Soloraya
Minggu, 10 Desember 2023 - 13:23 WIB

Eksistensi Berbagai Cagar Budaya di Solo Ceritakan Kemakmuran di Masa Lalu

Maymunah Nasution  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Diskusi panel pembuka Urban Social Forum (USF) ke-10 di SMPN 10 Solo, Sabtu (9/12/2023). Panel pembuka tersebut bertemakan Gerakan Masyarakat Mengubah Kota. (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO–Eksistensi berbagai cagar budaya di Solo mengalami sejumlah tantangan meliputi pendanaan perawatan yang harus melibatkan pihak swasta serta segenap pertanyaan tentang wujud cagar budaya itu sendiri.

Sriwedari dan Laweyan menjadi dua lokus sorotan diskusi terkait eksistensi cagar budaya di Solo dalam panel diskusi Urb, Tempus et Fabula: Solo Feels Like a Distant Memory yang diselenggarakan oleh Urban Reason sebagai salah satu panel diskusi Urban Social Forum di SMPN 10 Solo, Sabtu (9/12/2023).

Advertisement

Urban Reason menggelar diskusi tersebut setelah meyakini Sriwedari hampir kehilangan wujud aslinya sebagai taman dan tempat berkumpul bagi warga Solo, sementara Laweyan dianggap berkembang tanpa rencana pembangunan yang pasti.

Banyaknya mobil-mobil besar masuk melewati gang-gang kecil Laweyan menunjukkan perkembangan Laweyan tidak sesuai dengan peruntukannya zaman dahulu. Hal ini ditambah dengan hadirnya salah satu hotel besar di kampung tersebut.

Kepala Bidang Penataan Ruang dan Penataan Bangunan Lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Solo, Dandy Yoga Enconika, menyatakan Pemerintah Kota Solo memberikan wewenang pengembangan bagi investor swasta yang hendak melestarikan cagar budaya di Solo.

Advertisement

“Pemanfaatan cagar budaya oleh investor swasta menurut kami win-win solution karena mereka memiliki dana untuk merawat serta menggunakan cagar budaya tersebut dan pelestariannya lebih nyata dibandingkan hanya difungsikan sebagai cagar budaya,” ujar Dandy dalam diskusi tersebut.

Dandy meneruskan dalam perizinan penggunaan cagar budaya, investor diperbolehkan untuk mengembangkan aset maupun kawasan cagar budaya dengan tetap mempertahankan bangunan asli serta arsitektur di dalamnya.

Beberapa cagar budaya yang telah terawat lewat cara ini antara lain Balai Soedjatmoko lobi toko buku Gramedia, bangunan joglo restoran Java Terrace 1851 serta bangunan joglo yang digunakan lobi Hotel Solia Yosodipuro.

Advertisement

Dandy juga menjelaskan terkait status pemanfaatan area Sriwedari masih menunggu status hukum terbaru. Namun dia memastikan, pembangunan Kota Solo selanjutnya adalah mengoptimalkan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Senada dengan Dandy, Akademisi Arsitektur UNS Solo, Mohamad Muqoffa, mengatakan dalam ilmu arsitektur dikenal konteks adaptive reuse untuk pelestarian bangunan.

Adaptive reuse ini pendekatan melestarikan bangunan tua dengan menyesuaikan kebutuhan sesuai masyarakat sekarang, maka kolaborasi pemilik dan regulator untuk kemudian menggunakan cagar budaya sebagai hotel atau restoran merupakan bagian adaptive reuse itu sendiri. Cara ini dilakukan agar bangunan terjaga dan kepentingan ekonomi juga tercapai,” tutur Muqoffa dalam kesempatannya menjadi narasumber di diskusi tersebut.

Muqoffa menambahkan kawasan kuno memiliki biaya perawatan sangat besar sehingga investor dapat masuk menawarkan dana perawatan dan pelestariannya. Hubungan antara Sriwedari dan Laweyan sendiri lebih kompleks daripada sekadar dua kawasan kuno semata.

Sejarawan Solo Societeit, Heri Priyatmoko, dalam diskusi tersebut menceritakan bagaimana perkembangan lokus Sriwedari dan Laweyan selama ini. Area Sriwedari memiliki beberapa fungsi, meliputi simbol Islamisasi dan tata ruang kota Jawa lewat masjid dan penataan areanya, serta upaya Pakubuwono X merawat dan memakmurkan masjid.

“Saat itu Pakubuwono X sebagai salah satu raja Jawa juga menggunakan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah, sehingga di Sriwedari pun dibangunlah masjid sebagai simbol islamisasi. Namun Sriwedari juga menjadi Taman Raja yang saat itu fungsinya sebagai pusat pergaulan, ruang kosmopolit bahkan simbol tradisi modern,” papar Heri.

Sriwedari saat itu menjadi tempat hiburan utama di Soloraya, bahkan juga menjadi ruang literasi serta semangat sastra dan kapujanggaan berkembang di Solo. Tidak lupa, Sriwedari juga menjadi sentra makanan atau ruang keplek ilat bagi masyarakat. Semua itu berkat visi Pakubuwono X membangun Kota Solo menjadi pusat peradaban di Jawa.

Heri melanjutkan kontras dengan Sriwedari yang menjadi pusat pesta, Laweyan menjadi tempat para saudagar batik berkumpul. Laweyan merupakan tempat lahirnya Serikat Dagang Islam yang dinilai Heri sebagai sebuah gerakan kolektif pertama dari kelas saudagar.

Tidak lama terjadilah pertentangan antara kelompok Laweyan terhadap para aristokrat yang ada di Sriwedari. Menurut Heri, hal tersebut terjadi karena perbedaan gaya hidup.

Sriwedari telah melambangkan kehidupan bergelimang harta dan foya-foya, sementara Laweyan berisi para saudagar yang lebih memilih menghemat uangnya.

Kampung Laweyan juga menyimpan kisah para Mbok Mase, yaitu para perempuan Laweyan yang menjadi juragan batik terkenal hingga seluruh Nusantara.

Terjadi konflik antara Pakubuwono X dengan para Mbok Mase ketika Sang Raja hendak meminjam kuda para Mbok Mase untuk bersembunyi di Ponorogo. Keinginan Pakubuwono X ditolak para Mbok Mase karena saat itu kuda adalah alat berniaga mereka.

Setelah itu, Keraton Kasunanan Solo mengeluarkan kamus Sarine Basa Jawa karangan Padmosukaca 1967 yang menuliskan definisi Bau Laweyan. Definisi Bau Laweyan sebagai berikut:

Wong wadon sing darbe cacad dhekik ing poking baune, yen omah-omah, sing lanang ora umur suwe.” (wanita yang memiliki cacat lekukan di punggungnya saat berumah tangga dipastikan suaminya akan mati muda).

Menurut Heri, kamus tersebut dikeluarkan keraton sebagai upaya mengolok-olok para Mbok Mase di Laweyan. Sejak saat itu hubungan Sriwedari dengan Laweyan tidak lagi dekat.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif