Soloraya
Rabu, 1 Mei 2024 - 07:42 WIB

Cerita di Balik Pentas 4 Tari Klasik Keraton Solo yang Berumur Ratusan Tahun

Dhima Wahyu Sejati  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tari klasik Bedhaya Sukoharjo dibawakan oleh para penari di Bangsal Smarakata Keraton Solo, Senin (29/4/2024) malam. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO — Sembilan penari perempuan memasuki Bangsal Smarakata Keraton Solo, Senin (29/4/2024) malam secara perlahan. Para penari yang menggunakan rompi ungu itu turut membawa panah di tangan kirinya.

Dengan iring-iringan gending Sukoharjo Laras Pelog Pathet Nem, para penari itu menari dengan tempo yang pelan. Gerakannya seakan mengindikasikan kelembutan. Tari itu adalah Tari Bedhaya Sukoharjo yang menjadi pembukaan pentas Keraton Art Festival malam itu

Advertisement

Tari Bedhaya Sukoharjo diciptakan oleh Paku Buwana IX (memerintah 1861–1893 M) tidak lama setelah naik tahta. Penciptaan tari itu bertepatan dengan selesainya Pesanggrahan Langenharjo yang saat ini berada di di Desa Langenharjo, Grogol, Sukoharjo.

Tarian atau beksan dan gending Bedhaya Sukoharjo kali pertama dipentaskan juga di Pesanggrahan Langenharjo. Selain itu pernah pula dimainkan di Sasana Sewaka Keraton Solo sebagai jamuan tamu dari Pemerintah Hindia Belanda. Alasan pementasan itu sebab ketika peresmian Pesanggrahan Langenharjo, Pemerintah Hindia Belanda tidak sempat mengirim utusan.

Pada 1988 tari ini diubah tanpa mengurangi gerakan-gerakan baku oleh putri Pakubuwana XII, GRaj. Koes Moertiyah. Perubahan itu dilakukan atas seizin ayahnya. 

Advertisement

Tari itu diperagakan sekitar 30 menit. Lalu setelahnya dilanjutkan dengan menarikan Tarian Sancaya Kusumawicitra. Berbeda dari sebelumnya yang mengesankan kelembutan, tari ini lebih mengesankan ketegasan.

Tari Sancaya Kusumawicitra dimainkan oleh dua orang yang gagah dan merupakan representasi dari dua prajurit yang sedang berperang. Maka tidak heran penari yang membawa keris itu meragakan gerakan saling menghunus senjata.

Tarian yang berpasangan itu merupakan warisan seni tari yang cukup tua sebab diciptakan oleh Paku Buwana I saat pusat pemerintahan berada di Keraton Kartasura. 

Paku Buwana I ingin memberikan nasihat mengenai etika dan sopan santun dalam berperang. Di dalam tarian ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.

Advertisement

Maka sebetulnya tarian itu membawa pesan, walaupun seorang ksatria sedang ada  di medan perang tetap harus memegang etika. Namun kini pesan itu bersifat umum kepada siapapun, termasuk penguasa, untuk selalu mengedepankan etika.

Tarian ini kali pertama kali digarap dengan iringan gending Carabalen. Namun pada pemerintahan Paku Buwana IX diganti dengan Iringan Gending Ketawang Pisan Bali.

Penghormatan kepada Raja

Pertunjukan kemudian dilanjutkan dengan tarian Srimpi Sangupati yang dimainkan oleh empat penari perempuan dari Keraton Solo. Di tengah panggung ada meja dengan taplak merah, di atasnya ada dua gelas dan dua botol berisi minuman warna merah. Para penari mengelilingi meja tersebut.

Selang beberapa lama, masing-masing penari mengambil gelas dan botol itu. Dua penari yang membawa botol kemudian menuangkannya ke dua penari lainnya yang membawa gelas. Selang beberapa saat, dua penari itu meminumnya lalu melanjutkan menari.

Advertisement

Tari yang diperagakan sekitar 15 menit itu merupakan tari peninggalan Paku Buwana IV (memerintah 1788-1820). Tarian ini awalnya diberi nama Srimpi Sang Apati yang berarti penghormatan terhadap raja. 

Namun pada masa Paku Buwana IX bertahta, Srimpi Sang Apati diubah namanya menjadi Sangupati. Pergantian nama ini berkaitan dengan permintaan paksa dari Hindia Belanda agar tanah pesisir Jawa diserahkan.

Guna membahas itu terjadilah pertemuan antar keduanya. Paku Buwana IX berinisiatif menjamu para tamu dari Belanda dengan pertunjukkan Srimpi Sangupati. Namun itu ternyata merupakan siasat. Pertunjukan itu tidak hanya hiburan.

Paku Buwana IX ingin menggagalkan perjanjian dengan pihak Belanda dan mengantisipasi kemungkinan terburuk yakni pertumpahan darah. Maka para penari Srimpi Sangupati membawa pistol asli yang berisi peluru sebagai properti.

Advertisement

Tujuannya adalah untuk mengantisipasi apabila perundingan itu gagal para penari Srimpi Sangupati siap menembak para utusan Belanda. Maka para penari pun telah siap mengorbankan jiwanya. Makna ini tampak jelas dalam pemakaian sampur warna putih yang digunakan para penari, itu memberi arti kesucian dan ketulusan.

Setelah Paku Buwana IX wafat pada 1893 dan digantikan oleh putranya Paku Buwana X, tarian Srimpi Sangupati dikembalikan lagi namanya menjadi Srimpi Sangapati. Maksudnya agar laku hidup itu ditujukan untuk menjaga keselamatan maupun kesejahteraan sesama.

Makna simbolis tari Srimpi Sangapati sebetunya menggambarkan perjalanan manusia untuk mengalahkan hawa nafsu yang selalu menyertai kehidupan.

Pertunjukan malam itu ditutup dengan tari Bandayuda yang dimainkan oleh empat penari laki-laki. Para penari yang membawa properti tongkat pendek dan perisai itu menari dengan kuda-kuda yang lebar. Dalam setiap geraknya mengesankan ketegasan, kegagahan, dan kerangkasan.

Maklum saja, sebab tari yang diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana IV itu terinspirasi dari Tari Wirang Lawung karya Sultan Agung Prabu Hanyakra Kusumo dari Kesultanan Mataram Islam (1613-1645) yang menceritakan empat prajurit yang sedang latihan tanding perang dengan menggunakan senjata tombak.

Namun dalam tari Bandayuda senjata tombak diganti dengan bindi atau tongkat pendek serta dilengkapi dengan perisai dari rotan. Tari itu membawa makna simbolis bahwa manusia mempunyai empat nafsu yakni lauwamah (biologis), supiah (duniawi), amarah (emosional), dan mutmainah (spiritual).

Advertisement

Keempat nafsu itu saling memengaruhi laku hidup manusia. Maka pesan yang ingin disampaikan dalam tari Bandayuda adalah agar manusia selalu menyeimbangkan empat nafsunya agar mencapai kesempurnaan hidup.

Kerabat Keraton Solo yang merupakan adik Paku Buwana XIII, GKR Wandansari yang akrab disapa Gusti Moeng mengatakan pentas malam itu merupakan bagian dari peringatan hari tari dunia yang diadakan oleh pihak keraton.

Ini merupakan kali pertama Keraton Solo secara terpisah menyelenggarakan peringatan hari tari dunia. Sebelumnya pentas tari Keraton Solo diadakan bersama acara 24 Jam Menari ISI Solo. Namun tahun ini, Gusti Moeng merasa perlu menyelenggarakannya secara mandiri.

“Apalagi Keraton merupakan sumber budaya Jawa. Kita, malam ini setiap tanggal 29 April akan rutin mengadakan pentas di sini [Bangsal Smarakata]. Ini merupakan bagian pelestarian dan kebudayaan kita,” kata dia dalam sambutan, Senin.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif