SOLOPOS.COM - Ilustrasi beras. (Freepik.com)

Solopos.com, WONOGIRI — Warga Wonogiri sampai saat ini masih menganggap sumber pangan lokal selain beras sebagai makanan kelas dua. Kondisi itu membuat ketahanan pangan sulit terwujud karena minim keberagaman atau diversifikasi.

Wonogiri dinilai sangat mungkin menjadi daerah yang memiliki ketahanan pangan berkelanjutan dengan banyaknya potensi pangan lokal. Ada banyak sumber pangan lokal seperti ubi, singkong, dan sorgum. Namun, sumber pangan itu masih dianggap pangan kelas kedua setelah beras.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertan Pangan) Wonogiri, Niken Kuntari, mengatakan secara kuantitas, produktivitas tanaman pangan Wonogiri masih bisa mencukupi kebutuhan lokal. Bahkan surplus terutama untuk produksi beras.

Namun, ketahanan pangan tidak hanya soal ketersediaan satu jenis produk pangan. Tidak bisa pula bergantung hanya pada satu produk pangan.

Dia menjelaskan ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi kelompok atau individu yang tercermin dari ketersediaan pangan cukup, beragam, bergizi, terjangkau, dan tidak bertentangan dengan agama atau keyakinan suatu masyarakat. 

Menurut dia, keberagaman pangan ini menjadi hal penting. Sebab jika suatu kelompok masyarakat hanya bergantung pada satu atau sedikit jenis produk pangan hal itu berisiko mengalami kurang pangan. Dia mencontohkan saat ini beras tengah mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi.

Itu disebabkan karena ketersediaan beras secara global berkurang sebagai dampak fenomena El Nino. Masyarakat yang bergantung pada beras ini mau tidak mau harus membeli beras dengan harga lebih tinggi dibanding biasanya.

Di Wonogiri masyarakat masih bergantung dengan sumber pangan ini. Hal itu bisa bisa dilihat dari tingkat produksi dan kebutuhan pangan beras dibandingkan pangan jenis lain.

Data Dispertan Wonogiri pada 2022, produksi beras mencapai 445.621 ton/tahun dengan tingkat kebutuhan sebanyak 99.603 ton/tahun. Konsumsi per kapita beras di Wonogiri sebanyak 93,03 kg/tahun.

Beras Masih Mendominasi Produk Pertanian

Sedangkan jenis produk pangan lain, misalnya jagung setiap tahun Wonogiri memproduksi sebanyak 331.441 ton/tahun tetapi kebutuhan lokal hanya 139 ton/tahun dengan konsumsi per kapita hanya 0,13 kg/tahun.

Contoh lain, produksi ubi jalar atau singkong di Wonogiri setiap tahun sebanyak 697.348/ton/tahun. Tingkat kebutuhan lokal untuk singkong hanya 9.898 ton/tahun dengan kebutuhan per kapita 9,24 kg/tahun. Dari data itu sangat tampak ketimpangan kebutuhan pangan antara beras dengan produk pangan lokal lain.

“Beras masih sangat mendominasi sebagai produk pangan di Wonogiri. Di sini masih bergantung dengan beras. Memang kalau melihat produksinya di sini surplus. Walaupun kami sebenarnya tidak tahu hasil produksi beras itu ada di mana saja. Penghitungan produktivitas itu pakai teknis ubinan,” kata Niken saat berbincang dengan Solopos.com di Kantor Dispertan Wonogiri, Selasa (3/10/2023).

Dia menilai produk pangan lokal lain di Wonogiri seperti ubi, jagung, kedelai, dan sorgum masih dianggap produk pangan kelas kedua setelah beras oleh masyarakat. Mereka menganggap produk tanaman itu merupakan produksi pakan kelas rendahan, bukan produk pangan utama.

Padahal sebenarnya produk pangan lokal itu memiliki kedudukan yang sama. Bahkan lebih bergizi dan rendah gula. Pada sisi lain, sambung Niken, tingkat konsumsi produk pangan impor yaitu tepung berbahan gandum meningkat dari tahun ke tahun.

Pada 2020 tercatat konsumsi gandung di Wonogiri sebanyak 1,7 kg/kapita/tahun. Sedangkan pada 2022, tingkat konsumsi itu meningkat tajam mencapai 13,2 kg/kapita/tahun, melebihi tingkat konsumsi pangan lokal selingan beras di Wonogiri.

“Masih banyak orang yang berpandangan kalau belum makan nasi itu belum makan. Ini yang susah. Tantangan kami untuk mengubah pola itu sulit,” kata dia.

Niken melanjutkan Dispertan Wonogiri sudah lama berupaya mewujudkan diversifikasi pangan sehingga bisa tercipta ketahanan pangan. Hal itu dilakukan dengan cara sosialisasi ke desa-desa terkait keragaman pangan.

Selain itu menggandeng kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga untuk mengampanyekan gerakan pangan lokal dengan mengolah pangan lokal pengganti beras.

“Selain itu kami juga mendorong warga memanfaatkan pekarangan rumah menjadi pekarangan lestari. Tetapi ya itu tidak mudah. Tantangan kami besar, apalagi dengan banyaknya segala macam jajanan sekarang ini,” ucap Niken.

Produksi Pangan Bergantung Kebutuhan Pasar

Kepala Bidang Produksi Dispertan Wonogiri, Ridwan Jauhari, menyatakan tanaman pangan lokal di Wonogiri sebenarnya cukup beragam. Bahkan ada beberapa yang pangan yang lokal unggul secara gizi dan kemudahan produksi dibandingkan beras, salah satunya sorgum.

Tetapi tetap saja hal itu belum bisa menggantikan atau setidaknya menjadi makanan pendamping beras. Akibatnya produktivitas pangan lokal lain selain beras pun masih sedikit.

Ridwan menyebut hal itu lantaran para petani menanam tanaman pangan bergantung dengan kebutuhan pasar. Para petani pasti enggan menanam tanaman pangan nonberas jika tidak menguntungkan. Maka dari itu, perlu ada upaya kampanye gerakan pangan lokal yang diikuti semua pihak terkait. 

“Masalahnya kan di situ, soal pasar. Petani pasti pilih menanam tanaman pangan yang jelas pasarnya. Mereka pasti ingin untung. Di Wuryantoro saja, sekarang tanaman sorgum mulai tergantikan dengan tanaman tembakau. Lagi-lagi, karena tembakau dinilai lebih menguntungkan,” kata Ridwan.

Terpisah, Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, menilai kondisi pertanian pangan di Wonogiri akhir-akhir ini tengah menurun akibat El Nino, terutama padi atau beras. Tetapi dia menyebut kondisi itu tidak sampai menyebabkan kelangkaan pangan.



Bahkan produksi relatif masih aman. Hal itu lantaran produksi beras di Wonogiri selalu surplus. Sebagai informasi, berdasarkan data Dispertan Wonogiri per Juli 2023 estimasi ketersediaan beras sebanyak 93.725 ton sedangkan kebutuhan pada periode yang sama 58.101 ton atau surplus 32.624 ton.

Beras surplus itu masih mencukupi kebutuhan lokal sampai November 2023. Pria yang akrab disapa Jekek itu menyampaikan warga Wonogiri yang mayoritas petani memiliki pola ketahanan pangan sendiri.

Ketika panen, mereka tidak menjual semua hasil panen, melainkan sebagian disimpan sampai cukup untuk masa panen berikutnya. “Memang terdampak El Nino, tetapi kondisi di sini masih aman. Beras kami masih surplus. Petani masih menyimpan pangan mereka,” kata Joko Sutopo.

Pada sisi lain, dia menyebut warga Wonogiri sudah sejak lama sudah melakukan diversifikasi pangan lokal. Mereka masih mengonsumsi singkong, ketela, dan produk pangan lokal lain.

Menurutnya hal itu tampak dari setiap acara baik kenduri atau pertemuan-pertemuan warga makanan yang disajikan berupa pangan lokal.

Ihwal gerakan pangan lokal, misalnya mengampanyekan kembali konsumsi ubi kayu atau singkong itu menjadi makan substitusi beras, Jekek menyebut belum akan melakukan hal itu. “Gaplek itu kan distigma identik dengan kemiskinan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya