SOLOPOS.COM - Ketua Ikatan Kerukunan Keluarga Glagahombo (IKKG), Sudadi di monumen satai IKKG di Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Boyolali, Kamis (18/4/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com Stories

Solopos.com, BOYOLALI — Meski sukses di perantauan, para bakul satai kambing asal Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Boyolali, tak lupa untuk membangun kampung halaman mereka.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Dari informasi yang diperoleh Solopos.com, saat ini ada lebih dari 1.000 warga Glagahombo dan sekitarnya yang merantau dengan menjadi penjual satai di wilayah di Jabodetabek. Mereka memiliki paguyuban bernama Ikatan Kerukunan Keluarga Glagahombo (IKKG).

Ketua IKKG se-Jabodetabek yang juga penjual satai di Jakarta, Sudadi, menjelaskan para perintis IKKG memiliki misi untuk membangun kampung halaman walau hidup di perantauan. Dadi mengakui Glagahombo dulu sangat terbelakang dengan akses jalan tanah liat yang buruk karena becek saat hujan.

Sepeda motor saja sulit masuk ke Glagahombo. Listrik juga belum masuk kampung. Akhirnya dengan segala upaya dari IKKG, secara bertahap, anggota IKKG iuran membantu perbaikan jalan berupa aspal, tempat ibadah, sarana pendidikan, mendorong listrik masuk, dan sebagainya.

“Kampung halaman harus menjadi prioritas selain tetap menjaga silaturahmi sesama anggota IKKG di Jakarta,” kata Sudadi saat ditemui Solopos.com di Glagahombo, Kamis (18/4/2024).

IKKG juga membangun tugu satai pada 2010 sebagai ikon untuk mengukuhkan Glagahombo sebagai kampung para penjual satai khas Solo di perantauan. Lalu, pada 2015, IKKG membangun gapura masuk kampung Glagahombo. Tak berhenti di situ, pada 2020, IKKG membangun Griya Sate IKKG di dekat monumen satai.

Griya Sate IKKG dibangun dengan harapan tempat tersebut dapat menjadi salah satu daya tarik wisata. Selain itu, Griya Sate IKKG menjadi tempat usaha agar masyarakat di sekitar kampung bisa menikmati satai khas bikinan warga Glagahombo.

Dadi menjelaskan karena warga merantau, kondisi Dukuh Glagahombo relatif kosong. Mayoritas pemuda merantau ke Jakarta dan hanya orang-orang tua yang tinggal di kampung pada hari-hari biasa. Keramaian hanya terjadi saat masa mudik Lebaran atau ada hajatan di kampung.

“IKKG setiap Lebaran mengadakan halalbihalal, setiap lima tahun sekali digelar di kampung halaman. Baru saja Lebaran 2023 kemarin digelar di kampung halaman,” kata dia.

Usaha Menjanjikan

Mengenai kisahnya sebagai perantau yang berjualan satai, Dadi mengatakan hampir sama dengan warga Glagahombo lain yang juga merantau. Dadi yang merupakan anak laki satu-satunya dari tujuh bersaudara di keluarga sederhana ingin merantau demi memperbaiki nasib dan ekonomi.

Ia menceritakan pada 1984 merantau ke Jakarta dan melamar magang di warung milik warga Glagahombo bernama Karmin di Kalibata, Jakarta. Dadi pun diterima untuk bekerja di warung tersebut.

Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan belajar mempelajari resep satai, tongseng, dan gulai yang diajarkan Karmin. “Waktu itu Pak Haji Karmin cukup sukses. Banyak saudara dan anak keluarga yang pindah ke sana dan bisa mendapatkan penghasilan yang memadai,” jelas dia.

Selama belajar, ia melihat usaha berjualan satai kambing di Jakarta sangat menjanjikan. Ia pun berkeinginan bisa membuka warung sendiri. Sudadi akhirnya menyewa lapak ukuran 3 meter x 7 meter pertamanya pada 1987 di Kramat Jati.

warga boyolali di perantauan
Ketua Ikatan Kerukunan Keluarga Glagahombo, Sudadi (tengah), di Griya Sate IKKG, Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Boyolali, Kamis (18/4/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Berkat usaha dan kerja kerasnya, ia lalu menyewa outlet di Cibubur, lalu di Ciputat. Kini, setelah 37 tahun berjualan satai, Dadi bisa menyekolahkan dan menguliahkan anak-anaknya.

“Kebetulan pada 1987 saya buka satai, kakak saya sendiri yang sebenarnya lebih dulu di Jakarta buka outlet satai. Adik-adik saya juga ikut buka satai,” kata anak kedua dari tujuh bersaudara tersebut.

Secara otomatis, jelas Dadi, ketika dalam satu keluarga mulai membuka usaha maka anggota yang lain bakal bergabung dan mencoba mandiri.

Kadus Glagahombo, Dibyanto, menyampaikan ketika semua perantau kembali ke tanah rantau, hanya sekitar 600 orang yang tersisa di Dukuh Glagahombo. Lebih dari 1.500-an orang merantau mengadu nasib di Ibu Kota dengan mayoritas menjadi pedagang satai.

Hanya tersisa beberapa warga yang tidak merantau atau telah pulang dari merantau dan para orang lanjut usia (lansia). “Sehingga saat hari biasa itu sepi sekali, karena banyak pemuda dan orang tua tapi belum lansia itu merantau di Jakarta,” kata dia.

Dibyanto juga mengaku sempat merantau ke Jakarta dan berjualan satai. Ia lalu kembali lagi ke desa pada 2014 untuk jaga kampung. Kemudian, sekitar 2016 ia mendapatkan amanah menjadi Kepala Dusun (Kadus).

Kampung Sepi pada Hari Biasa

Walaupun balik kampung, Dibyanto memiliki satu outlet satai dan mempekerjakan pegawai di Bogor. Ia masih sering bolak-balik Glagahombo-Bogor. Ia mengungkapkan beberapa warga yang kembali ke kampung juga tetap memiliki usaha berjualan satai di tanah rantau.

“Tidak bisa dimungkiri, usaha warga kami yang diandalkan itu [berjualan satai]. Jadi bagaimanapun usaha tidak bisa langsung kami lepas,” kata dia.

Dibyanto menjelaskan mayoritas warga merantau sehingga di Dukuh Glagahombo pada hari biasa sangat sepi. Hanya ramai saat Lebaran dan momen ruwahan ketika perantau balik kampung untuk mengunjungi orang tua dan saudara.

Ia berharap dengan banyaknya perantau dari Glagahombo tetap membuat mereka peduli dengan kampung halaman. “Walau sukses di perantauan, harapan saya mereka tetap peduli dan ingat kampung halaman. Jangan ditinggalkan kampung halaman ini. Walau punya rumah di Jakarta, di kampung halaman juga tetap memiliki rumah. Kalau di kampung tetap ada rumah, mereka paling tidak setahun sekali bakal pulang,” kata dia.



Sebagai informasi, Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Klego, Boyolali, sejak lama dikenal sebagai kampung satai. Hal itu lantaran banyaknya warga setempat yang merantau dan menjadi pedagang satai di perantauan.

Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun, tepatnya sejak sebelum 1960-an ketika beberapa warga Glagahombo menjadi pedagang satai keliling pikulan di Solo. Seiring waktu banyak pelanggan yang mendorong agar mereka untuk usaha berjualan satai di Jakarta.

Akhirnya, beberapa warga atas nama Jumiran, Karto, Saberi, dan Kamyono berangkat merantau ke Jakarta sekitar 1960-an. Mereka juga berjualan satai pikulan seperti saat di Solo sementara beberapa lainnya mencari pangkalan.

Pada 1970-an, gelombang kedua perantau dari Glagahombo datang karena terdapat pelanggan dari Solo yang mengajak ke Jakarta untuk berjualan satai. Mereka merintis kios di wilayah Kalibata dan Cipete, Jakarta Selatan, dan ramai.

Kemudian, pada 1990-an, beberapa saudara dan warga Glagahombo semakin banyak yang meratau ke Jakarta. Mereka awalnya magang beberapa tahun di tempat saudara dan mempelajari resep satai, tongseng, dan gulai kambing.

Setelah merasa mampu dan memiliki modal mulai membuka warung sendiri. Saat ini, kata Sudadi, ada ribuan warung satai milik warga Glagahombo di Jabodetabek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya