SOLOPOS.COM - Kirab Budaya Grebeg Penjalin ke-6 Desa Trangsan, Gatak, Sukoharjo, Rabu (14/6/2023). (Solopos/Magdalena Naviriana Putri)

Solopos.com, SUKOHARJO — Kerajinan rotan di Desa Trangasan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo berpeluang ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Pasalnya, Kerajinan Rotan ini memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai WBTB.

Hal itu disampaikan Tim Pengkaji Warisan Budaya Tak Benda Desa Trangsan, Tundjung Wahadi Sutirto, saat dihubungi Solopos.com, pada Rabu (14/6/2023) sore. Ia mengatakan pada kajian awal, kerajinan rotan di Desa Trangsan sudah memenuhi kriteria ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dalam aspek kemahiran dan kerajinan tradisional.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

“Karena dalam konsepsi warisan budaya tak benda adalah terpeliharanya transformasi pengetahuan, dalam hal ini tentang anyaman rotan. Mulai dari generasi pertama sekitar 1930-an sampai sekarang sudah sampai generasi ketiga bahkan empat. Itu sudah memenuhi kualifikasi warisan budaya tak benda bidang kemahiran dan kerajinan tradisional,” ungkap Tundjung.

Keterampilan perajin rotan, menurutnya, tidak diperoleh dari sekolah formal, melainkan melalui kebiasaan yang diturunkan dari para orang tuanya langsung. Hal tersebut menjadikan ciri transformasi pengetahuan di tingkat keluarga dalam hal kerajinan.

Ia menyebut meski persyaratan awal semua sudah terpenuhi, tetapi kajian lebih dalam masih harus dilakukan. Selain itu penting juga bagaimana menarasikan hal-hal yang berkaitan dengan rotan berdasarkan sumber tertulis maupun lisan.

kerajinan rotan Trangsan warisan budaya tak benda unesco
Tim Pengkaji Warisan Budaya Tak Benda Desa Trangsan, Tundjung Wahadi Sutirto (tengah) saat mengunjungi Balai Desa Trangsan, Gatak, Sukoharjo pada Rabu (14/6/2023). (Istimewa)

Dosen Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu tak memungkiri jika kemungkinan sumber tulis yang mendukung kajian tersebut minim ditemukan. Namun menurutnya hal tersebut tidak menjadi kendala karena masyarakat bahkan telah memahami istilah dan tahap kerajinan rotan tanpa ada pengetahuan tertulis yang diwariskan.

Tunjung mengungkapkan berdasarkan sumber data tertulis, pihaknya menemukan kerajinan rotan telah digunakan kaum elite Eropa. Bahkan dalam dokumen tersebut menyatakan salah satu penduduk  Desa Trangsan memasang foto Ratu Juliana dari Belanda di rumahnya karena merasa produk lokal tersebut disukai orang Eropa.

“Bahkan sampai sekarang yang banyak memesan kerajinan rotan masih dari  Eropa. Yang namanya peti mati dari rotan pangsa pasarnya justru Inggris, Eropa. Jarang orang Jawa menggunakan peti mati menggunakan rotan. Sebenarnya ada kontinuitas secara artistik dalam mebel, aksesoris, dan produk rotan lainnya yang disukai orang Eropa sejak 1920-an,” kata Tundjung.

Sejarah Kerajinan Rotan Trangsan

Tak hanya itu Tundjung menyebut timnya juga telah menemukan naskah dari era kolonial dan dokumen laporan mengenai sejarah kerajinan rotan Desa Trangsan. Dalam dokumen tersebut menyatakan kerajinan rotan itu diawali oleh seorang kepala desa yang kemudian disebut sebagai Ki Demang Wongso Laksono. Ia  datang ke Desa Trangsan dan menurunkan keahlian menganyam rotan secara turun temurun.

“Ki Demang Wongso Laksono oleh masyarakat setempat juga telah dianggap sebagai pionir rotan Trangsan. Ia juga dimakamkan sebagai Kepala Desa Trangsan pertama. Hal itu juga didukung oleh naskah kolonial yang menyatakan berkembangnya rotan Trangsan karena ada kepala desa yang menyebarkan kepada masyarakat di sana,” ungkap Tundjung.

Keturunan Ki Demang Wongso Laksono masih ada hingga kini. Bahkan selalu dihadirkan dalam acara Grebeg Penjalin di Desa Trangsan. Keturunan yang dimaksud adalah Warsino, generasi ketiga Ki Demang Wongso Laksono.

Grebeg Penjalin sendiri, menurut Tundjung sudah menjadi tradisi masyarakat lokal Desa Trangsan. Grebeg tersebut menjadi sebuah ekspresi di luar warga Desa Trangsan terhadap kerajinan rotan yang sudah mendarah daging.

“Betapa masyarakat menganggap rotan sebagai suatu kearifan lokal. Contoh semua jalan yang ada di Trangsan menggunakan jenis rotan misalnya Jl. Selayar, Jl. Milano dan lainnya yang merupakan jenis rotan,” kata Tundjung.

Ia juga menilai Grebeg Penjalin yang telah berajalan selam enam kali itu sebagai sebuah media untuk menjaga harmonisasi agar kompetisi yang tak sehat antar perajin di sana tak terjadi. Salah satunya dengan menampilkan integrasi sosial yang sekaligus jadi bentuk promosi kerajinan rotan di sana.

Lebih jauh Tundjung menilai perajin rotan Trangsan perlu mengeksplorasi yang lebih jauh nilai kearifan lokal agar terus berkelanjutan. Pasalnya, ada gejala generasi saat ini mulai enggan belajar kerajinan rotan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya