SOLOPOS.COM - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Aidul Fitriciada Azhari saat ditemui wartawan seusai membacakan Maklumat Kebangsaan di depan Gedung Siti Walidah UMS, di Kartasura, Sukoharjo, pada Senin (5/2/2024). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo)

Solopos.com, SUKOHARJO — Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Aidul Fitriciada Azhari, menilai demokrasi di Indonesia telah merosot. Untuk itu, negara harus kembali pada kepentingan publik, bukan kepentingan keluarga, golongan, ataupun kelompok tertentu.

Hal ini dia ungkapkan saat ditemui wartawan seusai membacakan Maklumat Kebangsaan di depan Gedung Siti Walidah UMS, di Kartasura, Sukoharjo, pada Senin (5/2/2024) sekitar pukul 08.00 WIB.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Ketua Komisi Yudisial Indonesia periode 2016-2018 ini menjelaskan para akademisi UMS saat ini tengah mengkritisi nepotisme yang coba dihilangkan pada era reformasi. Jika dikaji secara historis, menurut dia UMS tidak lepas dari sejarah reformasi.

“Salah satu yang kami kritisi adalah nepotisme. Ini satu hal yang kami perjuangkan di awal reformasi. Pergerakan dulu salah satunya dari UMS bahkan sebutlah misalnya peristiwa 98 itu dimulai dari sana dari jembatan di Kampus 1 UMS. Jadi kami sadar betul bahwa UMS sejak awal terlibat dalam upaya untuk menghapuskan nepotisme, kronisme, dan tentunya korupsi,” terang Aidul.

Saat ini dia menilai terjadi pengkhianatan terhadap reformasi dan perjuangan mahasiswa di dunia kampus. Oleh sebab itu, pihaknya menyerukan agar mengembalikan demokrasi ke jalan yang sesungguhnya.

“Jalan demos dan kratos, jalan bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan itu punya hak yang sama. Negara tidak lagi menjadi urusan keluarga tapi negara menjadi urusan bersama. Nah ini yang yang kami serukan. Jadi ini sebenarnya tidak lain mengembalikan kepada cita-cita awal reformasi. Pada dasarnya cita-cita reformasi juga bersumber pada cita-cita republik,” ujar dia.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa republik artinya harus kembali kepada publik, bukan untuk kepentingan keluarga, kelompok atau golongan tertentu.

Berangkat dari hal tersebut, para akademisi UMS mengeluarkan maklumat kebangsaan yang menjadi bentuk keprihatinan dan keresahan terhadap perkembangan demokrasi dan kenegaraan Indonesia.

UMS Netral

Dia menegaskan UMS tidak berada dalam posisi mendukung atau tidak mendukung satu pasangan calon tertentu. Menurut Aidul seruan ini murni aktualisasi dari nilai-nilai akademis dan intelektual warga Muhammadiyah yang memang sehari-hari bergelut dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

“Saya kira karena menyangkut aspek akademis di dalamnya maka nilai moral itu menjadi lebih utama dibandingkan kepentingan-kepentingan politik. Jadi sekali lagi ini tidak terkait dengan kepentingan elektoral tertentu,” papar dia.

Imbauan atau seruan moral tersebut, menurutnya semata-mata ditujukan untuk perbaikan kehidupan demokrasi yang pihaknya nilai semakin merosot.

UMS menjadi salah satu perguruan tinggi dari berbagai perguruan tinggi ternama bergantian menyuarakan keprihatinan terhadap situasi demokrasi di Indonesia di tengah kontestasi pemilihan umum (Pemilu) 2024. Seruan tersebut mendapatkan beragam respons dari publik dan pejabat pemerintah.

Ihwal tanggapan istana yang kurang positif dan menuduh sebagai partisan, Aidul menilai hal ini murni seruan moral untuk mengembalikan marwah demokrasi kepada kepentingan publik.

“Ya saya mendengar dari beberapa kalangan yang sebutlah dari pihak istana ini sebagai orkestrasi politik, saya kira ini orkestrasi kewarasan, orkestasi nurani, orkesterasi moral. Karena saya melihat gerakan para guru besar gerakan dunia akademisi tidak terkoneksi dengan misalnya koalisi masyarakat sipil tertentu ata gerakan di luar ini. Jadi murni berangkat dari pertimbangan atau diskusi internal kampus,” tambah dia.

Oleh sebab itu, Aidul menyebut bentuk respons atau penerimaan terhadap bentuk keprihatinan demokrasi ini bisa dikembalikan kepada nurani pemerintah.

“Saya kira kembali kepada pertimbangan publik untuk melihat apakah respons yang di berikan oleh istana itu layak. Atau apakah responsnya itu patut untuk disampaikan terhadap dunia perguruan tinggi yang tidak punya kepentingan politik,” kata dia.

“Jadi alangkah baiknya saya meminta kepada apa para pejabat terutama di istana untuk melihat ini sebagai respons moral bukan respons politik,” pungkas Aidul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya