Soloraya
Senin, 21 Agustus 2023 - 17:22 WIB

Derita Tahunan Sinem, Warga Desa Poleng Sragen yang Jual Sapi karena Sulit Air

Tri Rahayu  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sinem (depan) berjalan tanpa alas kaki saat mengangsu air ke sumur kawak yang jaraknya hampir 1 km dari rumahnya di Dukuh Bendorejo, Desa Poleng, Kecamatan Gesi, Sragen, Senin (21/8/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Krisis air bersih sudah masalah langganan warga Dukuh Bendorejo, Desa Poleng, Kecamatan Gesi, Sragen, setiap musim kemarau. Mereka bisa mengangsu air lebih dari lima kali sehari dengan menempuh perjalanan hampir 1 km.

Air ini tak hanya dibutuhkan warga, tapi juga hewan ternak mereka yang kebanyakan berupa sapi dan kambing. Oleh karena itu tak heran apabila Sinem, 49, begitu senang ketika ada bantuan air bersih masuk ke dukuhnya. Ia bisa berhemat karena tidak perlu membeli air.

Advertisement

Hal yang sama dirasakan sekitar 80 keluarga lain di Dukuh Bendorejo yang terbagi dalam lingkungan RT 010 dan RT 011. Ketersediaan air di dukuh itu sebenarnya masih ada, tetapi harus mengangsu dengan jarak hampir 1 km. Air dari sumur kawak di pinggir sungai itu tidak layak dikonsumsi karena kandungan kapurnya tinggi. Air tersebut hanya digunakan warga untuk kebutuhan mandi dan cuci.

Meskipun airnya berkapur, Sinem tetap mengangsu minimal lima kali setiap pagi. Jika dalam sekali mengangsu membutuhkan waktu 30 menit, maka 2,5 jam waktunya habis hanya untuk mengangsu dalam sehari.

Ia mengangkut air menggunakan kelenting berbahan gerabah. Satu kelenting itu sama dengan dua ember atau setara 20 liter. Tiga kelenting air  untuk kebutuhan minum satu ekor sapi Jawa, dan dua kelenting lainnya untuk kebutuhan mandi dan cuci Sinem.

Advertisement

“Sumur samping rumah sudah kering sejak sebulan terakhir dan tidak bisa disedot dengan pompa air. Sejak sumur tidak bisa disedot maka saya ngangsu ke sumur kawak atau warga menyebutnya sumur trembesi,” ujar warga RT 10, Dukuh Bendorejo itu.

Ia awalnya punya dua ekor sapi. Namun karena tak kuat mengangsu air dan mencari pakan untuk kebutuhan ternaknya, akhirnya Sinem menjual satu sapinya.

Duit hasil jual sapi itu dipakai Sinem untuk membeli beras dan kebutuhan lain, Pendapatan suaminya yang seorang penjual sayuran tak bisa diandalkan. Karena cuma punya satu sapi, beban Sinem sedikit berkurang.

“Kalau satu ekor sapi itu butuh tiga kelenting dalam sehari maka kalau dua ekor sapi bisa butuh enam ekor kelenting. Artinya, saya harus mengangsu delapan kali dalam sehari. Jelas saya tidak kuat karena capai karena jaraknya jauh,” ujarnya.

Advertisement

Beban Pengeluaran Air

Itu baru persoalan air untuk kebutuhan minum ternak, mandi, dan cuci. Belum untuk kebutuhan memasak. Karena air sumur tak bisa dikonsumsi, Sinem harus membeli air untuk memasak seharga Rp4.000 per jeriken isi 25 liter.Air satu jeriken hanya mencukupi kebutuhan memasak selama dua hari. Dalam sepekan ia membutuhkan minimal tiga jeriken atau senilai Rp12.000.

“Kalau untuk kebutuhan minum juga beli lagi galonan isi ulang dengan harga Rp4.000 per galon. Biasanya dalam sepekan habis minimal dua galon atau Rp8.000,” sambungnya.

Air jeriken ia beli dari penjual keliling. Sementara air galon isi ulang harus diberi di toko yang jaraknya sekitar 2 km. Total pengeluaran Sinem dalam sebulan untuk kebutuhan air mencapai Rp80.000. Bagi keluarga tak mampu seperti Sinem, tentu pengeluaran sebanyak itu dirasa berat.

Sinem mengaku penghasilan bersihnya dalam sebulan hanya dapat Rp350.000. “Kalau pas banyak orang hajatan, uang itu habis juga,” ujarnya.

Advertisement

Sinem biasa mengangsu di sumur kawak bersama Siti Masifa, 51, tetangga satu RT. Sumur itu merupakan sumur pertama di Bendorejo yang konon dipercaya sebagai sumur wali karena sudah ada sejak zaman simbah-simbah dulu.

Sumur itu dibangun warga pada 15 Agustus 1990 silam sehingga menjadi seperti sekarang. Sumur itu awalnya hanya sebuah belik kecil di bawah akar pohon trembesi besar. Kini, pohon trembesinya sudah tumbang dan tinggal pohon sepreh yang berumur ratusan tahun.

“Warga sini, mulai April sudah kekurangan air bersih. Biasanya Juni mulai mengangsu ke sumur ini. Kalau kemarau panjang, air di sumur ini hanya bisa bertahan sampai bulan Oktober-November sudah kering. Warga beralih ke sumur buatan di dasar sungai yang kering, sekitar 50 meter dari sumur kawak ini,” kata Siti saat mengangsu di sumur kawak bersama Sinem, Senin siang.

Air sumur kawak diambil warga RT 010-011 di Dukuh Bendorejo dan satu RT dari Dukuh Grengseng. Seperti Sinem, Siti tak berani mengonsumsi air sumur kawaka karena kandungan kapurnya tinggi dan bisa berisiko ke kesehatan ginjal. “Air ini hanya untuk cuci baju, cuci piring, dan minuman ternak sapi. Saya tidak pernah mengonsumsi air sumur ini,” katanya.

Advertisement

Keluhan yang sama dirasakan Sunari, 33, yang masih satu dukuh dengan Sinem. Dia mengeluh ketika harus mengangsu sejauh lebih dari 500 meter. Terlebih, Sunari juga harus mengangsu 5-6 kali sehari.

Kepala Desa Poleng, Pujiono, mengungkapkan krisis air bersih tak hanya terjadi di Dukuh Bendorejo tetapi juga di tiga dukuh lainnya, yakni Dukuh Grengseng RT 04 dan RT 05, Dukuh Poleng RT 08 dan RT 09, serta Dukuh Ngreco RT 012. Total ada 1.800-an keluarga di empat dukuh tersebut.

“Sejak dua bulan lalu, seribuan keluarga sudah kekurangan air bersih. Kami sudah meminta bantuan BPBD [Badan Penanggulangan Bencana Daerah] untuk pengiriman air bersih setiap pekan sekali. Kendala kami masih minimnya bak penampungan air. Satu dukuh hanya ada dua bak penampungan sehingga tidak memungkinkan melayani dua RT. Kami sudah mengajukan pihak lain tetapi belum konfirmasi,” katanya.

Pujiono berharap ada solusi permanen untuk mengatasi krisis air bersih warga Poleng saban musim kemarau. Ia berharap adanya jaringan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Dia menyampaikan selama ini jaringan air PDAM baru sampai di Kecamatan Gesi tetapi belum masuk ke daerah-daerah. “Kalau menggali sumur tidak memungkinkan karena yang keluar justru lumpur,” ujarnya.

7 Kecamatan Langganan Kekeringan

Peta daerah rawan kekeringan di Sragen. (istimewa/BPBD Sragen)

Sementara itu, berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sragen tahun 2020, ada tujuh kecamatan yang jadi langganan kekeringan. Kecamatan tersebut yakni Miri, Sumberlawang, Mondokan, Sukodono, Gesi, Tangen dan Jenar.

Ketujuh Kecamatan tersebut memiliki satu persamaan, yakni letak geografisnya berada di Sragen sebelah utara. Total ada 43 desa yang rawan kekeringan. Di Kecamatan Gesi, selain Desa Poleng,  ada juga Desa Slendro, Desa Srawung, Desa Gesi, dan Desa Blangu yang rawan kekeringan.

Advertisement

Berdasarkan data id.weatherspark.com yang dilihat Solopos.com, Senin, musim kemarau di Sragen kemungkinan berlangsung hingga Oktober 2023. Baru pada November 2023 diprakirakan hujan akan kembali menyapa warga bumi Sukowati.

Grafis prakiraan hujan di Sragen. (id.weatherspark.com)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif