SOLOPOS.COM - Gunungan apam dalam Festival Hasil Bumi Saparan yang digelar warga Pucang, Ngargosari, Ampel, Boyolali, di lapangan Pucang, Minggu (10/9/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI – Bulan Safar atau Sapar pada penanggalan Jawa/Islam diidentikkan dengan makanan tradisional apam, tak hanya di Jatinom, Klaten, tapi juga di Boyolali. Warga Boyolali masih banyak yang mengadakan kenduri apam pada bulan tersebut.

Bahkan, ada dua tradisi saparan yang diramaikan dengan sebaran atau kirab gunungan apam di Boyolali yaitu Festival Hasil Bumi Saparan di Dukuh Pucang, Desa Ngargosari, Kecamatan Ampel, dan Sebaran Apem Kukus Keong Emas di Banyudono.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Salah satu pegiat sejarah dan budaya Boyolali, Surojo, menyampaikan pada bulan Safar, masyarakat sering mengadakan hajatan atau upacara dengan bahan pokok apam.

“Apam adalah hasil dari ketan atau beras, kemudian diolah menjadi sebuah makanan. Ini mempunyai makna filosofi doa keselamatan atau perwujudan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com di Festival Hasil Bumi Saparan di Ngargosari, Ampel, Boyolali, Minggu (10/9/2023).

Ia mengungkapkan doa keselamatan yang diwujudkan dengan apam tersebut berkembang di masyarakat Jawa. Apam sebagai perlambang doa keselamatan bisa dalam dimasak dengan cara dikukus atau digoreng.

Surojo menjelaskan tradisi apam telah berlangsung sejak zaman Wali Songo kemudian diteruskan oleh masyarakat Jawa. “Hakikat dari apam ini adalah bagaimana masyarakat Jawa mewujudkan doa melalui pembuatan kue apam agar diberi keselamatan dan kesejahteraan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai doa masing-masing,” kata dia.

Lebih lanjut, Surojo menyampaikan puncak Saparan Apam sebagai doa keselamatan juga akan digelar di Pengging, Banyudono, Boyolali, pada Jumat (15/9/2023). Tradisi di Pengging tersebut bernama Sebaran Apam Kukus Keong Emas.

Sebaran Apam di Pengging

Berbeda dengan kebanyakan apam yang digoreng, keistimewaan pembuatan apam di Pengging adalah dengan dikukus. “Itu diprakarsai Raden Ngabei Yosodipuro yang membuat apam dengan dikukus untuk wujud doa keselamatan dan membasmi hama keong emas di pertanian. Pada saat itu, masyarakat di sekitar Pengging menghadapi serangan hama tersebut,” kata dia.

Sementara itu, ratusan warga memperebutkan dua gunungan apam di Lapangan Pucang, Ngargosari, Ampel, Boyolali, pada Festival Apam, Minggu pukul 11.00 WIB. Keriuhan terjadi saat rebutan dua gunungan apam. Meski debu-debu beterbangan dan cuaca panas, warga tetap semangat menangkap dan mengambil apam.

Setelah dua gunungan apem habis, warga kemudian menyerbu tiga gunungan hasil bumi lainnya. Salah satu warga Kebonbimo, Boyolali, Abdul Rosyid, mengaku sengaja datang untuk melihat Festival Saparan di Pucang, Ampel.

Ia juga turut mengambil apam yang dilemparkan oleh petugas ke ratusan warga. Rosyid mengaku antusias untuk mengikuti sebaran apam. “Ini kan baru kali pertama, kegiatannya ramai juga. Sekalian saja saya ingin mendapatkan apam yang telah didoakan dan dikirab warga sini. Ngalap berkah lah intinya,” kata dia.

Ketua Panitia, Sutiyo, mengungkapkan agenda tersebut memang baru kali pertama digelar di Dukuh Pucang. Ia mengungkapkan kegiatan tersebut menganut ajaran Ki Ageng Gribig di Klaten.

“Jadi budaya tersebut kami lestarikan di wilayah Ngargosari. Saparan memang identik harus ada apam, makanya kami buat juga gunungan apam,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com di sela-sela acara.

Tujuan dari kegiatan tersebut, kata dia, adalah untuk melestarikan budaya saparan sekaligus memperkuat persatuan warga Ngargosari dan khususnya di Pucang. Peserta kirab ada dari RT 001, RT 002, RT 003, RT 004, dan RT 005.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya