SOLOPOS.COM - Sisa-sisa bangunan Candi Tampir di Desa/Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali. Foto diambil beberapa waktu lalu. (Istimewa/Muhammad Faiz)

Solopos.com, BOYOLALI — Di Desa/Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, dulu pernah ada bangunan tempat ibadah umat Hindu bernama Candi Tampir. Candi itu disebut masih satu era dengan Candi Sari dan Candi Lawang di wilayah Desa Gedangan, Cepogo.

Sebagai informasi, Candi Sari dan Candi Lawang bersama situs pemandian Cabean Kunti merupakan peninggalan era Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad VIII-X. Namun, berbeda dengan dengan dua candi lainnya, Candi Tampir kini sudah hancur.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Kisah hancurnya Candi Tampir di Desa Musuk, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, tak lepas dari kisah orang Belanda yang menjadi penyewa kebun di sekitar tanah tersebut.

Pegiat sejarah asal Boyolali, Muhammad Faiz, mengungkapkan cerita hancurnya Candi Tampir bisa ditemukan dalam berbagai catatan. Salah satunya di Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Jateng yang diterbitkan pada 1980-an.

Kemudian juga dalam koleksi digital Universiteit Leiden Belanda, dokumen Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD) terbitan tahun 1915, majalah kuno, dan sebagainya.

“Dulu ada seorang tuan tanah di Tampir, namanya Van Blommestein. Saat itu Tampir menjadi salah satu perkebunan yang disewakan kepada orang-orang Belanda. Nah, Van Blommestein di sana memiliki pesanggrahan atau rumah,” jelas dia saat berbincang dengan Solopos.com, Selasa (16/1/2024).

Ia menjelaskan kebiasaan tuan-tuan tanah Belanda pada waktu dulu juga banyak yang mengoleksi benda-benda purbakala. Faiz mengungkapkan peneliti Belanda, RDM Verbeek, pada 1891 mencatat peninggalan kuno se-Jawa dan Madura.

Hanya Tersisa Beberapa Artefak

Ia sempat menyadur dari catatan sebelumnya milik peneliti bernama Hoepermans. Tercatat ada dua candi di sekitar Musuk bernama Candi Pahingany yaitu Tampir dan Pelem.

Dalam catatan tersebut, Faiz menjelaskan di masa lalu ada 12 arca dari Tampir dan Pelem yang dibawa ke daerah Karanggeneng, Kecamatan Boyolali. Ia menjelaskan sekarang tidak tercatat arca-arca tersebut berada di mana.

Namun, Faiz memperkirakan arca-arca tersebut sebagian berada di Keraton Solo, rumah arca Boyolali, atau Museum Radya Pustaka. Hal tersebut baru sebatas spekulasinya karena belum ada catatan yang mengonfirmasi.

candi tampir musuk boyolali
Rumah tuan tanah di Tampir, Van Blommestein, di Tampir, Boyolali, pada 1900-an. (Istimewa/Koleksi Digital Universiteit Leiden)

“Waktu itu masih ada arca-arca di Tampir, lalu Hoepermans mencatat Van Blommestein itu menghancurkan Candi Tampir. Batu-batu dari candi itu kemudian dibuat menjadi tangga di rumahnya,” kata alumnus Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut.

Walau dihancurkan, Faiz mengungkapkan bangunan Candi Tampir masih menyisakan beberapa artefak seperti yoni, kemuncak, dan struktur batu. Berdasarkan gaya seninya, Faiz memperkirakan Candi Tampir masih satu era dengan Candi Sari dan Candi Lawang di Cepogo, Boyolali, yaitu sekitar abad VIII-X.

Sedangkan dilihat dari karakter artefak yang ada, Faiz menyebut Candi Tampir merupakan tempat ibadah umat Hindu. “Untuk siapa yang membuat, kapan candi ini dibuat, apakah sama dengan Candi Lawang dan Candi Sari, tidak ada catatannya,” kata dia.

Lebih lanjut, Faiz menjelaskan Candi Tampir bisa hancur di masa kolonial Belanda karena tidak ada orang yang beribadah sehingga keberadaannya waktu itu sudah ditinggalkan.

Status Lahan Milik Pribadi

“Orang-orang jadi merasa tidak memiliki, kemudian buruh perkebunan disuruh tuan tanahnya pengin ini-itu. Masih berdasarkan catatan, setelah dia [Van Blommestein] pensiun, arca-arca di rumahnya dibawa ke Baros, Karanggeneng,” jelas dia.

Faiz menjelaskan rumah Van Blommestein kemudian menjadi ladang. Sedangkan Candi Tampir yang masih tersisa yakni kemuncak dan penopang yoni. Sudah ada pula tulisan keterangan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Boyolali terkait Candi Tampir. Namun, Faiz menjelaskan status Candi Tampir belum masuk cagar budaya.

“Harapan saya yang pertama tentu Candi Tampir bisa ditetapkan menjadi cagar budaya, lalu tanahnya bisa dibebaskan, kemudian bisa menjadi objek dan pembelajaran sejarah di Boyolali walaupun candinya tidak tersisa banyak. Namun, ini bisa menjadi pengingat, kadang ego manusia [merusak candi] berujung pada penyesalan,” kata dia.

Sementara itu, Kepala Desa Musuk, Febrianto Catur Nugroho, mengungkapkan tanah tempat Candi Tampir saat ini berstatus hak milik pribadi. Ia menjelaskan tanah tersebut milik warga yang ahli warisnya sudah tidak lagi tinggal di Musuk.

“Beberapa kali dari dinas membahas terkait itu [Candi Tampir] tapi terbentur kepemilikan. Mau diurus tapi terkendala tanah milik warga,” jelas dia.

Ia menjelaskan Candi Tampir saat ini sudah tidak digunakan untuk beribadah. Ia menjelaskan warga dulu menyebut kawasan Candi Tampir dengan istilah tahunan. Penyebabnya, setahu Febri, karena yang menggarap lahan di situ tidak akan kuat bertahun-tahun.

“Selama ini dibiarkan saja, tapi setiap tahun dari Forkopimcam [Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan] Musuk, dengan Polsek, Koramil, serta warga sekitar bergotong royong bersih-bersih di sana,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya