SOLOPOS.COM - Ilustrasi HIV/AIDs. (Image by h9images on Freepik)

Solopos.com, SOLO —“Stigma orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di masyarakat sudah cukup berat, tapi menjadi anak dengan HIV/AIDS (ADHA) jauh lebih berat, apalagi harus menghadapi kenyataan pahit sejak usia muda bakal tak bisa lepas dari obat anti-retroviral virus (ARV) sepanjang hidupnya,” ungkap Satriya, 28, salah seorang sukarelawan pendamping ODHA dan ADHA asal Solo, kepada Solopos.com, Jumat (15/9/2023).

Sudah sejak beberapa tahun terakhir, Satriya menjadi pendamping mereka yang dinyatakan positif tertular virus yang menyerang kekebalan manusia itu. 

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Jatuh bangun ia berupaya menjangkau mereka yang berisiko tinggi, mendampingi mereka menjalani tes voluntary counselling test (VCT) di rumah sakit atau puskesmas, hingga menemani menebus obat ARV untuk yang dinyatakan positif, sampai mendampingi pengobatannya.

Seluruhnya dilakukan cuma-cuma, kendati keluarga Satriya pun tak mengetahui aksi sukarelanya itu. “Saat paling sulit adalah mendampingi ketika mereka menjalani tes lanjutan kemudian mendapati status HIV positif,” ungkap dia. 

Hasil tes lanjutan jamaknya merupakan tahap berikutnya setelah sebelumnya mereka menjalani tes skrining mandiri dan hasilnya reaktif.

Apabila statusnya HIV positif maka petugas layanan kesehatan puskesmas atau rumah sakit akan merujuk mereka menemui dokter guna mendapatkan resep obat ARV.

“Setelah mendapati hasil positif, biasanya mereka ini denial, atau sampai pada kecenderungan bunuh diri karena merasa tidak punya masa depan. Dari situ saya memberi pengertian bahwa virus ini bisa dikendalikan dengan rutin mengonsumsi obat sehingga bisa tetap meraih masa depan,” kisah Satriya.

Belum lama ini, Satriya menjadi pendamping ADHA yang berusia belasan tahun dan masih duduk di bangku sekolah. Anak ini tertular dari perilaku risiko tinggi dan tidak mendapatkan edukasi tepat.

Statusnya sebagai lelaki seks dengan lelaki (LSL) membuatnya kesulitan membuat pengakuan kepada orang tuanya. Dari situlah, Satriya berusaha menjadi pendamping sekaligus orang tua.

“Setelah anak ini tahu status HIV positifnya, otomatis dia harus dirujuk untuk bertemu dokter. Nah, untuk mendapatkan rujukan dari puskesmas, anak ini harus didampingi orang tua atau wali. Tapi, dia belum siap membuka orientasi seksual, sekaligus status HIV positifnya ke orang tua. Saya harus memutar otak mencari jalan keluar,” kisah Satriya.

Ia pun lantas mencari puskesmas mana yang bersedia memberi rujukan tanpa pendampingan orang tua. Setelah bertandang dari puskesmas ke puskesmas, akhirnya rujukan itu berhasil didapat.

“Pikiran saya adalah bagaimana dia bisa berobat ARV rutin, bisa sekolah, bisa melanjutkan masa depan. Saya terus mendampingi, termasuk menjadi tempat bersandar, menjadi orang tua saat anak ini merasa lemah, atau semangat berobatnya turun,” ujarnya.

Kesulitan lain yang dihadapi Satriya adalah jadwal kunjung dokter bulanan yang terkadang membuat pihak sekolah curiga. 

Jadwal kunjung dokter bulanan itu berlangsung saat jam sekolah, sehingga memaksa anak tersebut meninggalkan pelajaran.

“Untuk yang ini kami masih belum dapat solusi karena memang aturannya pengobatan anak harus terpantau rutin. RS hanya bisa menjadwal maksimal 2 bulan sekali. Ketakutan saya kalau sampai sekolah tahu alasan dia izin tidak masuk sekolah adalah kunjung dokter ADHA, maka dia dikeluarkan (dari sekolah),” tuturnya, sambil menambahkan jumlah ADHA yang didampinginya ada 3 anak.

Kisah lain disampaikan salah seorang sukarelawan penjangkau kalangan risiko tinggi HIV/AIDS, Rafa, 26. Pemuda asal Solo ini lebih fokus mengajak kalangan LSL untuk menjalani VCT. 

“Kesulitannya adalah terkadang ada puskesmas yang tidak melayani VCT untuk warga di luar wilayah binaannya [tidak KTP setempat] meski tes ini tidak dipungut biaya apapun, ya, akhirnya diperbolehkan tes juga, meski harus membayar biaya pendaftaran saja,” ucapnya, Jumat.

Untuk menjangkau mereka agar mengikuti VCT, Rafa mengirim broadcast di layanan perpesanan atau media sosial (medsos). 

Ia berharap mereka yang menerima broadcast atau membacanya di medsos kembali membagikannya ke orang lain, sehingga makin menjangkau banyak pihak.

“Upaya ini enggak selalu membuahkan hasil karena banyak yang enggak sadar risiko kesehatan mereka. Kalaupun ada yang sadar mau VCT, kemudian mendapatkan status HIV positif, mereka juga belum tentu mau segera berobat,” ungkapnya.

Kalaupun mereka enggan menjalani VCT di puskemas, pihaknya menawarkan alat tes HIV mandiri yang beredar terbatas dan gratis. 

Namun, cara ini masih harus dikonfirmasi dengan VCT agar hasilnya lebih akurat. “Alat ini hanya bisa mendeteksi HIV, karena untuk mendeteksi AIDS harus tetap lewat VCT,” kata dia.

Rafa menyebut kesadaran setiap orang untuk memeriksakan diri berbeda-beda. Stigma dari masyarakat terkadang menurunkan kesadaran tersebut.

Ia mencontohkan pemberitaan di media beberapa waktu lalu yang menyebutkan soal komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) usia pelajar yang marak di Wonogiri.

Pemberitaan itu membuat komunitas tersebut kian tertutup dan menyulitkan penjangkauan. Padahal, semakin tak terjangkau, temuan kasus ODHA bakal bak gunung es dan persebarannya tak bisa ditanggulangi.

“Kami sebenarnya hanya ingin menjangkau kalangan tersebut untuk tes, bukan mendukung atau bahkan mempromosikan perilaku tersebut kepada masyarakat. Stigma ini menyulitkan bagi kami,” tuturnya.

Advokasi officer Spek-HAM Solo, Sulistyaningsih, mengatakan selama ini para ODHA di Solo, terutama yang belum menjadi anggota BPJS Kesehatan  kesulitan mendapatkan pengobatan.

Menurut dia, biaya yang harus dikeluarkan bagi ODHA untuk melakukan tes viraload di Solo mencapai Rp135.000 yang digunakan untuk pendaftaran dan laboratorium. 

Jumlah ini dirasa memberatkan terutama mereka yang dari kalangan menengah ke bawah. Tes ini harus dilakukan setiap enam bulan sekali untuk mengetahui efektivitas dari kepatuhan terapi ARV. 

Permasalahan muncul ketika para ODHA yang belum menjadi anggota BPJS ingin mendaftarkan diri jadi peserta untuk bisa mengakses pengobatan tersebut secara gratis. 

Lantaran pada fasiltas kesehatan (faskes) pertama, mereka harus membuka riwayat kesehatan, padahal selama ini stigma masih dirasakan oleh sebagian para ODHA tersebut.

Selain itu, ODHA juga membutuhkan pemeriksaan lain antara lain tes enzim SGOT/SGPT (liver) dan pemeriksaan CD4 yang saat ini hanya bisa diakses dengan biaya besar karena tidak ada program khusus dari pemerintah.

Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Siti Wahyuningsih, menyebut 17 puskesmas di Solo telah melayani tes VCT, selain 8 RS pemerintah maupun swasta.



Ke-17 puskesmas tersebut adalah Puskesmas Manahan, Sangkrah, Setabelan, Kratonan, Pajang, Penumping, Purwosari, Jayengan, Gajahan, dan Purwodiningratan.

Kemudian, Puskesmas Ngoresan, Sibela, Pucangsawit, Nusukan, Gilingan, Banyuanyar, dan Gambirsari. Sedangkan ke-8 RS itu meliputi, RSUD dr. Moewardi, RSUD Ibu Fatmawati Soekarno (Ngipang), RS Dr. Oen, PMI, RSUP Surakarta, RS Kasih Ibu, RS PKU Muhammadiyah, dan RS Panti Waluya.

Saat dikonfirmasi mengenai diskresi puskesmas yang bersedia memberi rujukan untuk ADHA tanpa pendampingan orang tua, ia menyebut kebijakan itu dilakukan agar anak yang bersangkutan mau berobat.

“Kalau memang anaknya belum siap (menyampaikan statusnya), tentu ini menjadi hak anak tersebut. Kami bersedia memberi rujukan dengan dukungan dari pendamping. Karena pengobatan anak itu tetap harus dalam pantauan, jadi kalau tanpa pendamping, rujukan itu tentu tidak bisa kami berikan,” ucapnya, Sabtu (16/9/2023).

Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Solo, Tommy Pranoto, mengatakan jumlah pengidap baru HIV/AIDS selama semester I/2023 yang berasal dari Kota Solo sebanyak 69 orang.

Perinciannya, 47 pengidap HIV dan 22 pengidap AIDS. Sedangkan, pengidap baru HIV/AIDS yang berasal dari luar Solo sebanyak 157 orang. Perinciannya, 94 pengidap HIV dan 63 pengidap AIDS.

Menurut Tommy, sebagian pengidap baru HIV/AIDS merupakan usia produktif dengan beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga wiraswasta.

Berita ini merupakan bagian dari tulisan berseri tentang penjangkauan dan pendampingan masyarakat terhadap kelompok rentan. Simak tulisan menarik lainnya di sini.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya