SOLOPOS.COM - Buruh tani memanen padi di areal pesawahan Desa Singodutan, Selogiri, Wonogiri, Senin (7/8/2023). Hasil panen turun drastis bahkan ada yang terancam gagal panen karena kekurangan air. (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Hasil panen padi milik petani di Selogiri, Wonogiri, turun drastis pada masa tanam (MT) kedua 2023 ini. Bahkan sebagian lahan pertanian padi terancam gagal panen karena sulit mendapatkan air.

Hasil panen yang tidak optimal dan terancam gagal panen pada MT kedua ini disebut baru kali pertama terjadi di Selogiri. Salah atau petani di Singodutan, Dimun, 71, saat ditemui Solopos.com di sawahnya, Senin (7/8/2023), mengatakan hasil panen padi di sawahnya pada MT kedua ini anjlok.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Sebagian lahan lain miliknya yang belum dipanen juga terancam gagal panen. Penyebabnya air irigasi dari Waduk Tandon yang menjadi sumber pengairan untuk ratusan hektare lahan pertanian padi di Selogiri tidak lagi mengairi sawah-sawah sejak satu-dua bulan lalu. 

Petani itu mengaku menggarap lahan tanaman padi seluas 13 hektare di Desa Singodutan, Selogiri, Wonogiri. Lahan itu bukan miliknya sendiri, melainkan lahan sewa senilai Rp7 juta/hektare/tahun.

Selama tidak mendapatkan air dari saluran irigasi, Dimun terpaksa mengairi lahan sawahnya dari air sumur pompa. Itu dilakukan oleh petani di Selogiri, Wonogiri, itu hampir setiap malam selama beberapa pekan sebelum panen.

Untuk mengairi lahan seluas itu, dia menggunakan tiga mesin pompa diesel. Untuk menghidupkan satu mesin pompa selama sehari semalam, dia harus mengeluarkan uang senilai Rp200.000/hari.

Dengan tiga mesin pompa berarti ia harus mengeluarkan uang Rp600.000/hari hanya untuk mengairi sawahnya. “Kalau pakai pompa terus, enggak kuat uangnya. Kan butuh bensin,” ujar dia.

Baru Kali Pertama Panen MT II Hancur

Pada Senin pagi, Dimun memanen padi di lahan seluas sekitar 2.500 meter persegi. Lahan seluas itu hanya bisa menghasilkan gabah sebanyak sembilan karung beras atau enam kunintal.

Padahal pada keadaan normal, dengan luas lahan yang sama biasanya bisa menghasilkan gabah sebanyak 22 karung atau sekitar 1,5 ton. Hasil panen petani di Selogiri, Wonogiri, pada MT kedua ini turun 60% dibanding biasanya. 

“Seumur-umur saya di sawah [menjadi petani] dari muda sampai sekarang, baru kali ini MT kedua panennya hancur, bahkan bisa disebut gagal panen. Saestu niki. Petani sakit,” kata Dimun. 

Dia menerangkan hasil panen yang tidak optimal itu membuat dia merugi. Idealnya dengan lahan seluas itu dia bisa mengantongi uang senilai sekitar Rp8,5 juta dengan harga gabah saat ini senilai Rp5.700/kg.

Dengan biaya produksi padi sekitar Rp5 juta, Dimun masih untung Rp3,5 juta. Tetapi dengan kondisi seperti ini, bisa balik modal saja dia sudah bersyukur.

“Itu belum dihitung uang yang buat beli bensin mesin pompa lo ya.  Enggak tahu itu [gabah] nanti laku berapa dengan kondisi gabah seperti begitu,” ujar dia.

Pengairan Pakai Pompa Air

Petani lain yang juga Kepala Desa Singodutan, Karsanto, menyampaikan lahan pertanian padi di desanya yang memanfaatkan air dari Waduk Tandon ada seluas 90 hektare.

Kini sebagian lahan padi yang digarap petani di Singodutan, Selogiri, Wonogiri, itu sudah dipanen. Hasilnya panennya sama sekali tidak optimal. Sebagian lahan padi lainnya terancam gagal panen karena kekurangan air. 

“Termasuk lahan sawah satu hektare punya saya. Itu juga terancam gagal panen. Sekarang ini saya pakai air yang dipompa dari sumur. Air dari Waduk Tandon sudah habis, enggak bisa mengairi lagi,” kata Karsanto saat dihubungi Solopos.com, Senin (7/8/2023).

Karsanto menjelaskan keadaan sawah yang kekurangan air itu sudah berlangsung sekitar satu bulan terakhir. Menurut dia, debit air di Waduk Tandon itu tidak lagi mampu mengaliri air ke sawah-sawah di Desa Singodutan, Jendi, dan Kaliancar di Kecamatan Selogiri. 

“Padi yang saya tanam belum panen, masih sekitar 20 hari lagi. Semoga saja bisa panen, setidaknya bisa balik modal. Tapi ini terancam gagal panen,” ucap dia.

Menurut Karsanto, dengan luas lahan padi seluas satu hektare dan dengan harga gabah saat ini sekitar Rp5.600/kg-Rp5.700/kg bisa menghasilkan uang sekitar Rp30 juta. Biaya produksi menanam padi untuk lahan seluas itu sekitar Rp10 juta. 

“Sebenarnya kalau panennya normal, lumayan bisa untung. Tapi dengan kondisi kayak gini, susah. Ini baru pertama kali terjadi, MT kedua gagal panen. Padahal tahun lalu, petani di Singodutan bisa menanam padi sampai MT ketiga,” jelas Karsanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya