Soloraya
Selasa, 12 Maret 2024 - 20:05 WIB

Gedong Inten Makam Sunan Pandanaran Klaten Ditutup saat Ramadan, Ini Kata Kades

Taufiq Sidik Prakoso  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Makam Sunan Pandanaran di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Klaten, mulai ramai didatangi peziarah memasuki Bulan Ruwah atau Syakban. Foto diambil Rabu (22/2/2023). (Solopos/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN — Gedong Inten atau makam utama Sunan Pandanaran di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Klaten, tutup selama Ramadan. Meski tak bisa masuk sampai ke Gedong Inten, peziarah tetap bisa datang ke kompleks kawasan tersebut.

Kompleks makam eks Bupati Semarang yang kemudian menjadi tokoh penyebar agama Islam itu berada di Bukit Jabalkat. Gedong Inten berupa bangunan tertutup yang di dalamnya terdapat makam Sunan Pandanaran beserta kerabat dekatnya berlokasi di puncak kompleks makam tersebut.

Advertisement

“Untuk Gedong Inten tutup selama Ramadan. Tetapi peziarah bisa masuk sampai di luar Gedong Inten. Setelah Lebaran, nanti dibuka lagi,” kata Kepala Desa (Kades) Paseban, Al Eko Tri Raharjo, Selasa (12/3/2024).

Eko tak mengetahui alasan Gedong Inten di Makam Sunan Pandanaran, Klaten, itu ditutup rapat selama Ramadan. Hal itu sudah menjadi kebiasaan sejak zaman dulu. Siapa pun tak ada yang diizinkan masuk ke Gedong Inten selama Ramadan.

Advertisement

Eko tak mengetahui alasan Gedong Inten di Makam Sunan Pandanaran, Klaten, itu ditutup rapat selama Ramadan. Hal itu sudah menjadi kebiasaan sejak zaman dulu. Siapa pun tak ada yang diizinkan masuk ke Gedong Inten selama Ramadan.

“Bahkan kalau ada permintaan raja maupun bupati, kami tidak berani [membukakan pintunya],” jelas Eko. Salah satu juru kunci Makam Sunan Pandanaran, Suripto, 67, menjelaskan kompleks makam Sunan Pandanaran ramai peziarah saban Bulan Ruwah dan Sura penanggalan Jawa.

Tak sedikit peziarah yang menginap selama berhari-hari di wilayah Paseban. “Kalau ramai itu sampai 15 bus dalam sehari-semalam. Ada yang dari Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan, dan Sumatra,” kata Suripto.

Advertisement

Kisah Perjalanan Sunan Pandanaran

Sunan Pandanaran merupakan murid Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo. Ada berbagai versi terkait perjalanan Sunan Pandanaran hingga menjadi penyebar agama Islam di wilayah Bayat.

Namun, dari berbagai versi itu sepakat bahwa Sunan Pandanaran merupakan putra Ki Ageng Pandan Arang yang merupakan bupati pertama Semarang.

Sepeninggal ayahnya, Pangeran Mangkubumi menggantikannya sebagai bupati Semarang. Awalnya, Pangeran Mangkubumi menjalankan amanah memerintah dengan baik dan selalu patuh pada ajaran-ajaran Islam seperti ayahnya.

Advertisement

Namun seiring waktu, Pangeran Mangkubumi berubah. Amanah pemerintahan sering dilalaikan, begitu juga amanah merawat pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.

Mengetahui hal itu, Sultan Demak Bintara mengutus Sunan Kalijaga untuk segera menyadarkan Pangeran Mangkubumi. Atas upaya Sunan Kalijaga, sang bupati pun menyadari kelalaiannya, lalu memutuskan mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan dan pemerintahan Semarang kepada adiknya.

Pangeran Mangkubumi kemudian pindah ke selatan, didampingi istrinya. Dalam perjalanannya ke selatan, Pangeran Mangkubumi menamai sejumlah daerah seperti Boyolali, Salatiga, Wedi, dan beberapa daerah lainnya.

Advertisement

Pangeran Mangkubumi lalu tinggal di Tembayat, yang saat ini bernama Bayat, Klaten, dan menjadi penyebar agama Islam di sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Pangeran Mangkubumi mampu meyakinkan mereka agar memeluk agama Islam. Oleh sebab itu Pangeran Mangkubumi disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif