SOLOPOS.COM - Truk dump berisi belasan ton sampah ditumpahkan di dermaga sampah di TPA Tanggan, Kecamatan Gesi, Sragen, Sabtu (26/8/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com Stories

Solopos.com, SRAGEN — Lapak-lapak dengan atap plastik bekas terpal atau bekas baliho berderet di dekat dermaga penurunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) di Desa Tanggan, Kecamatan Gesi, Sragen. Di bawah lapak-lapak kumuh itulah para pemulung berteduh sembari menjahit sak karung dengan tali rafia atau sekadar merajut keranjang bambu yang biasa digunakan untuk mengumpulkan sampah-sampah yang bernilai ekonomis dari zona aktif TPA.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

TPA tersebut menempati lahan seluas 4,2 hekatre yang terbagi atas zona pasif dan zona aktif. Zona aktif merupakan zona yang digunakan untuk pengolahan sampah baru. Zona pasif merupakan zona bekas tumpukan sampah yang sudah ditata sedemikian rumah menjadi ruang terbuka hijau (RTH) dengan tujuan menambah pasokan oksigen (O2).

Wilayah sekeliling TPA itu berdiri permukiman dengan jumlah penduduk sebanyak 916 jiwa atau 350 keluarga di lima lingkungan rukun tetangga. Lima RT itu yakni RT 001, RT 002, dan RT 004 di Dukuh Jatisari danRT 014 dan RT 015 di Dukuh Sogan. Jarak terdekat TPA dengan permukiman penduduk hanya sekitar 50 meter.

Para penduduk setempat sudah puluhan tahun tak menggunakan air tanah permukaan dari sumur galian. Meskipun masih ada, tinggal 1-2 keluarga yang memakainya. Mayoritas penduduk seputaran TPA menggunakan sumur dalam yang ada di setiap rukun tetangga (RT). Sumur dalam dengan kedalaman rata-rata sampai 80 meter itu digunakan warga untuk mandi, cuci, dan kakus.

Salah satu warga Jatisari yang menggunakan air sumur dalam adalah Parti, 70. Ditemui Solopos.com pada Sabtu (26/8/2023) siang, wanita sepuh itu menyebut airnya bagus dan bersih, tidak tercemar.

Warga Jatisari lainnya, Jarwanto, mengungkapkan meskipun ada sumur dalam per RT, warga setempat tidak berani mengonsumsi air itu. Untuk keperluan memasak atau kebutuhan minum sudah lebih dari lima tahun yang lalu mereka memilih membeli air bersih. Jarwanto sendiri sudah 10 tahun lebih tidak menggunakan air sumur dalam itu untuk memasak dan minum.

“Air itu kalau untuk menanak nasi, warna nasinya berubah agak kekuning-kuningan. Akhirnya, warga memilih membeli air bersih jerikenan untuk kebutuhan memasak dan minum. Biasanya beli air 2-3 hari sekali. Satu jeriken yang berisi 30 liter harganya Rp3.500-Rp4.000. Dalam sepekan itu beli tiga kali. Ada tiga orang yang biasa menyuplai air bersih itu,” ujar Jarwanto yang diamini istrinya.

Ia hanya menggunakan air sumur dalam RT itu untuk kebutuhan cuci dan mandi. Air itu tidak masalah ketika untuk mandi atau cuci. Dia mengungkapkan informasinya pemerintah pernah mengambil uji sampel air di Tanggan untuk uji laboratorium tetapi hasilnya sampai sekarang tidak tahu.

“Sumur dalam RT itu sudah disambungkan ke warga lewat pipa-pipa paralon ke jaringan rumah. Keberadaan sumur RT itu sudah puluhan tahun,” ujarnya.

Untuk masalah bau, ujar Jarwanto, sudah cukup berkurang karena banyaknya vegetasi. Tetapi saat malam hari, saat embun turun, biasanya mulai tercium bau tidak sedap di lingkungan terdekat.

“Warga yang paling mengeluh di RT 014 dan RT 015 Sogan. Dulu mata airnya bening, tetapi sekarang kanan dan kiri sungai sudah tercemar dan warnanya berubah. Digunakan untuk tanaman pertanian juga tidak baik,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sragen, Rina Wijaya, menyampaikan dampak lingkungan di sekitar TPA sudah diantisipasi sedemikian rupa. Dia mengaku sudah membuat bak lindi dengan membran dan saluran lindi untuk antisipasi supaya tidak mencemari lingkungan.

Untuk masalah bau, Rina mengatakan sampah-sampah lama sudah ditimbun tanah uruk dan dilakukan penyemprotan cairan biomas pada sampah baru.

“Di sisi lain, ada kegiatan pengomposan juga. Pada zona pasif, kami sudah menyiapkan untuk penghijauan yang akan digiatkan pada mendekati musim penghujan. Zona pasif itu merupakan tumpukan sampah lama tetapi sudah diuruk tanah dan tidak ditambah sampah baru lagi dengan tujuan menjaga lingkungan,” jelas Rina.

Rina mengakui meskipun melakukan upaya semaksimal mungkin, tetap belum mampu menghilangkan 100% bau sampah . Produksi lindi dari tumpukan sampah lama pun, ujar dia, sangat sedikit sekali sehingga tidak sampai mencemari lingkungan.

“Hari biasa tidak begitu berbau. Kalau beberapa hari ini, kami melakukan penataan gunungan sampah sesuai arahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), agar gunungan sampah lama dibuat terasering. Saat penataan itu kemungkinan menimbulkan bau selama 4-5 hari,” katanya.

Kompensasi untuk Warga Sekitar TPA

Dari sisi sosial, Rina juga memberikan kompensasi kepada warga Desa Tanggan berupa bantuan sembako sebanyak tiga kali dalam setahun. Dia menerangkan Pemkab juga memberi jaminan kesehatan kepada warga terdampak TPA dengan fasilitas BPJS Kesehatan. Dia mengatakan mereka mendapat fasilitas BPJS kesehatan yang difasilitasi Pemkab Sragen untuk preminya.

Kepala Desa Tanggan, Mulyanto, membenarkan adanya sebanyak 916 jiwa yang mendapat fasilitas BPJS Kesehatan. Akan tetapi, masih ada kendala berupa nomor induk kependudukan (NIK) yang berlum terdaftar di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sehingga belum bisa diterbitkan kartu BPJS.

Di sisi lain, Mulyanto menyampaikan problem kedua adalah masih banyak warga peserta BPJS mandiri yang menunggak dan sekarang terdaftar sebagai penerima BPJS kesehatan dengan fasilitas Pemkab Sragen.

“Nilai tunggakan itu mencapai Rp2,4 juta per orang sehingga dibutuhkan uluran tangan dari Pemkab Sragen. Kami mengajukan permohonan ke Dinas Kesehatan [Dinkes] agar tunggakan itu bisa terlunasi sehingga mereka bisa menjadi peserta BPJS dengan fasilitas Pemkab,” katanya.

Dampak Buruk TPA

Sementara itu, mengutip artikel di Wanaswara.com, keberadaan TPA memiliki dampak negatif bagi lingkungan di sekitar. Dampak negatif itu di antaranya sumber utama polusi, baik polusi udara maupun mencemari air bawah tanah. TPA juga menjadi tempat menyimpan racun karena sampah yang ditampung berasal dari berbagai sumber. Kadang ada juga yang membuang zat berbahaya ke TPA, begitu pula barang-barang elektronik yang mengandung merkuri, PVC, timbal, kadmimun dan zat beracun lain.

Efek buruk lain dari TPA yang tidak dikelola dengan baik adalah mempercepat pemanasan global. Sampah d TPA yang begitu banyak jumlahnya akan membusuk dan mengeluarkan gas metana. Gas ini disebut gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida.

Dengan terlepasnya gas metana dari TPA ke atmosfer, gas tersebut dapat memerangkap lebih banyak panas di atmosfer. sehingga dalam jangka panjang ini bisa menyebabkan terjadinya pemanasan global serta perubahan iklim.



Ada sebuah penelitian yang dilakukan tiga mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta, yakni Farida Arum Widayah, Ika Wahyuning Widiarti, dan Rr Dina Asrifah pada 2021. Pada jurnal penelitian berjudul Penilaian Indeks Risiko Lingkungan di TPA Tanggan, Kecamatan Gesi, Sragen itu disebutkan jarak terhadap sumber air terdekat dari TPA Tanggan yaitu 8 meter berupa sumur PDAM.

Sumur tersebut merupakan sumber air terdekat yang digunakan oleh warga Dusun Jatisari yang menjadi sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil perhitungan nilai indeks sensitivitas dari parameter ini yaitu sebesar 1. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dekatnya lokasi TPA Tanggan dengan sumur warga mempunyai bahaya atau risiko yang semakin besar terhadap kehidupan warga.

Permeabilitas tanah di TPA Tanggan diketahui juga mempunyai risiko yang besar. Ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2013 menyebutkan bahwa lapisan dasar TPA harus kedap air sehingga lindi terhambat
meresap kedalam tanah dan tidak mencemari air tanah. Koefisien permeabilitas lapisan dasar TPA harus lebih kecil dari 10-6 cm/detik, sehingga dibutuhkan waktu yang relatif lama bagi lindi tersebut untuk mencapai airtanah.

Hasil dari pengujian laboratorium tersebut dapat diketahui seberapa besar potensi bahaya yang dihasilkan apabila air lindi yang dihasilkan meresap ke dalam tanah.

Jarak TPA Tanggan terhadap permukiman terdekat pada arah angin dominan yaitu 6 meter. Hasil perhitungan nilai indeks sensitivitas dari parameter ini yaitu sebesar 1 yang merupakan nilai tertinggi sehingga menunjukkan bahwa TPA Tanggan memiliki risiko tinggi sebab jarak permukiman dengan TPA Tanggan sangat dekat.

Semakin dekat jarak terhadap permukiman terdekat maka potensi bahayanya akan lebih tinggi sebab masyarakat terdekat akan lebih mudah terpapar dampak dari TPA, baik berupa bau tidak sedap, vektor penyakit, hingga gas metan yang
terbentuk dari aktivitas operasional TPA.

Kesimpulan dari penelitian tersebut, berdasarkan hasil penilaian indeks risiko lingkungan di TPA Tanggan, dapat disimpulkan bahwa hasil Penilaian Indeks Risiko Lingkungan di TPA Tanggan yaitu 523,769 yang termasuk dalam tingkat bahaya sedang sehingga TPA dapat diteruskan dan direhabilitasi menjadi lahan urug terkendali.

Infografis TPS Sragen (Solopos/Whisnupaksa)
Infografis TPS Sragen (Solopos/Whisnupaksa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya