SOLOPOS.COM - Kristianto menunjukan sangkar burung kreasinya di Desa Janbeyan, Sambirejo, Sragen, Sabtu (3/2/2024). Usaha kerajinan sangkar burung itu ditekuni selama 12 tahun. (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Limbah kayu jati sisa-sisa industri mebel umumnya tak lagi terpakai dan hanya digunakan untuk kayu bakar. Begitu juga bagi bagi kebanyakan warga perdesaan di kaki Gunung Lawu, tepatnya di Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Sragen.

Namun, di tangan kreatif Kristianto limbah kayu yang semula tak bernilai itu ternyata bisa lebih dari sekadar kayu bahkar. Bahkan bisa menghasilkan cuan jutaan rupiah.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Oleh warga Dukuh Betong RT 004, Desa Jambeyan, itu limbah kayu jati disulap menjadi sangkar burung yang unik. Kristianto membuat dua jenis sangkar burung dari limbah tersebut, yakni kosan dan replika. Dua model sangkar burung ini memiliki penggemarnya sendiri dan sama-sama ramai di pasaran.

Usaha pria 40 tahun ini lahir berawal 15 tahun lalu saat ia iseng-iseng membuat sangka burung, syukur-syukur bisa menghasilkan uang. Ternyata sangkar burung buatannya diminati banyak orang sehingga usaha itu pun berlanjut hingga sekarang.

“Sangkar burung saya dipasarkan ke Bandung, Jakarta, dan pasar lokalan Sragen. Sekarang kami tahan dulu, kami mencoba untuk bermain di-finishing, yakni dengan pengecatan sendiri sebelum dijual. Selama ini sering kali jualnya masih belum sepenuhnya jadi,” ujar Kristianto saat berbincang dengan wartatan, Sabtu (3/2/2024) lalu.

Ia berkomitmen menjaga kualitas sangkar yang dibuatnya supaya pelanggan tidak kecewa. Ia memastikan limbah kayu jati yang akan ia buat jadi sangkar benar-benar sudah kering sehingga bentuknya tak berubah dimakan usia.

Kristianto hanya membuat sangkar burung dari kayu jati, tanpa ada kayu jenis lain. Dalam sehari, ia bisa menghasilkan 3-4 unit sangkar burung, tergantung modelnya. Model kosan lebih rumit daripada model replika.

Sangkar jenis kosan memiliki empat sabuk, sementara replikan hanya tiga sehingga lebih mudah pembuatannya. Dimensi sangkar jenis kosan memiliki tinggi 70 cm, dengan panjang 40 cm dan lebar 40 cm. Sementara jenis replika tingginya 60 cm dengan alas berukuran 37 cm x 40 cm.

Dulu ia sempat memasok sangkar burung untuk pasar Bandung dan Jakarta. Setiap bulan ia bisa mengirim 100-200 unit sangkar. Namun kini ia mengaku tak memiliki cukup tenaga untuk memenuhi permintaan pasar luar daerah. Ia kini mengoptimalkan pasar lokal Sragen yang menurutnya juga cukup prospektif.

Lantas berapa harga sangkar burung Kristianto? Hal itu tergantung jenis dan ukuran. Sangkar jenis kosan yang masih mentah harganya Rp120.000/unit, jenis replika Rp100.000/unit. Itu untuk ukuran standar. Untuk ukuran yang lebih kecil harganya Rp70.000-Rp80.000/unit.

Berkurang Setelah Pandemi

Dibantu istrinya, Kristianto bisa menghasilkan 40-50 unit sangkar per bulan. Dulu, saat pandemi Covid-19, Kristianto memiliki dua karyawan untuk memenuhi permintaan pasar Bandung dan Jakarta. Setelah pandemi berakhir, Kristianto menggarap sendiri pesanan dengan sang istri.

“Bahannya sekarang susah. Saya cari ke tempat-tempat penggergajian dan hanya pilih kayu jati sehingga tak mudah juga dapatnya. Saya terpaksa mencari sampai ke wilayah Jawa Timur,” ujarnya.

Keterampilan Kristanto membuat sangkar burung sudah terasah sejakk kecil. Saat masih Kelas VI SD ia sudah coba-coba membuat sangkar lalu ia jual.

Saat ini Kristanto tengah fokus untuk menjual sangkar dalam bentuk jadi, meski juga masih menerima pesananan yang setengah jadi. Pasalnya, harga sangkar yang sudah jadi harganya terpaut jauh lebih tinggi ketimbang setengah jadi. Sangkar setengah jadi dijual Rp120.000 per unit, namun setelah difinishing seperti dicat harganya bisa naik menjadi Rp300.000 per unit.

“Lumayan [kenaikan harganya], makanya saya main di pengecatan. Kalau ada permintaan mentah tetap kami layani. Permintaan pasar sebenarnya mentahan karena mereka ingin memproses finishing sendiri dengan untung lebih gede,” jelasnya.

Usaha sangkar burung ini terbilang menjanjikan. Dengan modal membeli limbah jati satu truk Rp700.000, bisa diolah menjadi sangkar burung bernilai Rp10 juta.

Sekretaris Desa Jambayen, Tri Joko Sulistyo, menangkap peluang usaha itu untuk pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Jambeyan. Dia mencatat ada tiga perajin sangkar burung di Jambeyan dan akan memberdayakan mereka agar ekonomi terangkat.

“Kendalanya memang di permodalan karena pasar sudah ada. Kami akan berdayakan mereka ke depan agar ada nilai tambah bagi warga lainnya di bawah BUMDes. Nanti keuntungannya dibicarakan bersama yang penting sama-sama menguntungkan,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya