SOLOPOS.COM - Peserta ruwatan membasuh wajah sebagai tanda penyucian diri saat mengikuti ritual ruwatan di halaman Museum Wayang Indonesia, Wuryantoro, Wonogiri, Selasa (5/12/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Ritual ruwatan untuk menyucikan jiwa dan menghindari kemalangan dengan menggelar pertunjukan wayang kulit masih dijalankan sejumlah warga di Wonogiri.

Hal itu tampak dari penyelenggaraan ruwatan di kompleks Museum Wayang Indonesia Wonogiri, Selasa (5/12/2023). Acara itu digelar Dinas Pendidikan dan Kebudayan (Disdikbud) Wonogiri dan diikuti 11 orang.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Wonogiri, Eko Sunarsono, mengatakan tradisi ruwatan masih melekat dalam kepercayaan masyarakat Wonogiri. Banyak dari mereka percaya setiap manusia perlu disucikan setidaknya sekali dalam hidupnya.

Dengan ruwatan diharapkan bisa terhindar dari bala. Sebaliknya, bisa mendapatkan keberkahan dari Tuhan sehingga mereka bisa hidup tenang. “Istilahnya Jawanya itu agar terhindar dari sengkala [kesialan] dan mendapatkan kabegjan [keberuntungan],” kata Eko saat berbincang dengan Solopos.com di Museum Wayang Indonesia Wonogiri, Wuryantoro, Selasa (5/12/2023).

“Ini soal rasa, soal kepercayaan. Jadi setelah diruwat, orang percaya bisa lebih semangat bekerja, sehat, dan lancar rezeki. Bisa saja itu memang sugesti, tetapi ya tidak apa kalau itu berdampak baik terhadap mereka,” tambah Eko.

Eko menyampaikan di Museum Wayang Wonogiri hari itu ada 11 orang yang mengikuti ritual ruwatan. Mereka terdiri atas remaja hingga dewasa, perempuan dan laki-laki, dari sejumlah kecamatan seperti Wonogiri, Pracimantoro, dan Nguntoronadi.

Dia menjelaskan wayang kulit menjadi sarana ruwatan karena produk budaya itu dianggap sakral dan merupakan penggambaran kehidupan manusia. Lakon yang dimainkan dalam pertunjukan wayang kulit ruwatan pun tidak sembarangan.

Ada beberapa lakon khusus yang dimainkan untuk keperluan meruwat salah satunya lakon Murwakala yang menceritakan kelahiran Batara Kala anak dari Batara Guru.

Pantauan Solopos,com, kesebelas peserta ruwatan di Museum Wayang Wonogiri itu duduk tenang sembari menyaksikan pertunjukan wayang dari belakang panggung. Mereka menonton bayang-bayang wayang yang dimainkan dalang Ki Suyati.

Mereka mengenakan pakaian biasa dibalut kain putih yang diselempangkan di tubuh. Menjelang lakon wayang bekahir, sebagian rambut mereka dipotong untuk dicelupkan ke air kembang.

Pakaian Putih dan Potong Rambut

Sang dalang kemudian membacakan mantra untuk air kembang itu. Begitu lakon wayang selesai dimainkan, masing-masing peserta membasuh wajah menggunakan air kembang tersebut.

Menurut Eko, pakaian putih dan pemotongan rambut menjadi simbol dari penyucian diri manusia sekaligus membuang kesialan. Sedianya sebelum dilakukan ruwat, para peserta melakukan sejumlah laku seperti menahan diri untuk tidak tidur semalam atau puasa.

Selain itu tubuh dalam keadaan benar-benar suci dan bersih dari hadas besar. Menurut Eko, masyarakat Wonogiri masih banyak yang menjalankan ruwatan karena kehidupan mereka masih sangat dekat dengan alam.

Kesadaran mereka terhadap kelemahan diri masih terjaga. “Jadi karena orang Wonogiri itu masih dekat dengan alam jadi masih ada sisi spiritualitas yang tidak bisa banyak dijelaskan. Ini urusan rasa. Beda mungkin kalau di kota karena mereka sudah terlalu disibukkan dengan kegiatan sehingga tidak terlalu memiliki kesadaran soal kealaman, jagad gedhe,” jelas dia.

Dia menambahkan kegiatan ruwatan di Museum Wayang Wonogiri itu sedianya dilaksanakan pada bulan Sura. Namun, karena berbagai hal baru bisa digelar pada Jumadilawal atau Desember 2023 ini. Kegiatan ruwatan ini baru kali pertama digelar di Museum Wayang Indonesia.

“Dulu sudah pernah setiap tahun rutin di objek wisata Waduk Gajah Mungkur Wonogiri. Tetapi beberapa tahun belakangan ini tidak ada. Ini kami gelar kembali di sini sekaligus untuk ngurip-uripi museum,” katanya.

Salah satu orang peserta, Heru, mengaku mengantarkan anak semata wayangnya untuk ruwatan dengan tujuan memiliki kemuliaan pada masa depan. Selain itu, anaknya memang berkeinginan untuk diruwat. Dia menilai ruwatan cukup penting sebagai identitas orang Jawa.

Peserta lainnya, Satria, 27, mengatakan baru kali pertama itu mengikuti ritual ruwatan. Dia berharap setelah diruwat, hidupnya menjadi lebih baik dan berdampak baik pula kepada orang lain. “Ya sekaligus nguri-uri budaya Jawa,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya