya saat dihubungi Selasa (2/1/2024).

Ia mencontohkan, ada narasi diskriminasi di dalam konten iklan berbayar yang ditargetkan di Facebook. Iklan tersebut telah dilihat oleh 20 hingga 25 ribu orang. Iklan tersebut beberapa di antaranya dibikin oleh komunitas konservatif yang menentang LGBTIQ. Ada pula narasi oleh politisi namun lokusnya menyasar komunitas di Malang, Jawa Timur lantaran politisi tersebut bertempat tinggal di sana.

Narasi salah seorang caleg di Malang yang mengusung anti-LGBT. (Istimewa/Tangkapan Layar)

Jadi, meskipun panduan komunitas Meta (Facebook) tertulis tidak memaklumi perilaku yang mendiskriminasi kelompok tertentu, namun faktanya, narasi diskriminasi terhadap LGBT lolos dalam review iklan politik yang diizinkan oleh layanan jejaring social itu.

“Ada pola narasi yang bisa diidentifikasi dari kasus serangan terhadap LGBT,” beber Amel. Pertama, narasi dari aktor politik (kepala daerah, anggota legislatif, dan caleg) yang mengumumkan anti LGBT, LGBT sebagai perilaku tidak bermoral, dan ajakan untuk mendiskriminasi LGBT. Kedua, narasi dari pemilih yang mendorong agar partai politik dan calon mendiskriminasi, mengusir, dan menghukum LGBT.

“Tidak sulit menemukan konten yang menyerang kelompok ini. Masukkan kata kunci “LGBT”, “LGBT pemilu”, “moral LGBT”, “anti LGBT”, “usir LGBT”, “caleg LGBT”, dan “(nama partai) LGBT”, Anda bisa menemukan banyak konten yang saya maksud,” ungkap dia.

Ia meminta pemerintah dan KPU memberi perhatian khusus terhadap hal-hal tersebut. Narasi yang diskriminatif dan disinformasi dapat berbahaya untuk kelompok rentan.

“Apabila ruangnya di media sosial, bisa mengawasi, berkolaborasi dengan koalisi masyarakat sipil, platform media sosial, dan Kominfo. Begitu pula apabila narasi itu dilakukan offline. Jangan sampai pemerintah malah menjadi aktor yang memperkuat diskriminasi hingga muncul persekusi,” tukas Amel. Ia menyebut ujaran kebencian hampir pasti berdampak negatif pada kelompok marjinal, termasuk memicu potensi kekerasan dan ancaman fisik lainnya.



Laporan Human Rights Watch (HRW) pada 2016 menunjukkan ujaran kebencian, pengusiran, pembentukan Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif telah memberikan keuntungan politik dan finansial bagi sebagian elit.

Pertama, memosisikan kelompok LGBT menjadi sesuatu yang perlu diperangi justru dinilai mampu untuk mendongkrak elektabilitas.

Ketika ujaran-ujaran stigmatif dan penuh kebencian ini disebarkan oleh media, terdapat potensi peningkatan stigma dan persekusi. Perlakuan-perlakuan buruk terhadap kelompok minoritas seksual dan gender ini menjadi dominan juga akibat ada legitimasi dari pernyataan-pernyataan orang yang dianggap memiliki kuasa untuk melakukannya.

Apalagi masih banyak media yang merekam pernyataan-pernyataan tersebut tanpa memberikan bantahan yang akademis dan mengacu pada prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Ujaran kebencian terhadap minoritas seksual dan gender yang disebarkan oleh calon-calon pemimpin menjadi sinyal, bahwa produk-produk legislasi serta kebijakan-kebijakan publik mereka kelak tidak akan bersifat inklusif.

Untuk mengetahui narasi-narasi anti-LGBTI yang digunakan selama masa politik, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) melakukan pendokumentasian dan pemantauan pemberitaan media terhadap stigma, diskriminasi dan ujaran kebencian terhadap kelompok LGBTI dalam konteks politik.

“Data yang telah kami kumpulkan pada dua tahun menjelang Pemilu 2019 menunjukkan stigma, diskriminasi dan ujaran kebencian tetap tinggi dan diolah untuk kepentingan-kepentingan politik,” ucap Peneliti dan Pegiat LBHM, Albert Wirya Suryanata.

Para tim pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden Pemilu 2024, antara lain Ketua DPRD Kota Solo yang juga Sekretaris Tim Pemenangan Ganjar-Mahfud Solo, Budi Prasetyo menyatakan telah menelusuri kegiatan yang digelar oleh WPA tersebut. Menurut dia, tema yang diambil masih umum lantaran bagian dari komunitas LGBT cukup lekat dengan upaya pencegahan penularan HIV dan Aids.

Budi mengaku belum mendapatkan laporan terkait dampak dari narasi sosialisasi itu, khususnya sentimen negatif yang menyasar komunitas LGBT jelang Pemilu 2024. Namun, ia menekankan negara wajib melindungi semua warga negara, tanpa memandang latar belakangnya.



“Semua warga negara sama di mata hukum, kalau mereka mendapatkan kekerasan, ancaman, dan sebagainya, ya harus dihukum. Itu tanggung jawab kita semua melindungi siapapun tanpa melihat latar belakangnya,” tegas Budi, Jumat (2/2/2024).

Sementara Ketua TKD Prabowo-Gibran Kota Solo, Ardianto Kuswinarno, yang juga Ketua DPC Partai Gerindra Kota Solo, tak merasa bahwa narasi yang diambil oleh WPA kelurahan berlebihan.

Lho, itu bagus untuk mengingatkan agar hati-hati dengan seks bebas karena bisa bikin penyakit menular merajalela, seperti penyakit Aids, penyakit yang berbahaya, itu pemikiran saya,” kata dia, lewat pesan singkat, Kamis (1/2/2024).

Potensi bahaya yang timbul terhadap komunitas LGBT lantaran tema tersebut, menurut Ardianto tergantung sudut pandang masing-masing. Sedangkan Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal Solo, Sugeng Riyanto mendukung masyarakat harus diedukasi.

“Masyarakat punya hak untuk mengatur agar lingkungannya tidak ada warga yang terjerumus ke LGBT. Itu dari perspektif umum. Kalau dari kesehatan, LGBT itu dianggap penyakit dan menimbulkan penyakit ikutan, makanya pemerintah punya tanggung jawab melindungi warganya untuk sehat,” kata Sugeng. Kendati begitu, ia tak membenarkan apabila masyarakat main hakim sendiri menyasar komunitas LGBT.

 

Liputan ini bagian dari program workshop dan fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya