SOLOPOS.COM - Ilustrasi transgender. (Image by rawpixel.com on Freepik)

Solopos.com, SOLO — Dering ponsel sejenak menghentikan aktivitas Mbak Uik dan Mbak Bella, dua transpuan yang tengah berbincang di sekitaran Terminal Tirtonadi Solo, Senin (18/9/2023) malam. 

Panggilan untuk Mbak Uik itu rupanya berasal dari salah seorang calon klien yang ingin menceritakan masalahnya. 

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Sepertinya dugaan perampasan, ada MSM (men sex men atau LSL/lelaki seks lelaki) yang ponsel, dompet, dan benda berharganya dirampas setelah bertemu dengan kenalannya di aplikasi perpesanan. Sesudah ini saya mau ke sana,” kata Uik, kepada Solopos.com seusai mengangkat telepon. 

Uik adalah seorang paralegal yang kerap memberikan bantuan hukum. 

Lewat Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), transpuan asal Boyolali tersebut menjangkau 5 kelompok rentan, yakni transpuan, LSL, perempuan pekerja seks (PSP), orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan penasun (pengguna narkoba suntik) di wilayah Soloraya.

Uik tak bekerja sendirian. Bersama sejumlah paralegal lain, dia menjangkau kelima kelompok rentan agar mereka mendapatkan bantuan hukum, sadar akan kesehatan dan bisa berdiri di kakinya sendiri.

Sebagai transpuan, Uik sadar dia adalah minoritas. Bahkan, ia tak merasa dirinya adalah warga negara kelas tiga. 

Transpuan menurutnya tidak memiliki kelas, namun Uik berusaha agar seluruh kelompok rentan, tak terkecuali transpuan, sadar akan hak-haknya sebagai warga negara.

Sejak Januari hingga September 2023, jumlah laporan kekerasan yang menyasar lima kelompok rentan di Solo mencapai 102 kasus.

Dari seratusan kasus itu jumlah terbanyak adalah laporan kekerasan terhadap transpuan. Menyusul di belakangnya, kekerasan terhadap PSP, LSL, ODHIV/ODHA dan penasun. Laporan itu datang silih berganti. 

“Kekerasannya bermacam-macam. Belum lama ini, teman saya sesama transpuan dipukuli di dekat Pasar Kembang, padahal dia tidak berbuat apapun. Kami hanya ingin hidup, tapi kok tega ada orang yang memukuli sampai babak belur. Pelaku pemukulan jumlahnya lebih dari 3 orang, alias kelompok. Kami curiga memang ada kelompok yang menyasar transpuan untuk dipukuli,” kata dia. 

Transpuan korban pemukulan itu akhirnya dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan. Beruntung, ia membawa identitas lengkap sehingga bisa mengakses BPJS Kesehatan. 

Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke polisi namun tak bisa diusut lantaran tak ada saksi maupun rekaman kamera CCTV. “Kasus ini bukan kali pertama,” kata dia. 

Pemukulan bukanlah satu-satunya jenis kekerasan terhadap transpuan. Laporan lain yang masuk di antaranya pencurian, perampasan, kekerasan dalam pacaran, dan sebagainya. 

Tingginya laporan yang masuk bukan berarti hal yang buruk. Uik menyebut kondisi tersebut bisa jadi karena kelompok rentan mulai sadar hukum. 

Mereka bisa memvalidasi kekerasan yang dialaminya hingga berani melapor. Selain itu, mereka memiliki keyakinan dan optimisme laporannya bisa ditindaklanjuti sampai menjerat pelakunya ke meja hijau. 

“Belum lama ini pelaku pemukulan dan perampasan terhadap transpuan bisa divonis 2 tahun penjara. Artinya apa, mereka mendapatkan keadilan. Laporannya jalan, mereka tak lagi pesimistis pada hukum,” tutur Uik. 

Uik memang memberikan kesadaran hukum kepada kelompok rentan dari satu komunitas ke komunitas yang lain. Dia kerap menggelar sosialisasi dan memberi kesempatan bagi siapapun untuk bertanya mengenai hak-hak hukum yang dimilikinya. 

“Termasuk saat transpuan dan PSP ini tertangkap razia, saya mengedukasi hak-hak mereka apa saja. Apa yang bisa dilakukan, pasal apa yang digunakan untuk menjerat mereka dan sebagainya,” ungkapnya. 

Uik yakin lewat edukasi tersebut, para transpuan dan PSP lebih sadar hukum dan berhati-hati dalam menjalani aktivitasnya. 

“Kalau kekerasan terhadap PSP biasanya relasi kuasa. Muncikari PSP ada yang kerap bersikap tidak adil, seperti melarang PSP menjalani VCT (voluntering conseling and testing) HIV/AIDs atau IMS (infeksi menular seksual). Ada pula relasi kuasa dari pasangan PSP itu sendiri. Mereka memaksa PSP untuk terus menjalani prostitusi,” beber Uik. 

Sosialisasi kesadaran hukum itu, sambungnya, kerap dilakukan berbarengan saat VCT mobile. Menurutnya, hal itu lebih efektif karena sekali jalan, dua program bisa terlaksana. 

Menurut Uik, cara tersebut juga efektif untuk pendekatan emosional sehingga mereka bisa percaya dan tak segan melapor saat mengalami kekerasan. 

“Utamanya untuk PSP yang terjebak relasi kuasa, kadang-kadang ini dibarengi kekerasan fisik. Mereka juga susah keluar dari lingkaran itu. Kalau sudah sarangheyo (cinta) mau dipukuli juga ikhlas saja, tidak mau lapor. Kadang capek juga karena sering mereka sudah lapor saya kemudian didorong lapor ke polisi tapi enggak jadi karena pasangannya minta maaf, tapi enggak tahu ke depan bakal diulangi lagi,” ujarnya sembari tertawa. 

Sementara, laporan kekerasan yang menimpa kelompok rentan lain yakni ODHA atau ODHIV biasanya seputar akses obat antiretroviral (ARV). 

Kendati obat tersebut gratis dan bisa diakses untuk setiap warga dengan status HIV positif, tak sedikit yang dilarang pasangannya untuk menebus atau mengonsumsi obat itu. Efek yang ditimbulkan membuatnya tak bisa beraktivitas sehingga dicegah oleh pasangannya.

“Ada PSP ODHIV tapi enggak boleh minum obat karena jadi enggak bisa kerja, efek obatnya kan lemas. Ini juga sering dilakukan muncikari pada PSP. Mereka takut statusnya ketahuan pelanggan kalau konsumsi obat, padahal ‘kan bahaya bisa menularkan, tapi ya, saran saya untuk wajib pakai kondom,” tuturnya.

Uik pernah hampir dilaporkan polisi seorang muncikari, lantaran meminta izin PSP-nya menindaklanjuti hasil VCT yang menunjukkan hasil positif.

Meskipun hanya gertak sambal, hal itu termasuk kendala di lapangan karena dia tak bisa menjangkau PSP yang terdeteksi positif HIV yang ujungnya tak bisa mengakses ARV. 

“Berbahaya karena dia tidak diobati, kemudian bisa menularkan penyakitnya,” ucap Uik. 

Ilustrasi pemeriksaan darah awak bus umum oleh Tim VCT demi mendeteksi HIV/AIDS. (JIBI/Solopos/Antara/Destyan Sujarwoko)
Ilustrasi pemeriksaan darah awak bus umum oleh Tim VCT demi mendeteksi HIV/AIDS. (JIBI/Solopos/Antara/Destyan Sujarwoko)

Bella adalah salah seorang transpuan yang dijangkau Uik. Bella pernah menjadi korban kekerasan berupa pemukulan dan perusakan. Pelaku pemukulan adalah pasangannya sendiri, sedangkan pelaku perusakan adalah pelanggan dari rekannya sesama transpuan. 

“Pacar saya itu cemburu karena saya dilirik oleh laki-laki lain, jadi saya dipukuli,” kisahnya. Saat itu Bella tak melaporkan kasusnya ke polisi. Ia malu, selain tak berani hingga pesimistis kasusnya bakal ditangani. 

“Kami ‘kan seperti tidak dianggap warga negara. Kami juga takut kalau melapor itu harus pakai uang pelicin. Kemudian apa bisa ditindaklanjuti. Setelah ketemu Mbak Uik, saya jadi sadar kalau setiap kekerasan itu harus berani melapor agar pelakunya bisa ditangkap,” ungkap Bella. 



Sukarelawan Yayasan Spek-HAM dari kalangan transpuan, Yossytha Marlinthon menyebut saat seseorang memilih menjadi transpuan artinya sudah harus siap menjadi baja dan dianggap separuh manusia. Kenyataan tersebutlah yang membuat transpuan lebih sadar akan kesehatan. 

“Misalnya untuk VCT, mereka lebih rajin. Transpuan lebih terbuka, orang mau mengatakan ini itu, ya, mangga kersa. Transpuan yang ODHIV pun ada yang sudah mengonsumsi ARV sampai 15 tahun dan sehat. Mereka lebih bisa dijangkau,” kata dia kepada Solopos.com, Jumat (15/9/2023).

Namun, hal itu bukanlah tanpa kendala. Tak sedikit transpuan yang tidak memiliki identitas kependudukan sehingga sulit untuk mengakses hal-hal yang sifatnya administratif seperti pelayanan yang membutuhkan KTP. 

Untungnya SPEK-HAM sudah menjalin kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Solo untuk kebutuhan tersebut. 

“Mereka terkadang enggak punya KTP karena tertinggal di rumah saat kabur, data mereka ‘kan sebenarnya ada di database kependudukan, tapi fisik KTP yang tidak ada. Nah, Disdukcapil Kota Solo membantu mencetak sehingga mereka bisa mengakses layanan berikutnya seperti mendaftar BPJS,” jelas Mami Yossy, sapaan akrabnya. 

Advokasi Officer SPEK-HAM, Sulistyaningsih mengatakan langkah Disdukcapil tersebut merupakan diskresi setelah pihaknya beberapa kali melakukan advokasi. 

“Bahkan Disdukcapil bersedia mendatangi lokasi hot-spot (lokasi komunitas kelompok rentan) untuk mencetak KTP-nya. Tahun lalu, sekitar 15 orang dari populasi kunci PSP, transpuan, dan LSL. Tahun ini kami juga sudah ada list yang mendaftar untuk pencetakan KTP,” jelas Sulis, Jumat (15/9/2023).

Ia berharap pencetakan KTP bisa meminimalkan diskriminasi terhadap kelompok rentan selain lebih mendekatkan layanan dan penjangkauan mereka sebagai warga negara.

 



Berita ini merupakan bagian dari tulisan berseri tentang penjangkauan dan pendampingan masyarakat terhadap kelompok rentan. Simak tulisan menarik lainnya di sini.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya