SOLOPOS.COM - Para peziarah berdoa di pusara Sultan Hadiwijaya di dalam kompleks Makam Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Sragen, Jumat (27/10/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Nama Jaka Tingkir begitu lekat dengan Kabupaten Sragen. Pasalnya, Raja Pajang yang memiliki nama Sultan Hadiwijaya itu dimakamkan di Sragen, tepatnya di Makam Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh.

Makam ini kerap diziarahi oleh pengunjung dari berbagai kalangan dan daerah. Lokasinya berjarak 16 km dari kota Kabupaten Sragen.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Meski terkenal dan sering diziarahi, tidak ada keterangan yang jelas tanggal lahir dan wafat Jaka Tingkir. Dalam silsilah yang tertulis di Makam Butuh, tercatat Sultan Pajang itu hidup pada 1546-1587 atau hanya 41 tahun. Tetapi tidak menyebut waktu lahir dan wafatnya.

Di silsilah itu juga menyebut nama orang tua Jaka Tingkir adalah Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga, tetapi tidak ada angka tahun dalam silsilah itu.

Juru kunci Makam Butuh, Muhammad Husen Aziz Aribowo, saat ditemui Solopos.com di depan Makam Jaka Tingkir, Jumat, mengungkapkan selama ini belum ada kegiatan haul Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir karena memang tidak diketahui hari wafatnya. Begitu pula hari wafatnya.

“Saya ditanya haul ya selama ini belum ada. Kalau ada pondok yang pengajian di Masjid Butuh dan tahlilan itu bukan untuk haul, tetapi pengajian rutin tahunan dengan biaya mandiri. Saya pernah tanya ke pihak keraton, mereka juga tidak ada data yang menyebut hari lahir dan hari wafatnya Sultan Hadiwijaya,” jelas Aziz.

Setahu dia, haul yang pernah digelar adalah haul Sultan Agung yang merupakan cucu Jaka Tingkir, tetapi lokasinya di Solo. Aziz mengatakan Sultan Hadiwijaya yang juga memiliki nama lain Mas Karebet ini memiliki banyak keturunan. Sebagian dari mereka ada yang pernah berziarah ke Makam Butuh. Tetapi mereka tidak pernah menyebutkan  hari lahir dan wafatnya simbah mereka, Jaka Tingkir.

“Di nisannya juga tidak ada tulisan angkanya. Kalau tradisi sejak simbah-simbah dulu, kalau ziarah itu mengambil dua hari weton, yakni Jumat Legi dan Selasa Kliwon. Istilahnya itu adatnya. Apakah itu weton Sultan, saya tidak tahu. Di silsilah juga hanya menyebut tahun, tidak ada tanggal dan bulan” jelasnya.

Koordinator Ekspedisi Sukowati Sragen, Lilik Mardiyanto, pernah mendapat cerita dari pendahulunya tentang Ki Kebo Kenanga alias Ki Ageng Butuh. Berdasarkan informasi yang ia dengar, Ki Kebo Kenanga melakukan perjalanan dari Pengging menyeberang Bengawan Solo naik gethek. “Saat di gethek, Ki Kebo Kenanga tidak kuat kemudian meminggirkan getheknya. Saat di pinggir sungai itu, beliau wafat. Lokasi wafatnya di utara Bengawan Solo. Tidak menyebut tanggal, bulan, dan tahun,” jelasnya.

Sementara soal Jaka Tingkir, Lilik juga tidak mengetahui kapan tanggal lahir dan wafatnya.

Sebagai informasi, Jaka Tingkir merupakan putra dari Ki Ageng Kebo Kenanga dari pernikahannya dengan Roro Alit putri Sunan Lawu. Nama kecilnya adalah Mas Karebet. Ki Ageng Kebo Kenanga merupakan Adipati Pengging II (Boyolali hingga Salatiga) menggantikan ayahandanya Ki Ageng Handayaningrat (Pengging I). Sementara Sunan Lawu adalah putra dari Prabu Brawijaya V.

Mengutip artikel di visitjawatengah.jatengprov.go.id, begitu dewasa Jaka Tingkir diperintahkan supaya mengabdi. Bersama tiga sahabatnya, ia lantas pergi ke Demak melalui Bengawan Solo menggunakan gethek.

Ia menaklukkan hati Raja Demak III, Sultan Trenggono, karena berhasil menundukkan kerbau yang mengamuk. Oleh sang raja, Jaka Tingkir dijadikan menantu dengan menikahi Ratu Mas Cempaka. Jaka Tingkir mendapat gelar Adipati Hadiwijaya.

Sepeninggal Sultan Trenggono situasi Demak memanas. Jalan Adipati Hadiwijaya menjadi Raja Demak dihalangi oleh kerabat yang masih satu keturunan anak cucu Prabu Brawijaya V Majapahit (Mojokerto)-Singasari (Malang). Jaka Tingkir memilih mengalah.

Jadi Raja Pajang

Singkat cerita, Jaka Tingkir akhirnya pergi ke Dusun Butuh di Sragen yang saat itu masih berupa hutan belantara. Ia datang tidak lain untuk berguru kepada Ki Ageng Butuh yang dikenal sebagai murid Syeh Siti Jenar.

Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan Ki Ageng Butuh merupakan tokoh yang kali pertama melihat wahyu keprabon yang jatuh pada diri Jaka Tingkir. Dia juga berperan penting dalam membantu Jaka Tingkir naik takhta menjadi Raja Pajang sebelum meletus perang antara Pajang dan Mataram.

Makam Jaka Tingkir banyak diziarahi warga terutama pada malam Jumat. Kebanyaka peziarah yang datang dari luar Sragen.

Makam lain yang berada di kompleks permakaman ini adalah istri Kiai Ageng Butuh, adik Jaka Tingkir yaitu Pangeran Tejowulan, dan putra raja Pajang Pangeran Benowo. Meski menjadi objek wisata religi. Makam ini tidak dikelola oleh Pemkab Sragen. Ada juru kunci yang mengelolanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya