SOLOPOS.COM - Kepala BPS Boyolali, Sutirin, memaparkan hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 dalam sosialiasi hasil pencacahan I di Front One Budget Hotel Airport Ngemplak Boyolali, Selasa (12/12/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Jumlah petani milenial dengan indikator lahir usia 1981-1996 di Boyolali pada 2023 ini baru mencapai 17,29% dari total jumlah petani di Kota Susu.

Data tersebut sesuai hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 yang dipaparkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Boyolali, Sutirin, kepada stakeholders terkait di Hotel Front One Budget Bandara Ngemplak, Boyolali, Selasa (12/12/2023).

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Perempuan yang akrab disapa Ririn itu mengatakan total petani milenial dengan indikator lahir usia 1981-1996 di Boyolali sebesar 17,29%. Petani post generasi Z yang lahir 2013 sampai dengan sekarang 0%.

Kemudian petani Boyolali dari generasi Z yang lahir pada 1997-2012 ada 0,82%, petani generasi X atau lahir pada 1965-1980 sebesar 40,71%, generasi baby boomer kelahiran 1946-1964 ada 37,15%, dan pre-boomer 4,02%.

“Dengan sensus ini, BPS memberikan early warning atau peringatan dini dengan data. Yang kami paparkan sebenarnya ini adalah insight untuk Pemkab [Pemerintah Kabupaten] apa yang harus dilakukan,” kata dia.

Tantangan untuk ketahanan pangan di masa mendatang tak hanya dari kalangan petani milenial yang masih jauh dari angka ideal. Hasil ST 2023 menunjukkan jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) gurem di Boyolali juga semakin sedikit dalam 10 tahun terakhir.

Jumlah RUTP gurem pada 2023 tercatat ada 129.541 RTUP gurem, berkurang 11.972 rumah tangga atau 8,46% dibandingkan data 2013 yang sebanyak 141.514 RUTP gurem.

Sebagai informasi, RTUP gurem adalah rumah tangga petani yang menggunakan atau menguasai lahan pertanian dan tempat tinggal kurang dari 0,5 hektare. Pada 2023, dari 289.357 petani pengguna lahan di Boyolali, 133.714 di antaranya adalah petani gurem.

Penyebab Berkurangnya Petani Gurem

Mengenai turunnya jumlah rumah tangga usaha pertanian gurem, perempuan yang akrab disapa Ririn tersebut menyampaikan penyebabnya karena ketersediaan lahan yang menyempit dan berkurang.

“Berkurang di sini banyak ya faktornya, bisa karena perkembangan industri. Di Boyolali banyak bermunculan industri baru dan tidak menutup kemungkinan lahannya itu di tempat yang lahannya berpotensi pertanian,” kata dia kepada Solopos.com, Selasa.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan pembangunan perumahan-perumahan di Boyolali juga menggunakan lahan pertanian. Bahkan, pembangunan tol juga menggerus lahan pertanian.

Ririn menyampaikan faktor-faktor terkait penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian atau petani gurem di Boyolali perlu diperdalam kembali. Berdasarkan data hasil ST 2023, jumlah RTUP terbanyak Boyolali ada di Kecamatan Cepogo dengan 10.986 rumah tangga.

Sedangkan wilayah dengan RTUP paling sedikit yakni Kecamatan Sawit sebanyak 1.931 keluarga. Ririn mengatakan jumlah RTUP di Boyolali secara umum berkurang 8,22% dibandingkan 2013.

Pada 2013, jumlah RTUP ada 170.530-an, sedangkan 2023 berkurang jadi 156.505 rumah tangga. Ada tujuh subsektor RTUP yang dilihat dalam ST 2023 dan hampir semua subsektor itu menurun dibandingkan ST 2013.

Perusahaan Pertanian Berbadan Hukum

Jumlah petani Boyolali di subsektor tanaman pangan menurun dari 139.580 RTUP menjadi 99.353 RTUP. Subsektor hortikultura berkurang dari 120.500-an RTUP menjadi 89.399 RTUP. Lalu perkebunan turun dari 71.530-an RTUP menjadi 35.333 RTUP. Rumah tangga peternakan juga turun dari 133.800-an RTUP menjadi 110.392 RTUP.

“Satu-satunya yang naik hanya subsektor perikanan,” tutur Ririn. Dari data ST 2023, rumah tangga usaha pertanian subsektor perikanan naik dari 2.670-an RTUP pada 2013 menjadi 2.878 RTUP pada 2023.

Lalu, subsektor kehutanan turun dari 106.950-an RTUP menjadi 55.125 RTUP. Subsektor terakhir jasa pertanian juga turun dari 3.850-an RTUP menjadi 2.599 RTUP selama 10 tahun terakhir.

Tak hanya jumlah petani, unit usaha pertanian di Boyolali juga turun selama 10 tahun terakhir ini menurut hasil ST 2023. Penurunannya cukup drastis yaitu sekitar 20,75%.  Pada 2013, jumlah unit usaha pertanian tercatat sebanyak 201.787 unit sedangkan pada 2023 sebanyak 159.911 unit.

Lalu, jumlah usaha pertanian perorangan (UTP) turun 20,77% dari 201.765 unit menjadi 159.861 unit. UTP terbanyak di Kecamatan Cepogo dengan 12.069 unit atau 7,55% dan paling sedikit di Kecamatan Sawit sebanyak 2.733 unit.

Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum (UPB) stagnan sebanyak delapan unit selama satu dekade ini. Kemudian jumlah usaha pertanian lainnya naik dari 200% dari 14 unit pada 2013 menjadi 42 unit pada 2023.

“Kenaikan pada usaha pertanian lainnya itu misalnya di pondok pesantren sekarang sudah ada pemberdayaan pertanian untuk santri-santrinya,” kata dia.

Ririn menyebut penurunan jumlah UTP dan RTUP dipicu beberapa penyebab seperti generasi muda yang tidak tertarik dengan pekerjaan di sektor pertanian dan lahan semakin sempit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya