SOLOPOS.COM - Salah seorang perajin batik asal Jarum, Bayat, Klaten, menunjukkan batik motif Batik Riris Pandhan Maja Arum, Sabtu (7/3/2020). Batik tersebut mengisahkan perjalanan Sunan Pandanaran ke Bayat. (Solopos/Ponco Suseno)

Solopos.com, KLATEN — Sebagai warisan budaya dunia, batik telah berkembang di berbagai daerah di Indonesia dengan ciri khas dan keunikan masing-masing, salah satunya batik khas Bayat di Kecamatan Bayat, Klaten.

Seperti diketahui, batik sudah menjadi warisan budaya Indonesia yang diakui dunia dan sudah ditetapkan UNESCO sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan tak benda sejak 2 Oktober 2009.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Hari penetapan batik sebagai warisan budaya dunia itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional agar batik terus dikenang dan dilestarikan hingga bergenerasi-generasi kemudian. Pengakuan dunia atas karya batik Indonesia memang layak diberikan.

Batik kini sudah bukan lagi sekadar milik orang Jawa melainkan sudah merambah ke berbagai daerah di Indonesia. Berbagai daerah di Indonesia memiliki kerajinan batik dengan ciri khas masing-masing yang berkembang sesuai potensi lokal maupun proses kemunculannya.

Keberadaan batik di Indonesia juga mendapat perhatian besar dan banyak orang yang tertarik dengan eksistensi batik sehingga mulai belajar bagaimana cara membuatnya, mencari tahu sejarah di balik munculnya batik, mencari tahu makna dari tiap corak batik, mencari tahu di mana saja batik diproduksi, dan lain sebagainya.

Pulau Jawa, khususnya, memiliki banyak daerah penghasil batik. Selain Solo dan Jogja, ada Pekalongan, Madura, Cirebon, Yogyakarta, Banten, Magetan, Kulonprogo, bahkan Klaten dan Wonogiri juga menjadi penghasil batik dengan kekhasan masing-masing.

Di Klaten, batik antara lain dikembangkan secara turun temurun di wilayah Kecamatan Bayat. Dilansir tulisan ilmiah berjudul Kajian Batik Tradisi Bayat Klaten Dengan Pendekatan Estetika karya Aprilia Prastika di laman jurnal.isi-ska.ac.id, batik Bayat merupakan warisan turun-temurun.

Tradisi membatik di Bayat sangat erat kaitannya dengan sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bayat menjadi salah satu wilayah di Klaten yang memberi kontribusi dalam penciptaan karya seni kerajinan batik di Keraton Solo.

Hampir dua pertiga perempuan Kecamatan Bayat, Klaten, menjalani kehidupannya dengan membatik (menjadi buruh batik) atau menjadi pengusaha batik (juragan). Batik Bayat memiliki corak yang sederhana namun unik, yaitu mori biru dengan tembokan Parang Rusak dan dicelup warna cokelat tua.

Variasi Corak Batik Bayat

Corak ini terkenal dan banyak digandrungi pada 1978. Keunikan lainnya, batik Bayat menggunakan pewarna alami dari bahan-bahan tumbuhan. Penggunaan pewarna alami ini merupakan upaya para perajin batik untuk menekan biaya produksi karena harga pewarna yang mahal.

Pewarna alami atau pewarna nabati diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, seperti tingi, jambal, mahoni, indigo, jolawe, dan lain-lain. Corak batik Bayat masih mengikuti pakem-pakem dari Keraton Solo terutama bagian corak utamanya.

Lalu untuk variasi corak dilakukan pada pembuatan bagian isian latar batik. Beberapa corak yang menjadi keunggulan sentra batik Bayat antara lain corak sidomukti, wahyu tumurun, babon angrem, dan parang.

Bentuk variasi pada bagian latar batik Bayat, Klaten, mulai bermunculan sekitar 1990. Hal ini dikarenakan para perajin batik mengikuti perkembangan selera pasar dan konsumen. Beberapa variasi itu antara lain gabah utah, gabah kopong, dan latar hujan.

Selain itu terdapat corak ukel gaya Bayat yang dikenal dengan nama Ukel Mbayatan. Ukel Mbayatan ini berupa angka 9 dengan ukuran kecil-kecil untuk menambah keindahan di kain batik karena motif ini sering dikombinasi dengan motif batik-batik lainnya.

Ukel Mbayatan ini biasa disusun dengan cara menyambung sehingga dapat memberikan kesan penuh pada satu motif. Sementara itu, salah satu desa yang menjadi sentra kerajinan batik di Bayat adalah Desa Jarum. Desa ini bahkan sudah dikenal sebagai desa wisata batik.

Diberitakan Solopos.com, Rabu, 20 Juli 2022, kerajinan batik di Desa Jarum sudah berkembang sejak 1960-an. Dikutip dari tugas akhir Jaka Triwiyana ISI Solo tahun 2018 dan Instagram @desawisatajarumklaten, saat itu industri batik desa ini masih dipegang seorang pedagang bernama Purwanti yang kini juga memiliki usaha dengan label Batik Purwanti.

Berkat keterampilan dan permintaan pasar yang tinggi, usaha rumahan yang semula dikerjakan beberapa perajin mulai berkembang pesat. Diceritakan jumlah perajin batik di Jarum dan desa lain di Bayat, Klaten, saat itu mencapai lebih dari 600-an orang.

Batik Kebon

Selain Desa Jarum, batik khas Bayat juga berkembang di Desa Kebon sehingga dikenal dengan nama batik kebon. Batik kebon memiliki ciri khas yakni penggunaan pewarna alami yang kuat.

Batik ini dirintis tak lama setelah gempa dahsyat meluluhlantakkan DIY dan sebagian wilayah Soloraya, termasuk Klaten, pada 2006. Ibu-ibu rumah tangga di Desa Kebon yang bekerja membatik kain milik juragan asal Solo, Jogja, dan Klaten, mendadak kehilangan pekerjaan karena gempa tersebut.

Order membatik sepi karena juragan yang biasa memberi mereka pekerjaan juga terdampak gempa. Padahal, mereka membutuhkan dana untuk memperbaiki kerusakan rumah akibat gempa.

Beberapa saat kemudian, order membatik dari juragan kembali datang, namun tak sekonsisten dulu. Hal ini mempengaruhi pendapatan ekonomi warga Desa Kebon, Bayat, Klaten, yang mengandalkan rezeki dari membuat batik di rumah.

Pada akhir 2009, lembaga internasional yang bertugas mendukung pemulihan bidang perekonomian pascagempa yakni International Organization Migration (IOM) masuk ke Desa Kebon.

IOM atau disebut juga Badan Migrasi PBB mendata potensi Desa Kebon yakni pertanian dan batik. Berangkat dari situ, pemerintah desa mulai berupaya mengembangkan potensi itu terutama batik.

Sekitar 3.000 ibu-ibu yang biasa membatik dibekali ilmu agar bisa membatik secara profesional. Setelah pelatihan itu, jumlah ibu-ibu yang benar-benar bisa membatik tinggal 169 orang. Mereka mendapat pendampingan dari IOM. Ibu-ibu lainnya tak masuk kategori karena persoalan usia dan tak berminat mengembangkan batik.



Selama satu setengah tahun 169 ibu-ibu itu didampingi IOM untuk menjadi pembatik andal. Mereka belajar teknik membatik yang benar, memberikan pewarna alami, dan belajar berbagai hal teknis lainnya. Dari situ lah kemudian Desa Kebon berkembang jadi sentra batik di Bayat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya