SOLOPOS.COM - Anggota Paguyuban Tunggal Rabuk merawat tanaman di kebun percontohan di Kragilan, Mojosongo, Boyolali, Selasa (26/12/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Tujuh kecamatan di Boyolali tercatat belum ada aktivitas urban farming atau pertanian ala perkotaan. Padahal tujuh wilayah itu masuk kawasan yang kering atau sulit air sehingga urban farming bisa menjadi solusi untuk menghasilkan tanaman pangan.

Berdasarkan data Sensus Pertanian (ST) 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), tujuh kecamatan tersebut yaitu Selo, Tamansari, Karanggede, Klego, Juwangi, Kemusu, dan Wonosamodro. Jika dilihat, rata-rata ketujuh tempat tersebut masuk daerah yang rawan kekeringan tiap musim kemarau.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Data ST 2023 menyebutkan ada 69 rumah tangga usaha pertanian (RTUP) dan usaha pertanian perorangan (UTP) urban farming di Boyolali. Dari jumlah itu, terbanyak ada di Kecamatan Mojosongo dengan jumlah 15 RTUP dan UTP urban farming.

Kecamatan Simo berada di urutan kedua 11 RTUP dan UTP urban farming, disusul Kecamatan Nogosari dengan delapan UTP dan RTUP, dan Kecamatan Musuk, Cepogo, serta Boyolali masing-masing lima RTUP dan UTP.

UTP dan RTUP urban farming juga ada di Sawit dan Banyudono masing-masing empat unit, di Kecamatan Ampel ada tiga unit, Kecamatan Andong, Ngemplak, dan Teras masing-masing dua unit, dan terakhir Kecamatan Wonosegoro, Sambi, dan Gladagsari masing-masing satu unit.

Dalam buklet hasil pencacahan ST 2023 tahap I Badan Pusat Statistik (BPS) Boyolali tertanggal 4 Desember 2023, dijelaskan urban farming menjadi salah satu solusi mengurangi ketergantungan sumber pangan kawasan perkotaan ke kawasan perdesaan.

Selain itu juga membantu pengendalian inflasi, mengembangkan ekonomi lokal, efisiensi biaya transportasi, meningkatkan partisipasi masyarakat/komunitas, dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan.

Taman Kota

“Beberapa aktivitas yang tergolong urban farming seperti usaha budi daya tanaman sayuran di taman kota, atap bangunan, atau dalam ruang tertutup seperti rumah kaca. Kegiatan pada urban farming selain budi daya tanaman, dapat juga berupa usaha peternakan,” tulis dalam buklet hasil pencacahan ST 2023 tahap I BPS Boyolali dikutip Solopos.com, Minggu (7/1/2024).

Pengamat pertanian dari Universitas Boyolali (UBY), Sigit Muryanto, menyampaikan kemungkinan warga di tujuh kecamatan tersebut belum memahami arti penting dan manfaat urban farming.

“Kalau masalahnya keterbatasan air, misalkan ya, kan itu tidak harus yang pakai polybag, bisa dengan hidroponik kan, justru airnya cuma muter,” kata dia saat diwawancarai Solopos.com, beberapa waktu lalu.

Sigit menyoroto wilayah Selo yang menjadi komoditas penghasil sayur. Menurutnya, Selo seharusnya tidak ada alasan untuk tidak melakukan urban farming.

Ia mencontohkan ketika musim kemarau, lahan-lahan pertanian di Selo kering dan sengaja tidak ditanami karena kekurangan air. Sehingga, untuk mengatasi hal tersebut ia juga menyarankan pertanian hidroponik.

Hal tersebut juga bisa menjadi daya tarik agrowisata bagi Selo tersendiri jika bisa menghadirkan urban farming di dataran tinggi. “Selain itu, misal musim panas petani lain tidak bisa menanam sayur, petani hidroponik masih bisa menanam dan panen. Harganya bisa tinggi sekali itu karena saingannya sedikit,” kata dia.

Menurutnya, urban farming perlu disosialisasikan hingga ke tingkat rumah tangga demi ketahanan pangan. Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Boyolali, Joko Suhartono, mengapresiasi 69 rumah tangga usaha pertanian dan usaha tani perorangan urban farming di Boyolali.

Memanfaatkan Ruang Vertikal

Ia menjelaskan urban farming merupakan kegiatan pertumbuhan, pengolahan dan distribusi pangan serta produk lainnya melalui budi daya tanaman dan peternakan yang intensif di perkotaan dan daerah sekitarnya serta menggunakan kembali sumber daya alam dan limbah perkotaan untuk memperoleh keragaman hasil panen dan hewan ternak.

“Kondisi ini cukup bagus, karena minat masyarakat perkotaan di Boyolali berusaha di bidang pertanian cukup baik dengan memanfaatkan keterbatasan lahan yang ada,” kata dia, Rabu (27/12/2023).

Ia menjelaskan jumlah RTUP urban farming akan terus ditingkatkan melalui upaya memanfaatkan ruang vertikal sebagai tempat bercocok tanam, baik model gantung maupun rambat atau terpasang di dinding.

Kemudian bisa juga dengan penanaman dalam pot/polybag sebagai media tanam sehingga mudah dipindahkan pada lahan sempit, dalam ruangan atau di atap rumah, dan hidroponik dengan menggunakan air atau unsur hara.

Joko mengatakan urban farming semakin diminati masyarakat karena dengan lahan terbatas dapat mengembangkan usaha pertanian produktif. Biasanya komoditas yang diusahakan berupa tanaman sayuran dan dapat diintegrasikan dengan ikan dan ternak.

Joko menilai pemanfaatan pekarangan membuat keluarga perkotaan dapat memenuhi pangan sendiri dan berpotensi menghasilkan pendapatan. “Urban farming dapat menjadi upaya regenerasi petani karena sebagian besar pelaku usaha urban farming adalah petani milenial,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya