SOLOPOS.COM - Sejumlah warga dan anak-anak bermain di Monumen Bedol Desa di Desa Pokohkidul, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri, Senin (23/10/2023). Di belakang monumen tampak Waduk Gajah Mungkur yang surut akibat kemarau. (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Sore itu, Senin (23/10/2023), hujan baru saja membasahi bumi ketika dua anak laki-laki bermain layang-layang bersama ibu mereka di Monumen Bedol Desa tak jauh dari Waduk Gajah Mungkur atau WGM, Desa Pokoh Kidul, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri.

Mereka tampak riang meski cuaca mendung dan tanahnya basah. “Iya beberapa kali ke sini, tetapi tidak sering. Ini tadi kebetulan hujan, hawanya jadi lumayan adem, terus ke sini,” kata ibu tersebut, Desi, di sela-sela mengawasi kedua anaknya bermain layang-layang.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Tidak ada alasan khusus bagi Desi dan anak-anaknya datang ke Monumen Bedol Desa. Mereka hanya mencari tempat yang cukup lapang agar bisa leluasa bermain layang-layang berbahan bambu dan kertas itu.

Di sisi lain, di sana mereka bisa melihat pemandangan Waduk Gajah Mungkur (WGM) Wonogiri yang tepat berada di belakang Monumen Bedol Desa. Sore itu air waduk tampak surut akibat kemarau panjang.

Desi sebagai warga Kecamatan Ngadirojo, Wonogiri, mengaku tidak begitu memiliki kesan mendalam terhadap Monumen Bedol Desa. Tetapi dia tahu arti dan tujuan dibangunnnya monumen berupa patung keluarga lengkap terdiri atas ayah, ibu, satu anak laki-laki, dan satu perempuan itu.

Monumen itu merupakan penggambaran keluarga yang mengikuti bedol desa akibat pembangunan WGM pada 1976. Terlihat sosok patung ayah pada monumen itu menengok ke belakang atau ke arah waduk sembari melambaikan caping di tangan kanan seolah berpamitan kepada tanah kelahirannya.

Sementara sang ibu yang menggendong anak balita dan seorang anak lainnya menatap ke depan. Bercorak biru dan cokelat tersebut, monumen itu berkaitan erat dengan kisah di balik pembangunan WGM Wonogiri 47 tahun lalu.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Wonogiri, Eko Sunarsono, mengatakan Monumen Bedol Desa itu dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa pengorbanan ribuan keluarga yang bersedia digusur dan bedol desa atau transmigrasi ke luar Jawa demi pembangunan WGM. 

Ramdani Nur Sidiq dalam bukunya berjudul Wonogiri di Bawah Orde Baru: Pembangunan dan Pengorbanan Masyarakat Wonogiri 1974–1984 yang terbit kali pertama pada September 2023, mengungkapkan proses pembangunan WGM memang melalui tahapan panjang.

Salah satunya harus menggusur warga. Sebagian besar warga yang tergusur kemudian diminta mengikuti program transmigrasi yang diselenggarakan Pemerintah Orde Baru. 

Negosiasi Alot

Alumnus Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu menyebut ada 12.525 keluarga atau sekitar 68.750 jiwa di tujuh kecamatan dan 51 desa yang tergusur demi pembangunan WGM.

“Penduduk desa setempat menolak untuk direlokasi dan negosiasi yang dilakukan pemerintah dengan penduduk setempat sangat alot,” tulis Sidiq dalam buku yang merupakan hasil penelitian untuk skripsinya tersebut.

Hal itu lantaran para penduduk saat itu menilai ganti rugi yang diberikan tidak setimpal. Bupati Wonogiri kala itu, Harmoyo, melakukan pendekatan langsung kepada warga agar menerima ganti rugi dan bersedia ikut transmigrasi.

Pendekatan langsung itu bisa diartikan sebagai ancaman atau represivitas Pemerintah Orde Baru. Pertimbangan lain warga kala itu menolak digusur karena tidak ingin dipindah ke luar Jawa. Apalagi saat itu daerah tujuan transmigrasi, yaitu Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat, masih berupa daerah liar. 

Setelah melalui proses alot, akhirnya sebagian besar warga bersedia meninggalkan kampung halaman demi pembangunan bendungan serbaguna WGM Wonogiri. Menurut Sidiq, ada sekitar 10.350 keluarga yang setuju mengikuti program transmigrasi pemerintah.

Sedangkan 2.215 keluarga relokasi secara mandiri. Penduduk yang ikut transmigrasi diberangkatkan dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama dilakukan pada November 1976 sebanyak 100 keluarga atau 438 jiwa menuju Sitiung.

Perjalanan transmigrasi itu dilakukan dengan jalan darat dan laut. Mereka berkumpul di Kelurahan Giriwono menuju Stasiun Kereta Api Jebres Solo. Dari stasiun itu para transmigran Wonogiri itu diturunkan di Stasiun Tanjung Priok. 

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menggunakan kapal laut menuju Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatra Barat. Dari sana mereka menggunakan moda transportasi darat menuju Sitiung berjarak 217 km.

“Sampai Maret 1977, sebanyak 2.000 keluarga asal Wonogiri yang terkena dampak bedol desa berhasil ditempatkan di empat desa baru di wilayah Sitiung,” tulis Sidiq.

Pembangunan Monumen

Setelah pemberangkatan beberapa gelombang transmigrasi, Sitiung sudah tidak lagi mampu menampung jumlah penduduk yang transmigrasi dari Wonogiri. Atas kondisi itu, Menteri Transmigrasi pada saat itu, Subroto, mencari tempat lain sebagai tujuan transmigrasi.

Akhirnya diputuskan antara lain Kabupaten Baturaja di Sumatra Selatan, Kabupaten Jujuhan di Jambi, dan Kabupaten Kurotidur di Bengkulu. Sidiq menuliskan alasan daerah itu dipilih menjadi tujuan transmigrasi lantaran jumlah warga di daerah itu masih sedikit.

“Namun, pada 1980, ada 1.850 keluarga yang menolak dipindah. Mereka bahkan menyatakan diri siap tenggelam bersama. Hal itu karena warga menganggap pemerintah telah ingkar janji,” tulisnya.

Atas kondisi itu, pemerintah kembali melakukan pendekatan mengedepankan dialog dan pendekatan secara kekeluargaan. Cara itu cukup berhasil. Para warga pun akhirnya mau diberangkatkan ke daerah alternatif tujuan transmigrasi yang disiapkan pemerintah.

Selang beberapa tahun setelah pembangunan WGM, pemerintah kemudian membangun Monumen Bedol Desa di Desa Pokoh Kidul, Wonogiri, sebagai tanda penghormatan bagi para warga yang telah rela digusur.



Kini monumen itu menjadi semacam ruang publik, tempat warga menghabiskan waktu sore hari bercengkerama dengan teman atau sekadar nongkrong. Seperti Senin (23/10/2023) itu, menjelang Magrib monumen Bedol Desa kian ramai pengunjung.

Desi dan dua anaknya juga masih sibuk menerbangkan layang-layang. Sementara di belakang monumen, embusan angin dingin menggoyangkan air waduk hingga membuatnya tampak bergelombang kecil seperti di pantai.

  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya