SOLOPOS.COM - Foto Google Earth wilayah pantai selatan Paranggupito, Wonogiri. Tanah Batik Keris membentang di sepanjang wilayah pantai selatan Paranggupito, Wonogiri, seluas 350 ha berjarak 500 meter dari pantai. (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Warga Paranggupito, Wonogiri, menolak rencana penyitaan aset tanah seluas kurang lebih 350 hektare (ha) yang disebut milik terpidana korupsi PT Asabri, Benny Tjokrosaputro, oleh Kejaksaan Agung.

Mereka menilai tanah itu bukan aset Benny Tjokro ataupun perusahaan milik keluarganya, Batik Keris, karena tidak pernah ada kesepakatan jual-beli antara warga pemilik tanah dengan Batik Keris pada 1989.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Sebagai informasi, Kejaksaan Agung berencana menyita tanah yang disebut aset Batik Keris untuk menutup uang pengganti korupsi yang harus dibayarkan Benny Tjokro kepada negara.

Benny terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp22,788 triliun dari pengelolaan keuangan dan dana investasi  di PT Asabri pada 2012-2019 serta tindak tindak pidana pencucian uang (TPPU).  

Benny dijatuhi pidana membayar uang pengganti senilai Rp5,733 triliun dengan memperhitungkan barang bukti yang disita berupa 1.069 bidang tanah dan bangunan kepada negara. Penyitaan tanah di Paranggupito, Wonogiri, itu bagian dari uang pengganti yang harus dibayarkan Benny Tjokro kepada negara atas kasus korupsi tersebut.

Tanah  itu terbentang di tiga desa di Kecamatan Paranggupito, meliputi Desa Paranggupito, Desa Gunturharjo, dan Desa Gudangharjo. Namun, rencana penyitaan tanah itu mendapat penolakan dari warga pemilik tanah tersebut sebelumnya.

Penolakan itu disampaikan warga saat mendatangi Kantor Bupati Wonogiri di kawasan kota Wonogiri, Senin (11/9/2023). Ada sekitar 45 warga Paranggupito yang datang dengan berombongan naik tiga minibus.

Mereka ingin menemui Bupati Wonogiri Joko Sutopo, namun saat mereka tiba, Bupati sedang ada kegiatan di luar sehingga mereka kemudian ditemui oleh Sekda Wonogiri, Haryono.

Salah satu warga Desa/Kecamatan Paranggupito, Wonogiri, Mulyono, 71, saat ditemui Solopos.com seusai pertemuan menceritakan proses jual beli tanah pada 1989 itu. Ia mengatakan saat itu Batik Keris berencana mengembangkan pariwisata di Paranggupito yang merupakan daerah pantai selatan Wonogiri.

Harga Ditentukan Sepihak

Batik Keris kemudian melakukan pengadaan tanah dengan cara membeli tanah milik warga di tiga tersebut, termasuk tanah miliknya. Dia melanjutkan dalam pengadaan tanah itu, Batik Keris menentukan harga secara sepihak, hanya Rp100/meter persegi (m2).

Saat pembayaran tanah itu, Batik Keris sama sekali tidak melakukan pengukuran dan tidak memperhitungkan karang kitri (aneka tanaman yang bisa menghasilkan uang). Pembayaran tanah itu pun ada yang belum lunas.

tanah paranggupito wonogiri
Puluhan warga Paranggupito, Wonogiri, beraudiensi dengan Sedang Haryono dan jajarannya untuk menyampaikan penolakan terhadap rencana penyitaan tanah yang diklaim milik Batik Keris di Ruang Girimanik, Setda Wonogiri, Senin (11/9/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Bahkan beberapa warga yang tanahnya diakui telah dibeli oleh Batik Keris belum menerima pembayaran hingga saat ini. “Uang pembelian tanah itu [Rp100/meter persegi] memang kami terima. Tetapi sebenarnya kami sama sekali tidak sepakat dengan harganya pada saat itu,” kata Mulyono yang juga Ketua Paguyuban Petani Paranggupito itu.

“Tidak pernah ada kesepakatan harga. Kami dipaksa menjual tanah. Kami tidak mau, kami diintimidasi. Kami mendapat teror dan ancaman,” tandasnya.

Menurut Mulyono, ada tiga ancaman yang didapat warga Paranggupito, Wonogiri, jika tidak mau melepaskan tanah kepada Batik Keris kala itu. Pertama, warga tidak akan menerima ganti rugi dan akan tetap digusur. Kedua, dianggap melawan pemerintah, dan ketiga, dicap sebagai seorang komunis serta disangkutpautkan dengan peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965. 

Mulyono menyebut ancaman itu datang dari calo atau kepanjangan tangan Batik Keris, termasuk aparatur pemerintah desa dan kecamatan di mana pada saat itu Paranggupito masih masuk Kecamatan Giritontro. “Ancaman itu bikin kami takut, sehingga terpaksa menjual tanah dengan harga itu,” ucap dia.

Mulyono mengungkapkan sejak Batik Keris memaksa warga untuk menjual tanahnya sampai sekarang, perusahaan itu sama sekali tidak melakukan tindak lanjut. Batik Keris tidak pernah mendirikan bangunan atau patok sekali pun di tanah yang membentang di wilayah pantai selatan Wonogiri itu.

Warga di tiga desa itu pun sampai sekarang masih tetap menguasai dan mengolah lahan tersebut untuk aktivitas pertanian pangan. 

“Sejak 1991 sampai sekarang, kami tetap yang membayar pajak bumi atas tanah itu. Dokumen kepemilikan tanah, sertifikat hak milik, letter C pun masih kami simpan. Masih ada. Belum ada bukti jual-beli tanah antara warga dengan Batik Keris. Peralihan atas tanah itu belum ada,” jelas warga Desa Paranggupito itu.

Sumber Penghidupan Warga

Dia menjelaskan tanah seluas 350 hektare di Paranggupito, Wonogiri, yang terhampar dari perbatasan Gunungkidul, DIY, sampai perbatasan Pacitan, Jawa Timur, itu menjadi lahan pertanian warga yang merupakan sumber utama kehidupan warga. Warga menggantungkan hidup di tanah sengketa tersebut. Mereka menanam tanaman palawija sepanjang tahun. 

“Jadi kalau tiba-tiba Kejaksaan Agung mau menyita tanah itu untuk negara karena diklaim milik cucu [pendiri] Batik Keris, Benny Tjokro, jujur saja kami menolak. Itu menjadi sumber dari segala sumber kehidupan kami,” kata Mulyono.

Warga Desa Gunturharjo, Paranggupito, Sukiman, 51, juga menyatakan pada saat Batik Keris melakukan pengadaan tanah, banyak warga yang dipaksa untuk menjual kepada perusahaan itu. Tetapi dalam proses pembelian itu, warga sebenarnya tidak pernah berhadapan dengan pemilik Batik Keris.

Mereka hanya berhadapan dengan para calo dan perangkat-perangkat desa dan kecamatan. “Pada saat itu, tidak ada tawar-menawar harga tanah. Kalau ada warga yang tidak mau menjual tanahnya, warga itu didatangi satu per satu, siang-malam,” kata Sokiman.

“Tidak ada persetujuan jual-beli tanah dari para warga. Tidak ada tanda tangan, tidak ada peralihan hak atas tanah, tidak ada buktinya juga,” katanya. 

Sekretaris Daerah (Sekda) Wonogiri, Haryono, menyampaikan Pemkab Wonogiri tidak mengetahui secara detail proses pengadaan tanah oleh Batik Keris di Paranggupito pada 1989. Pada saat pengadaan, ada panitia pembebasan tanah.



Tetapi dia tidak tahu panitia itu terdiri atas siapa saja. Dia juga tidak tahu Batik Keris membeli tanah warga itu akan digunakan untuk apa. 

Menurut Haryono, warga menilai transaksi jual-beli tanah itu cacat prosedur. Selain itu, sejak pengadaan tanah pada 1989 itu, Batik Keris belum pernah menindaklanjuti dengan kegiatan apa pun.

“Sampai sekarang tanah itu masih digarap warga. PBB [pajak bumi dan bangunan] tanah itu juga yang membayar masih masyarakat,” kata Haryono.

Dia melanjutkan Pemkab Wonogiri sudah pernah beberapa kali berupaya bertemu dengan orang dari Batik Keris untuk mengetahui kejelasan status tanah itu. Tetapi hingga saat ini belum kunjung terealisasi karena tidak ada tanggapan dari Batik Keris.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya