Soloraya
Selasa, 21 Mei 2024 - 21:31 WIB

Kekerasan Seksual Berujung Korban Meninggal di Wonogiri, Butuh Perhatian Lebih

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kampanye antikekerasan seksual. (rdk.fidkom.uinjkt.ac.id)

Solopos.com, WONOGIRI — Upaya perlindungan anak dari kekerasan seksual di Wonogiri membutuhkan perhatian lebih dari semua pihak menyusul kasus pelajar SMP di salah satu kecamatan yang ditemukan meninggal dunia dalam kondisi hamil delapan bulan.

Siswi SMP berusia 15 tahun itu nekat mengakhiri hidupnya di kamar pada Kamis (16/5/2024) pagi. Anak itu diduga depresi karena hamil. Tragisnya, pelajar SMP itu dikenal berprestasi di sekolah.

Advertisement

Dari informasi yang diperoleh Solopos.com, selain kerap mendapatkan peringkat pertama di kelas, pelajar SMP itu juga beberapa mewakili sekolah dalam lomba akademik. Pemerintah desa setempat bahkan memberikan penghargaan sebagai apresiasi atas prestasinya di sekolah.

Kepala Seksi Humas Polres Wonogiri, AKP Anom Prabowo, membenarkan siswi SMP itu ditemukan meninggal dunia dalam kondisi hamil. Anom menduga pelajar itu nekat mengakhiri hidup karena depresi akibat mengalami kekerasan seksual hingga menyebabkan hamil.

“Saat ini kami masih menyelidiki siapa pelaku yang menghamili. Kalau dari pemeriksaan chat di handphone korban, belum ditemukan pelakunya. Isi chat sudah banyak yang dihapus,” kata Anom saat dihubungi Solopos.com, Selasa (21/5/2024).

Advertisement

Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKB P3A) Wonogiri, Indah Kuswati, mengatakan kekerasan seksual pada anak menjadi problem sosial berat di Wonogiri saat ini dan perlu mendapatkan perhatian lebih dari semua pihak.

Perhatian itu tak hanya dari pemerintah melainkan juga lingkungan sosial, mulai dari orang tua, teman, hingga tetangga rumah. Menurut Indah, selama ini ternyata tidak ada yang tahu bahwa siswi SMP di salah satu kecamatan yang meninggal itu sedang hamil.

Pengawasan Orang Tua dan Kepekaan Sosial

Indah mengatakan hal ini mengindikasikan tidak ada kedekatan orang tua dengan anak. Kepekaan sosial di lingkungan sekitar korban juga rendah. Hal ini menjadi problem sosial saat ini.

Informasi yang diperoleh Indah, meski merantau, orang tua siswi itu sebenarnya cukup sering menengok anaknya di rumah. Hanya, komunikasi antara mereka kurang lancar. Dengan kata lain, antara anak dan orang tua tidak terlalu dekat secara emosi.

Advertisement

Persoalan ini, kata Indah, sebenarnya kerap terjadi pada korban-korban kekerasan seksual di Wonogiri. Data Dinas PPKB P3A, pada 2021 terdapat 25 kasus kekerasan seksual anak. Pada 2022 kasus kekerasan seksual anak menurun menjadi 18 kasus. Kemudian pada 2023 tercatat ada 25 kasus kekerasan seksual.

Sementara itu, dalam kurun waktu Januari hingga awal Mei 2024, tercatat ada delapan kasus kekerasan terhadap anak dengan 11 korban. Tujuh di antaranya kekerasan seksual yang dialami delapan perempuan. Sedang tiga lainnya kekerasan fisik di sekolah.

Indah mengungkapkan mayoritas korban kekerasan seksual anak di Wonogiri itu ditinggal merantau orang tua kandung. Mereka hidup di Wonogiri dengan saudara atau simbah.

Mereka kurang perhatian dan pengawasan dari orang tua, sehingga merasa bebas kemudian mencari perhatian di luar rumah. Dalam kondisi seperti itu, orang tua tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab mereka terpaksa merantau demi bekerja menghidupi keluarga.

Advertisement

“Hampir semua korban kekerasan seksual yang kami tangani itu memang anak yang ditinggal merantau orang tuanya. Jadi tidak ada bonding [ikatan] antara anak dan orang tua. Orang tua tidak bisa mengawasi perilaku anak,” kata Indah saat ditemui Solopos.com di kantornya, Selasa.

Meski begitu, lanjut dia, semestinya orang tua tetap harus berupaya menjalin komunikasi rutin dengan anak mereka. Mereka bisa memanfaatkan handphone untuk saling mengabari. Setidaknya orang tua bertanya kabar anak sehari dua kali. Dengan begitu, anak merasa diawasi sekaligus diperhatikan.

Dia melanjutkan saat ini tugas orang tua dalam mendidik anak semakin berat dengan perkembangan teknologi. Tidak jarang Indah mendapatkan laporan kekerasan seksual anak dimulai dari percakapan di media sosial.

Pendidikan Seksual Anak

Anak-anak itu melakukan percakapan seksual bahkan sampai mengirimkan gambar atau video seksual diri sendiri yang berujung pada tindakan kekerasan. “Kalau tidak ada kedekatan antara orang tua dan anak, sulit sekali mengawasi penggunaan handphone yang sampai seperti itu,” ucapnya.

Advertisement

Indah menambahkan sudah bekerja sama dengan kecamatan dan desa terkait sosialisasi pendidikan seksual anak. Dinas sudah menggandeng Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk menjadi wadah dalam sosialisasi ketahanan keluarga. “Posyandu remaja juga sudah ada di setiap desa, itu sudah berjalan,” ucapnya.

Sementara itu, psikolog Wuri Rahmawati mengatakan anak korban kekerasan baik psikis, fisik, maupun seksual pada umumnya mengalami depresi. Hal itu lantaran mereka merasa diperlakukan berbeda dibandingkan anak yang lain.

Korban merasa harga dirinya lebih buruk dibandingkan sebelumnya. Ada perasaan traumatik yang menimpa korban. Di sisi lain, korban juga merasa telah mempermalukan keluarga.

Kondisi itu memicu korban menarik diri dari lingkungan dan sosialnya. Dengan begitu mereka terhambat dalam mengaktualisasi diri. Hal itu akan lebih parah terjadi ketika korban dan keluarganya tidak memiliki kuasa dan pemahaman soal tindak kekerasan anak.

Misalnya mereka tidak tahu harus melakukan apa atas kasus tersebut. Tidak tahu harus melaporkan kepada siapa. Mereka justru takut melangkah.

“Dalam posisi ini, selain pendampingan dari ahli, keluarga memiliki peran penting untuk memulihkan kondisi anak. Alih-alih menjustifikasi, keluarga harus memahami korban dan berpihak pada korban. Konseling harus diberikan kepada anak dan keluarganya,” kata Wuri.

Advertisement

Ketua DPRD Wonogiri, Sriyono, menyatakan kasus kekerasan seksual berujung korban mengakhiri hidup itu sangat memprihatinkan. Dia menilai salah satu akar masalah pada kasus itu adalah keterbatasan lapangan pekerjaan di Wonogiri.

Kondisi itu memaksa para orang tua pergi merantau dan meninggalkan anak-anak mereka. Akibatnya anak tidak dekat dengan keluarga.

“Ini tantangan utama kami. Mestinya memang kami harus mulai menangani persoalan ini dari akar masalahnya. Kami mencari formulasi, bagaimana mencari lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat sehingga orang tidak perlu berpisah dengan keluarga untuk bekerja. Saya pikir investasi dan penciptaan lapangan kerja itu menjadi hal utama di Wonogiri,” ujar dia.

 

Disclaimer: Bunuh diri bukanlah solusi untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan. Jika Anda atau orang di sekitar Anda mengalami tekanan dan muncul pikiran untuk bunuh diri, segeralah hubungi hotline bunuh diri Indonesia melalui nomor 1119 (ekstensi 8) atau hotline kesehatan jiwa Kemenkes di nomor 021-500-454.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif