SOLOPOS.COM - Petani Desa Bero, Kecamatan Trucuk, Klaten, mengandalkan air sumur pantek untuk mengairi persawahan seperti kemarau saat ini. Foto diambil Kamis (21/9/2023). (Solopos/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN — Pada musim kemarau panjang tahun ini, sebagian petani di wilayah Klaten seperti di wilayah Desa Bero, Kecamatan Trucuk, tetap menanam meski modalnya membengkak.

Mereka harus mengeluarkan biaya ekstra mencapai ratusan ribu rupiah untuk mengoperasikan pompa air agar tak mengalami gagal panen. Minimnya air hujan maupun irigasi membuat petani harus mengandalkan pengairan dari sumur pantek yang harus disedot menggunakan pompa.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Kepala Desa Bero, Suranto, mengatakan petani di wilayahnya menanam tembakau serta palawija ketika memasuki musim seperti saat ini. Dari total 200 hektare sawah, sekitar 70 persen ditanami jagung dan 30 persen lahan ditanami tembakau.

Dia menjelaskan irigasi pertanian di wilayah Bero bersifat setengah teknis. Saat kemarau, petani di wilayah Klaten itu mengandalkan irigasi dari sumur pantek yang harus disedot menggunakan pompa. Akibatnya petani harus keluar biaya lebih untuk membeli bahan bakar mesin pompa diesel.

“Kalau MT [masa tanam] I dan MT II irigasi lancar dari bendung Kali Kebo. Tetapi kalau MT III seperti ini kering. Andalannya menggunakan pompa,” kata Suranto saat berbincang dengan Solopos.com, Minggu (24/9/2023).

Untuk mengoperasikan pompa, Suranto menjelaskan petani menggunakan beberapa jenis bahan bakar salah satunya Pertalite. Dalam satu musim tanam jagung, petani setidaknya butuh 10 kali memompa air.

Pompa diesel membutuhkan setidaknya 6 liter bahan bakar untuk menyedot air sumur guna mengairi satu patok sawah atau sekitar 2.000 meter persegi. Dengan harga Pertalite Rp10.000/liter, maka dalam satu musim tanam jagung di lahan seluas satu patok, petani harus keluar biaya tambahan untuk bahan bakar pompa sekitar Rp600.000.

Surat Rekomendasi BBM Bersubsidi

Untuk membeli jenis bahan bakar minyak bersubsidi itu, petani di Bero, Klaten, harus mengantongi surat rekomendasi yang masa berlakunya hanya sebulan. Meski modal membengkak alias tombok, Suranto mengatakan petani di Bero tetap tanam.

Tidak ada lahan yang dibiarkan menganggur alias bera saat kemarau disertai fenomena El Nino yang puncaknya bakal lebih kering. Suranto menjelaskan ada ratusan sumur di area persawahan Bero untuk sumber irigasi dengan kedalaman sumur sekitar 12 meter.

Kondisi air ratusan sumur itu disebut masih aman alias tidak mengering meski sudah sekitar lima bulan tidak ada hujan. Salah satu petani di Desa Bero, Mardiyana, mengatakan lima hari sekali petani mengairi persawahan agar tetap bisa panen jagung.

Dia memilih menggunakan pompa air yang menggunakan bahan bakar elpiji. Untuk sekali mengairi satu patok sawah, Mardiyana membutuhkan sekitar 2,5 tabung elpiji 3 kilogram (kg).

Di Desa Muruh, Kecamatan Gantiwarno, Klaten, petani juga mengandalkan air sumur untuk mengairi persawahan mereka memasuki kemarau seperti saat ini. Sekali menyedot air, petani butuh bahan bakar jenis Pertalite 5 liter hingga 7 liter.

“Kalau tanaman jagung itu kan rakus air rakus pupuk. Sekali dalam sepekan harus menyedot air agar tidak gagal panen. Kalau biaya bahan bakar sekali mengoperasikan pompa itu Rp200.000 hingga Rp400.000. Itu belum termasuk biaya tenaga kerjanya. Tetapi sampai saat ini di Muruh tidak ada lahan yang dibiarkan menganggur, semuanya ditanami,” kata Kepala Desa Muruh, Suparji.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya